Bab 2 Kegaduhan
Bab 2 Kegaduhan
“Reina, kita bisa bicara terlebih dahulu, bukan? Kenapa semuanya terasa hanya sepihak saja?” Riza terdengar memohon, namun juga mengeluarkan emosinya kepada Reina.
“Tidak, aku tidak melakukan ini secara sepihak. Bukankah kamu yang menyebabkan semuanya?” Reina seperti membalikan semuanya kepada Riza.
“Aku?!” Riza semakin kesal dengan ucapan yang dilontarkan oleh kekasihnya itu. “Kamu yang tiba-tiba seperti ini. Pasti ini karena lelaki lain.”
Reina tertawa. “Lelaki lain? Ingat, dan perhatikan, apakah ada cela untukku mencari lelaki lain?”
Reina masih menyantap cemilan yang ada di hadapannya. Ia berusaha untuk melakukan pengalihan ketika Riza berbica. Semua ucapan yang dilontarkan seperti tidak bisa menembus baja Reina untuk berbicara serius tentang hubungan ini.
Fini dan Tasya masih melihat mereka, berharap pertikaian mereka tidak menimbulkan masalah. Tasya merasa merinding melihat lelaki itu, ia bisa merasakan jika tidak ada aura baik darinya. Entah dari mana Reina bisa menemukan lelaki seperti itu dan menjadikannya kekasih.
Namun, dari pandangan Fini, lelaki itu memiliki wibawa yang cukup baik. Berbeda dengan Novan yang terlihat tampan, terkenal, namun murahan. Fini mulai menyukai Riza kerena pesona kewibawaannya.
“Apa katamu? Wibawa? Dia seperti lelaki serius yang monoton,” ujar Tasya.
“Tidak. Coba perhatikan baik-baik,” ucap Fini.
Tasya menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan pemikiran temannya itu. Ia lebih tertarik untuk melihat Novan saja. Sayangnya, lelaki yang ia kagumi itu beranjak pergi bersama dengan teman-temannya.
Samar-sama, Fini mendengar pembicaraan mereka. Reina terdengar begitu dingin merespons segala sesuatunya. Riza pun terdengar begitu memaksakan keinginanya untuk berbicara kepada Reina meskipun tidak diinginkan.
“Ah, sudahlah. Aku tidak mau terjerumus bersama dengan pemikiran gilamu tentang lelaki itu,” ujar Tasya.
Reina dan Riza menjadi tontonan seru Fini dan Tasya di kantin. Selagi lelaki itu tidak berbuat kasar kepada temannya mereka tidak akan ikut campur. Reina juga berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri.
*
“Ayo! Ikut aku!” Riza menarik tangan kekasihnya. Ini adalah pembahasan yang harus mereka bicara di tempat yang tenang dan sepi.
“Lepas! Aku tidak mau!” ujar Reina. Ia berusaha menghindari percakapan serius di tempat yang sepi agar dirinya benar-benar tidak lagi berhubungan dengan Riza.
Semua melihat ke arah mereka karena suara mereka sedikit mengganggu. Reza membuat suara yang sedikit besar diikuti oleh Reina. Teman-teman Reina juga kaget dengan suara yang Reina dan Riza buat.
Kegaduhan itu semakin bertambah ketika Reina menjawab segara ucapan Riza dengan candaan. Reina berharap jika dirinya bisa segera lepas dengan merespons seperti ini. Lagipula, hubungan mereka tidak terpublikasikan cukup lama, dan sekarang Riza muncul dengan membongkar semuanya, dengan entengnya berusaha untuk meminta pengakuan diri.
“Jadi, sekarang apa maumu, aku sudah berusaha untuk sabar,” ujar Riza.
“Seharusnya kamu tahu apa keinginanku.” Reina kembali memperjelas.
“Tidak! Aku tidak bisa menerimanya!” tegas Riza.
Reina dengan santai menikmati minuman ringannya, ia berharap bisa dengan berani beranjak dari tempat ini. Walaupun dia tampak berani untuk menghadapi Riza, namun sesungguhnya rasa takut itu bersemayam. Reina sesekali melirik ke arah teman-temannya berharap mereka mengajak pergi.
Di tengah pembicaraan yang entah sampai kapan ini, nomor tidak dikenal menelepon Reina. Dengan secepat mungkin ia beranjak dari duduknya dan mengangkat telepon tersebut. Reina juga meninggalkan Fini dan Tasya yang duduk di meja sebelah.
“Di—dia pergi?” ujar Fini melihat Reina pergi begitu saja.
“Ya ampun, dia anggap apa kita di sini yang sudah menunggu dia bertengkar dengan pacarnya,” lanjut Tasya.
Mereka pun dengan segera menyusul Reina yang sudah jauh melangkahkan kakinya. Dengan rasa segan mereka pun tersenyum kepada Riza yang mengisyaratkan untuk pamit pergi. Mereka memanggil Reina, namun sama sekali tidak disahuti.
Riza yang melihat Reina pergi terdiam dan meratapi kekesalannya. Ia akan berusaha untuk bertemu lagi dengan kekasihnya itu dan membicarakan hal ini. Satu-satunya cara adalah datang ke indekos tempat Reina tingga.
*
“Reina!” teriak Fini memanggil Reina yang tampak snagat terburu-buru. Akhirya, tepat di depan toilet kampus Reina bisa di susul karena ia berhenti.
Tasya dan Fini meminta penjelasan kepada Reina tentang lelaki yang baru saja mereka jumpai itu. Reina seperti ragu-ragu untuk menjelaskan kepada kedua temannya. Ia berusaha sebisa mungkin masih menutupi.
“Coba jelaskan kepada kami, siapa dia sebenarnya?” ujar Tasya.
“Kita sudah temanan dari lama, hari ini baru kami tahu kamu punya pacar, bagaimana bisa?” lanjut Fini.
“Iya, iya benar,” ujar Tasya.
“Haduh, sudahlah, dia tidak penting, mari kita pergi ke kelas selanjutnya,” jawab Reina.
Dengan menelan kecewa, Tasya dan Fini harus puas dengan jawaban yang diberikan oleh temannya itu. Reina mengganti topik pembicaraan agar tidak ada lagi pembahasan mengenai Riza. Semua pembahasan mengenai lelaki itu seperti momok yang terus mengejarnya.
HP Reina kembali berbunyi, Riza menelepon untuk mencari kepastian lagi. Reina pun mengabaikannya dan berjalan mengajak teman-temannya. Tasya dan Fini tidak mau ikut campur, tapi masalah mereka belum kuncung selesai dan Reina tampak lari begitu saja.
Tasya dan Fini mengkhawatirkan temannya itu, mereka takut Riza bisa saja mengejar-ngejar Reina dan mengganggu aktifitas. Tasay mulai menasihati temannya agar semua masalah bisa segera diselesaikan. Tasya tidak ingin ada sesautu hal yang mungkin saja terjadi jika Reina terus menghindari Riza.
“Lelaki jika sudah cinta mati mereka akan melakukan apa saja. Jangan sampai ini terjadi kepadamu juga,” ujar Tasya.
Tapi, lagi-lagi, Reina mencoba untuk tidak mempedulikan apa yang dikatakan oleh temannya. Ia merasa bisa menyelesaikan segala sesuatunya dengan baik. Riza hanya masalah kecil yang akan hilang begitu saja.
“Sudahlah, dia akan pergi dengan sendirian. Tidak usah terlalu memikirkan dia, biar dia menjadi urusanku. Oke,” ujar Reina.
“Terserah kamu saja.”Tasya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi jika memang temannya sudah memilih jalan seperti itu. Fini yang ada dalam pembicaraan ini mencoba untuk memperhatikan saja karena diantara mereka bertiga dialah yang paling polos dalam urusan percintaan. Jika Fini berbicara pun rasanya tidak akan ada yang mempercayai atau mendengarkan juga.
*
Setelah semua kelas selesai, Reina pamit untuk segera pulang ke indekosnya. Ia berharap bisa dapat ketenangan dan terlelap sejenak. Reina merasa lelah dikejar-kejar oleh Riza seharin ini, baik di telepon atau bertemu langsung.
Namun, perjalanan pulang Reina tidak akan mulus, Riza sudah menunggu di jalan yang biasa Reina lewati. Reina dengan sigap berbaur dengan kerumunan lain dan memutar untuk mencari jalan lainnya. Ia berharap Riza tidak melihat dan mengikutinya sampai ke Indekos.
Bukan hanya menunggu di gerbang saja, Riza juga terus menelepon Reina untuk mencari keberadaan kekasihnya itu. Reina pun harus mematikan HP-nya agar tidak diganggu lagi oleh Riza. Namun, saat baru saja HP-nya memroses untuk memproses untuk mati, nomor yang tidak dikenal tadi pun menelepon, namun tidak sempat diangkat.
“Oh, tidak, sudah terlanjut mati. Maafkan aku tidak mengangkat,” ujar Reina melihat layar HP-nya. Ia pun tak mau membuang waktu, selagi masih tidak ketahuan, harus cepat-cepat pergi dari area kampus ini.
Sayangnya, Riza melihat Reina, dan ia pun mengejar kekasihnya. Lelaki itu tampak sangat gigih untuk mempertahankan hubungannya. Namun, Renina tetap tidak ingin berhubungan lagi dengan Riza.
Riza mengikuti Reina sampai ke indekos, namun Reina yang sudah tahu Riza akan datang pun bersembunyi di tempat lain. Ia meminta izin kepada salah seorang penghuni kos di lantai bawah untuk mengungsi sebentar. Untung saja kakak penghuni kamar itu sangat baik dan mau membantu Reina.
“Kamu terlilit hutang?” tanya Sofi.
“Hutang? Bukan-bukan, dia hanya lelaki gila yang terus mencariku,” ujar Reina.
“Hebat kamu ada yang mengejar.” Sofi berbicara seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Reina.
Sofi pun membantu Reina untuk mengusir Riza dari indekos mereka. Sofi yang memiliki raut wajah tak bersahabat itu pun naik ke lantai dua.
“Orangnya lagi gak ada, pulang saja, jangn bikin ribut,” ujar Sofi.
Riza yang tampak kecewa sama sekali tidak membalas Sofi, ia pun langsung pergi dari tempat itu. Sofi pun memberitahu Reina, jika sudah aman.
*