Bab 5 Rindu Ayah
Bab 5 Rindu Ayah
Riza pulang dengan kedamaian setelah Reina memutuskan untuk tetap bersama. Reina tampak sedikit tenang karena tahu dia tidak akan lagi dikejar-kejar oleh Riza. Setelah ini pun, walau teman-temannya sudah mengetahui tentang Riza, Reina tetap akan menyembunyikan dan tidak akan mengekspos.
Reina kembali ke kamarnya dengan rasa lelah menghadapi Riza. Ia akan melewati kembali masa di mana menghadapi Riza adalah sebuah tugasnya. Ia duduk di kursi meja riasnya, dan bercermin melihat dirinya sendiri.
“Apa seterusnya aku akan seperti ini?” gumamnya. Reina benar-benar mengharapkan bisa lepas sepenuhnya dari Riza. Ia merasa sangat sesak, tetapi Reina merasa sebelum Riza lenyap dari muka bumi ini, ia akan tetap bersama dengannya.
Melepaskan semua lelah, Reina menghapus riasan wajahnya, ia mengambil kapas dan juga pembersih muka. Reina hanyut dalam lamunan saat menghapus riasan dan menatap dirinya di cermin. Saat seperti ini ia ingin sekali memeluk ayahnya karena Reina adalah putri ayahnya yang paling disayang.
Lelaki yang memiliki sejuta kasih untuk menenangkan kesedihan anak perempuannya, itulah yang selalu ada dibayangan Reina tentang ayahnya. Dio mewarisi semua yang ayahnya miliki, namun Reina tidak bisa dengan mudah bercerita kepada kembarannya itu. Reina lebih memilih untuk memikul semuanya sendiri.
Setelah selesai membersihkan wajahnya, Reina pun mandi untuk segera tidur. Namun, tiba-tiba Tasya mengirimkan pesan mengajak Reina sarapan besok pagi. Reina menarik nafas dalam, ia masih tidak mau membuang uangnya untuk jajan diluar. Tapi, jika ditolak juga tidak enak hati kepada Tasya.
Tak berapa kama dari pesan ajakan itu terbaca oleh Reina dari layar gawainya, Tasya kembali mengirimkan pesan. Aku yang traktir.
Reina langsung membalas pesan itu kepada Tasya sebelum ia masuk ke kamar mandi. Ia senang teman-temannya bisa memahami situasinya saat ini. Tasya seperti bisa membaca tanpa Reina harus bersusah payah menceritakannya.
Setelah membalas pesan Tasya, Reina menyetel alunan nada dari gitar akutik yang membuatnya tenang. Ia selalu melakukannya untuk menemani malam sebelum ia tertidur, berharap tidak ada mimpi buruk yang selalu ia hadapi setiap malamnya.
*
Reina kembali bermimpi buruk, ia bangun dengan keringat yang membasahi bajunya. Mimpi tentang ayahnya yang sudah tiada kembali menghampiri dan membuat Reina menangis setiap kali bangun. Semua ia rasakan sendiri, meratap, merasakan rindu yang tak bisa ia keluhkan oleh siapa pun, bahkan kepada Dio.
Tetapi, seperti memiliki kontak batin oleh kembarannya, Dio tiba-tibe menelepon. Reina kaget, namun juga bersyukur karena Dio menelepon perasaannya menjadi lebih tenang. Ia pun segera mengangkat telepon tersebut.
“Halo, ada apa, Kak?” tanya Reina.
“Kamu kenapa? Sepertinya ketakutan sekali. Mimpi buruk lagi?”
Reina terdiam, ia tak mau menceritakan mimpi itu kepada Dio. Namun, Dio sudah bisa merasakannya, ia menelepon karena perasaan tidak enak yang muncul dan terbangun tiba-tiba. Reina tiba-tiba berbicara terdengar tersenyum sambil menangis.
“Tidak, aku hanya terbangun. Kakak juga terbangun?” ujar Reina.
“Iya, dengan perasaan tidak enak. Mau melakukan panggilan video? Akan lebih tenang jika melihat satu sama lain.” Dio berusaha menenangkan adik kembarnya itu.
“Tidak. Aku sedang ada jerawat,” tolak Reina.
Dio tertawa, ia tahu bukan itu sebenarnya alasan Reina menolak ajakan melakukan panggilan Video. Reina selalu saja berusaha menjadi tegar, ia tidak mau memperlihatkan kesedihannya. Dio merasa ingin memeluk kembarannya itu dengan erat saat itu juga.
Sebagai pengganti pelukan, Dio memberikan candaan kepada Reina. Ia menceritakan bagaimana teman-temannya di kampus. Beberapa cerita lucu datang dari Bima, yang selalu bertingkah lucu dalam perkumpulan Dio dan teman-teman.
Dio selalu berkata jika ia akan menjodohkan Bima dengan Reina agar kehidupan adik kembarnya itu selalu berwarna. Reina selalu marah kepada Dio jika sudah membahas tentang Bima dan rencana perjodohan itu, ia bahkan tidak pernah bertemu dan tahu Bima itu siapa karena Dio tidak pernah memperkenalkan adiknya.
“Kalau kamu bersama Bima, bukan hanya selalu tertawa, tapi juga akan hidup makmur. Bapaknya adalah tuan tanah, tahannya di mana-mana,” ujar dio tertawa.
“Bapaknya memiliki pesugihan, kalau aku jadi tumbal bagaimana?”
“Pesugihan? Pikiranmu jauh sekali,” tawa Dio.
“Orang kaya biasanya ada saja ilmunya,” lanjut Reina.
Dio benar-benar tertawa dengan pembicaraan ini, ia juga merasa lega karena Reina sudah tenang. Dio pun pamit untuk kembali tidur sebentar karena besok harus ke kampus pagi-pagi sekali untuk kelas pagi. Reina juga pamit dan akan mencoba tidur kembali.
*
Keesokan harinya, Tasya menelepon Reina pagi-pagi karena janji mereka untuk sarapan bersama. Reina yang terlambat bangun tidak sempat menjawab telepon itu, ia cepat-cepat untuk bersiap dan pergi.
Di jalan, Reina mengabari Tasya melalui pesan singkat saja. Tasya pun mengabari jika dia sudah di warung bubur depan kampus. Fini juga sudah datang dan menunggu bersama Tasya di warung bubur tersebut.
Sesampainya di warung bubur tempat Tasya dan Fini berada, belum lagi masuk Reina sudah di hadang oleh Riza. Riza menyapa Reina dan mengajak untuk sarapan bersama di tempat lain, namun Reina menolak. Ia memberikan alasan yang masuk akal kepada Riza, dan menunjuk teman-temannya yang berada di dalam.
Tasya melihat lelaki itu karena ia duduk menghadap ke luar, ia pun memberitahukan Fini. “Lelaki yang kemarin lagi.”
Fini menoleh ke belakang. “Urusan mereka belum selesai?”
“Mungkin saja,” jawab Tasya.
Riza tersenyum kepada Reina, kali ini Riza sangat berbeda. Lelaki itu lebih tenang dan tidak memaksakan keinginannya kepada Reina. Reina menjadi heran sekaligus takut, ia merasa ada yang aneh dari Riza.
Setelah Riza pergi, Reina pun masuk ke warung bubur, ia menyapa teman-temannya yang sudah menunggu. “Maaf aku terlambat bangun.”
“Tidak apa-apa, kami juga baru pesan,” ujar Fini.
Reina kemudian duduk di sampung Tasya sambil melihat ke arah jalanan. Kelas mereka dimulai satu setengah jam lagi, masih ada waktu untuk bergibah bersama. Kali ini Fini membahas tentang Gathering teknik mesin yang akan di adakan minggu ini.
Hal pertama yang dibicarakan adalah mahasisawa laki-laki yang akan memenuhi acara tersebut. Fini berniat akan datang dan mencari mangsa di sana, siapa tahu saja ia akan mendapatkan satu yang tampan. Tasya kebalikan dari Fini, ia tidak mau bersusah payah untuk datang karena sudah menyukai satu lelaki, walau cintanya tak pernah terbalas. Ya, lelaki yang dimaksud adalah si popular Novan yang bahkan tak mengenal siapa Tasya.
*
Di tengah-tenagh sarapan, Tasya dan Fini kembali menanyakan tentang Riza. Merkea masih begitu penasaran siapa sebenarnya lelaki itu. Tasya hanya khawatir jika Reina akan terkena masalah dengan Riza.
“Kamu yakin dia tidak berbahaya?” tanya Tasya.
“Tidak, tenang saja. Kamu tahu aku bagaimana, dia hanya lelaki gila yang tak bisa berpaling dari pesonaku,” canda Reina. Ia masih berusaha untuk mengalihkan teman-temannya ke pembicaraan yang lain.
“Pesona? Percaya diri sekali kamu,” ujar Fini.
Reina hanya tertawa saja, ia berusaha untuk tidak menambah jawaban agar tidak ada lagi pembahasan. Reina tidak mau Riza menjadi sorotan dalam hidupnya karena ia tahu, Riza juga pasti tidak akan mau.
Reina pun mengajak teman-temannya untuk masuk ke area kampus. Tak lama lagi juga kelas mereka akan segera di mulai. Tasya pun membayar seluruh makanan teman-temannya.
Saat berjalan ke area kampus, Reina melihat sebuah mobil yang berhenti. Seorang bapak-bapak mengantarkan anaknya kuliah. Terlihat begitu mesra dan memiliki koneksi yang kuat, Reina berasumsi jika itu adalah ayah dan anak.
Melihat pemandangan itu, Reina menjadi sedih dan kembali mengingat ayahnya. Namun, Tasya dan Reina menghancurkan imajinasinya tentang ayah karena mereka berasumsi jika bapak-bapak itu mengantarkan simpanannya ke kampus ini. Reina menjadi kesal kepada kedua temannya dan menatap sinis mereka.
“Kamu kenapa?” tanya Fini.
“Kalian itu pikirannya luar biasa sekali,” jawab Reina.
“Loh, banyak bukan yang seperti itu?” ujar Tasya.
Reina hanya menggelengkan kepalanya saja, ia baru sadar memiliki teman-teman yang cukup gila pemikirannya.
*