Ringkasan
Aku mengikuti langkah kakinya yang lebar itu, sungguh kaki kurusku ini benar-benar dipaksa bekerja ekstra. Aku? Siapa aku? Bukan siapa-siapa. Lupakan! Ini hanya sekedar kisah aneh yang kualami selama mendapatkan pacar. Aku tuang dengan pena terindah Mount Blanc milik mendiang ayahku ini. Sebagai kisah abadi yang bisa kalian baca untuk saat ini. Pena? Kenapa harus pena? Karena pena yang aku simpan ini adalah kenangan kehidupan ayahku tempo dulu. Mengabadikan kisah cintanya di buku usang yang sering kubaca. Maka cerita aku pun akan menjadi sebuah kenyataan indah nantinya dan meninggalkan cerita tersendiri.
Bab 1 Taruhan
Bab 1 Taruhan
Kelas semakin tidak menyenangkan ketika tugas kembali diberikan. Reina yag bosan hanya memainkan pulpennya sambil menopang dagu. Ia melihat kea rah luar jendela kampus yang mengarah ke parkiran belakang.
Seorang lelaki terlihat sedang dihampiri oleh wanita yang terlihat memberikan kotak kado. Tak lama, wanita lainnya datang memberikan kado lainnya kepada lelaki itu. Reina terus memperhatikan apakah ada wanita lainnya yang akan datang?.
Lelaki itu seperti tahu jika dirinya begitu terkenal, sehingga memilih untuk menunggu. Reina tertawa geli melihat lelaki itu. Tingkahnya melebihi seorang artis terkenal yang sedang naik daun saja.
Tak lama teman-teman lelaki itu pun datang menghampiri. Lelaki itu ikut pergi tanpa memedulikan ada yang datang lagi. Saat lelaki itu melangkah jauh, seorang wanita pun datang, terlihat kecewa karena tidak sempat untuk memberikan kado tersebut.
“Malang sekali nasibmu,” gumam Reina.
Suara gumamnya ternayata terdengar oleh teman di depannya. Tasya menyadari jika Reina juga melihat keluar jendela. Ia pun menghadap ke belakang dan membahas tentang lelaki yang baru saja sama-sama mereka lihat.
“Bagaimana dia?” tanya Tasya.
“Dia? Siapa?” tanya Reina bingung.
“Dia, yang baru saja kamu lihat tadi.” Tasya berbicara dengan raut wajah yang begitu bahagia.
“Ah, dia. Tidak ada yang istimewa.” Reina berbicara dengan raut wajah begitu datar.
“Bercanda kamu.” Tasya terlihat tidak terima dengan respons yang diberikan oleh Reina. Ia pun memilih untuk kembali melihat ke depan.
Waktu belajar sudah habis, mereka pun bersiap untuk keluar kelas. Fini menghampiri kedua temannya yang terlihat berbicara saat pelajaran membuatnya penasaran. Ia yang duduk lumayan depan tidak bisa ikut mengobrol karena akan terlihat oleh dosen.
“Kalian ngobrolin apa?” tanya Fini.
“Tidak ada. Ayo, ke kantin saja,” ajak Reina. Mereka pun mengambil tas masing-masing dan keluar kelas menuju kantin.
Menuju kantin, Tasya masih membicarakan tentang lelaki yang dilihatnya berdiri pada parkiran belakang dari jendela kelas lantai tiga itu. Reina hanya tersenyum saja mendengarkannya karena tidak tertarik sama sekali. Fini tetap menanggapi Tasya, namun dengan nada sedikit mengejek temannya itu.
Di jalan menuju kantin, terdengar wanita-wanita di kampus itu juga membicarakan satu orang lelaki. Reina mengasumsikan itu adalah lelaki yang dilihatnya tadi. Melihat Tasya kesal karena banyak membicarakan lelaki itu, menandakan jika pembicaraan mereka sama.
Reina tak habis pikir apa sebenanrya yang istimewa dari lelaki itu. Dia hanyalah seseorang yang popular karena kegantengannya. Tidak ada yang istimewa juga dari lelaki itu, dan pastinya lelaki seperti sangat genit dan gampang tergoda dengan perempuan lain.
*
“Kamu pikir dia mudah didapatkan? Lelaki popular di universitas, bukan hanya di fakultas saja.” Tasya mulai meremehkan temannya.
Reina melihat ke arah Tasya dengan senyuman penuh percaya diri. “Dia tipikal lelaki genit yang mudah tergoda.”
“Kamu sadar tidak, dia itu popular di universitas ini. Dia tampak begitu dingin kepada setiap perempuan yang mau mendekatinya.” Fini memperjelas tentang lelaki yang sedang mereka bicarakan itu.
Lelaki yang mereka bicarakan seperti mengetahui jika dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan sebuah group. Lelaki itu datang dengan gaya lelaki terkenal pada umumnya dan memancarkan pesona di kantin kampus. Kedatangan lelaki popular itu pun membuat Tasya tak bisa melepaskan pandangannya.
Banyak yang memandang ke meja tempat lelaki itu duduk, bahkan meja di sebelah Reina membicarakan lelaki itu juga. Reina seperti tidak tertarik dengan apa yang teman-temannya lihat. Makanan di hadapannya lebih menarik perhatian dibandingkan sosok lelaki tersebut. Tasya pun jadi kesal dan menghardik temannya.
“Itu dia, yang kamu bilang lelaki genit dan mudah tergoda. Tidak mungkin kamu bisa mendapatkannya. Jadi, akui saja jika dia memang tampan dan terkenal,” ujar Tasya.
Reina melihat Tasya dengan wajah yang tidak lagi ramah. Ia merasa sangat diremehkan karena tidak tertarik kepada lelaki popular seperti itu. “Kamu mergukan aku? Baiklah, akan aku perlihatkan pertunjukan menarik kepadamu.”
“Ya, iyalah. Kalau kamu bisa mendapatkan dia, apa yang kamu mau akan aku berikan.” Tasya tampak sangat serius dengan apa yang dikatakannya.
“Baik, kita lihat saja,” ujar Reina. Ia pun beranjak dari duduknya dan berniat untuk mencari perhatian lelaki terkenal bernama Novan itu.
“Semakin seru. Siap-siap menepati janjimu Tasya, Reina pasti akan memenangkan taruhan ini.” Fini tergelak melihat teman-temannya melakukan taruhan untuk seornag lelaki yang mereka pun tidak kenal secara pasti.
Tasya mulai panik ketika melihat Reina serirus dengan perkataannya. Fini akhirnya membuat Tasya menjadi panas dengan berbagai ucapan yang dilontarkan Fini. Jika kali ini Reina benar-benar bisa mendekati Novan, maka tamatlah riwayatnya.
Perjanjian tetaplah perjanjian, mungkin saja Tasya akan dijadikan pesuruh oleh Reina. Bayangan buruk tentang kemenangan Reina pun terus terbayang. Bagaimana Reina akan seenaknya menyuruh segala sesuatu.
“Aku membayangkan apa yang akan diminta oleh Reina. Apakah kamu menjadi kacungnya, atau meberikan barnag-barnag berharga milikmu,” ujar Fini tertawa tipis.
“Dia tidak akan bisa mendekati Novan, percaya saja,” ucap Tasya melihat langkah Reina yang gemulai.
Tapi, belum sempat Reina menghampiri Novan, ia sudah kedatangan seseorang yang tampak begitu marah. Seketika langkah Reina terhenti karena lelaki yang menghampirinya itu. Reina berbalik dan kembali ke tempat di mana teman-temannya duduk.
“Dia kembali. Sepertinya perjanjian ini akan batal begitu saja,” uajr Tasya.
Fini melihat ke arah Reina yang sedang dikejar oleh seorang lelaki. Wajah Reina yang manis berubah menjadi masam. Raut waja kesal, marah, dan tertekan oleh lelaki itu tampak sangat jelas tersirat.
*
“Reina, aku mohon,” ujar Riza. Lelaki itu tampak tidak terima dengan perlakukan Reina kepadanya.
Tasya yang senang niat Reina untuk mendekati Novan terhalang oleh lelaki itu. Namun, ia juga tidak menyangka ada yang tiba-tiba datang dan memohon kepada temannya. Ia pun beradu pandang kepada Fini untuk menemukan jawaban.
“Kita sudah berakhir, jangan datang lagi padaku.” Reina dengan tegas mengatakan itu kepada Riza. Tersadar ia mengatakan sesuatu yang tidak diketahui oleh teman-temannya, membuat Reina melihat kearah teman-temannya itu.
“Berakhir?” Tasya terkejut mendengar kata-kata itu. Tatapannya dalam melihat ke arah Reina yang menunduk tertekan dengan kehadiran Riza.
Riza tidak pernah diketahui oleh teman-teman Reina sebagai kekasihnya. Sekarang lelaki itu datang untuk meminta sebuah kejelasan tentang hubungan yang tidak mau diakhiri salah satu pihak. Reina memilih untuk diam dan berusaha mengabaikan Riza.
Tasya dan Fini merasa ini bukanlah urusan mereka, sehingga mereka pun berpindah tempat untuk memberikan ruang. Tasya merasa kasihan melihat temannya yang tampak begitu tertekan dengan perlakuan Riza. Fini ingin berusaha untuk membantu sahabatnya, namun Tasya melarang.
“Biarkan saja mereka menyelesaikan dulu. Sejauh lelaki itu tidak kasar kita biarkan saja,” ujar Tasya menghadang.
“Siapa dia sebenanrya? Kamu pernah melihatnya?” tanya Fini.
“Wajahnya tidak asing, aku merasa pernah melihat tapi tidak tahu di mana,” jawab Tasya.
Fini dan Tasya terus saja menerka-nerka siapa lelaki itu. Rasa tidak masalah jika Reina menutupi, namun jika sudah seperti ini, mereka juga segan untuk ikut campur. Fini pun terus saja melihat ke arah temannya untuk sedikit mendengarkan pembicaraan.
Samar-samar pembicaraan mereka berdua terdengar, membuat Fini menjadi sangat penasaran. Sedangkan Tasya lebih memilih untuk tetap memperhatikan idolanya yang hampir menjadi bahan taruhan. Tasya senang tidak jadi menjadi kacung untuk Reina karena perjanjian secara tidak langsung menjadi batal.
“Aku senang Reina tidak jadi mendekati Novan, jadi aku bebas,” ujar Tasya kegirangan.
“Mungkin saja, lain waktu dia akan mengajakmu untuk kembali melakukan taruhan ini,” ucap Fini.
Tasya menjadi tidak senang dan kembali meluapkan kekesalannya kepada Fini. “Tidak ada lain waktu! Ini menandakan aku punya kesempatan untuk mendekati Novan.”
Dua wanita itu tetap membual hal-hal yang tidak pasti, dan Tasya masih saja mengkhayalkan Novan dengan melihatnya dari jauh. Fini hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah temannya yang memikirkan diri sendiri. Ia lebih setuju jika Reina berhasil untuk mendekati Novan tadi.
*