Bab 12 Bungkam
Bab 12 Bungkam
Reina masih saja tak mau menceritakan apa yang ia alami selama dua hari ini. Ketika Dio bertanya tentang alasannya bolos kuliah, Reina berusaha mencari alasan yang masuk akal. Ia bahkan mengambil ancang-ancang dengan diam sejenak.
Dio melihat Reina bertingkah aneh, ia mencoba memperhatikan gerak-gerik kembarannya tersebut. “Apakah kamu sakit dua hari ini?”
“Aku ada kerja sambilan dengan Tasya.” Dengan yakin dan tersenyum Reina melihat dio dan memberikan teh yang baru saja dibuatnya.
“Dengan Tasya, ya?” Dio menganggukan keplanya dna tersenyum.
Dio bingung mengapa Reina harus berbohong kepadanya. Tapi, ia juga tidak mau membahas, jika ia baru saja bertemu Tasya di depan kos Reina. Dio menyimpan baik-baik dan bertingkah seolah-olah mempercayai Reina.
Reina sedikit murung di depan Dio, namun ia masih bisa memberikan senyuman. Sedikit candaan yang ia keluarkan, tak seperti biasanya saat semua baik-baik saja. Reina berusaha untuk tidak menimbulkan kecurigaan.
Dio membahas tentang kuliahnya yang semakin sulit. Ada beberapa mata kuliah yang pesimis untuk bisa lulus. Dio juga mengutarakan jika ia pesimis bisa lulus dengan cepat seperti harapan sebelumnya.
Mendengar cerita Dio, Reina langsung memarahinya. “Kalau tahu semakin susah, kenapa Kakak bolos hari ini?”
Dio tertawa malu mendengar ucapan Reina. “Kenapa juga kamu membuatku khawatir?”
Reina terdiam dengan perkataan kakaknya yang membalikan pertanyaan kepadanya. Ia jadi tidak enak banyak orang yang memikirkan dirinya karena masalah dua hari ini. Tapi, dia juga belum bisa untuk menceritakan apa yang terjadi.
Dio juga terdiam dengan apa yang ia ucapkan, tak seharusnya ia memberikan pertanyaan yang menyudutkan seperti itu. Seharusnya ada sedikit ruang untuk Reina menenangkan dirinya. Masalah kebohongan tentang Tasya, dan alasannya berbohong akan dibicarakan nanti, dan Reina pasti mau jujur setelah itu.
*
Dio melihat ke arah HP Reina yang bergetar. Terlihat dari jauh jika ada yang menelepon, dan bukan hanya sekali telepon itu masuk. Tetapi, Reina terlihat tidak mempedulikannya dan membiarkan HP itu tergeletak begitu saja. Dio benar-benar khawatir jika Reina terlibat hutang atau masalah lainnya.
“Reina, kamu benar sedang tidak terlilit hutang, bukan?” tanya Dio.
“Hutang?” tawa Reina, “hutang dengan siapa? Tidak ada.”
“Lalu, kenapa kamu tidak menjawab telepon?”
Reina melihat HP-nya, dia tahu jika yang menelepon adalah Riza. Ia tidak mau berurusan dengan lelaki busuk itu untuk sementara waktu. Reina ingin memikirkan benar-benar apa yang patutnya ia lakukan dengan Riza.
Sampai Reina mendapatkan jalan, dan pencerahan tentang Riza, ia berusaha untuk tidak menceritakan kepada Dio. Tapi, Dio memang harus tahu jika ia memiliki masalah, dan Reina berpikir sebaiknya ia jujur saja.
“Itu, bukan siapa-siapa.” Reina mengambil HP-nya dan menonaktifkannya. “Kak, ada yang ingin aku katakan kepada kakak.”
Dio melihat Reina dengan serius, firasatnya mulai berbicara jika Reina akan mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak ingin terpancing emosi terlebih dahulu, jika ada sesuatu yang memang membuat kecewa, Dio sadar harus berlapang dada karena Reina hanya memiliki dirinya saja saat ini.
Reina menunduk, ia terdiam sejenak untuk mengambil ancang-ancang berbicara kepada kakaknya. Walaupun tidak semuanya yang ia katakana, Reina berharap Dio tidak akan khawatir lagi setelah ini.
“Ada apa, katakana saja,” ujar Dio.
“Dua hari kemarin aku tidak bekerja dengan Tasya, aku berbohong.” Reina sama sekali tidak berani untuk menatap mata kembarannya.
“Aku sudah tahu. Lalu, apa yang ingin kamu sampaikan?” Dio dengan tenang menanggapi apa yang dikatakan oleh Reina.
Reina kaget mendengar ucapan kakaknya, ia pun kembali menunduk dan melanjutkan ucapannya. “Aku memang memiliki masalah, tapi belum bisa kukatakan sekarang. Aku sedang mencari cara untuk keluar dari masalah itu. Maaf jika sudah buat kakak khawatir, aku berjanji tidak akan bolos lagi.”
Dio menghela napas dalamnya, ia sedih melihat Reina yang tampak ketakutan menceritakan apa yang terjadi. Dio pun mencoba untuk memahami Reina, ini adalah keputusannya. Jika sudah waktunya, Reina akan berbicara semuanya.
*
Sedangkan Riza masih cemas dengan ketidakadaan kabar dari Reina. Ia panik karena Reina tidak mengangkat dan membalas pesannya. Riza tahu jika semua yang dilakukan pada Reina kemarin adalah kesalahan besar, tapi ia tidak rela kehilangan Reina.
Riza yang juga tidak masuk ke kampus banyak dicari oleh teman-temannya. Ia tidak memedulikan kuliah atau temannya lagi, Riza hanya fokus untuk mendapatkan Reina kembali. Satu-satunya cara yang terpikir oleh Riza adalah mendatangi kosan Reina.
Riza kembali memberikan ancaman kepada Reina, jika kekasihnya itu tidak mau mengangkat telepon atau merespons pesannya, ia akan segera datang. Tapi, Reina sudah mengambil ancang-ancang, ia sudah meminta bantuan Sofi.
Putus asa, itu yang tampak pada Riza sekarang. Ia melampiaskan kekesalannya dan kecemasannya kembali dengan sabu dan membayangkan Reina. “Reina, tetap di sini bersamaku, aku mohon.”
Riza terkapar di kamarnya dengan masih berkhayal tentang Reina. Dua hari bersama kekasihnya itu membuat Riza menjadi sesak setelah Reina pergi begitu saja. Riza benar-benar menjadi terobsesi.
Tak lama, ada yang mengetok kamar Riza, namun ia memilih untuk tidak menjawab. Riza tetap menikmati bayangan Reina di benaknya. Ia benar-benar harus bertemu dengan kekasihnya dengan segera.
*
“Besok kamu ada kelas, bukan? Hari ini istirahatlah yang banyak. Simpan saja semua makanan ini di kulkas untuk kamu makan nanti,” ujar Dio.
“Baik, sekali lagi aku minta maaf kepada Kakak.” Reina tampak ingin menangis berbicara kepada kakaknya.
Lama bersama Dio di kosannya, tiba-tiba ada yang mengetok pintu. Suara Sofi memanggil dari luar kamar. Reina pun langsung mmebukakan pintu, ia berpikir mungkin akan lebih baik untuk mengenalkan Dio kepada Sofi.
Dengan perkenalan Dio dan Sofi, Reina berharap mereka saling kenal dan Sofi tahu siapa saja yang sering datang ke kosannya. Semoga saja Dio tidak merasa kurang nyaman melihat Sofi yang memiliki wajah galak.
“Kak Sofi, ada apa?” tanya Reina.
Sofi memberikan makanan di rantang karena merasa kasihan melihat Reina yang kacau saat memberikan buah. Sofi lalu melihat ke dalam, dan melihat Dio sedang berdiri dan tersenyum kepadanya. Sofi terkejut lalu masuk dengan secepat mungkin dan memukuli Dio.
“Kamu yang jahat dengan Reina, ya?! Jangan seenaknya saja dengan perempuan!” Sofi membabi buta.
Reina kaget dengan tindakan Sofi tersebut, ia cepat-cepat meletakan rantang, lalu menenangkan Sofi. Ia tak menyangka jika Sofi salah sangka dengan lelaki yang dimaksud olehnya. Salahnya tidak memperlihatkan foto Riza terlebih dahulu.
“Kak, ini saudaraku,” ujar Reina.
Mendengar ucapan Reina, Sofi langsung berhenti memukuli Dio. Ia jadi begitu malu karena tidak mengetahui jika Dio adalah saudara Reina. “Maaf, aku tidak tahu jika bukan yang ini lelaki yang kamu maksudkan.”
Dio menahan sakit di sekujur tubuhnya karena pukulan dari Sofi. Tenaga Sofi memang sangat kuat bisa menghasilkan pukulan seperti ini. Dio terdiam dengan masih memberikan senyuman kepada Sofi.
“Bukan lelaki ini yang aku maksud, Kak,” ujar Reina.
“A-aku minta maaf sekali lagi.” Sofi benar-benar tidak bisa menyembunyikan malunya.
“Tidak apa-apa. Tapi kamu kuat juga,” ujar Dio sedikit tertawa.
Reina pun mengenalkan Dio dengan pantas kepada Sofi. Ia juga mengundang Sofi untuk minum teh dengan mereka dan berbincang bersama. Reina ingin membuat keduanya akrab satu sama lain dan melupakan kejadian tadi.
Reina pun meninggalkan keduanya untuk membuat teh tambahan. Ia juga membawa HP-nya untuk memeriksa mungkin ada pesan yang penting. Reina merasa Riza sangat membuatnya kesulitan saat ini.
Saat HP Reina aktif, pesan dari Riza pun masuk. Ancaman demi ancaman bermunculan dari notifikasi di gawaynya. Ketika melihat ancaman Riza akan ke kosannya, Reina langsung panik, tapi ia tidak mau memperlihatkannya kepada Sofi dan Dio.
Reina membawakan teh kepada Sofi dan Dio. Sejenak ia mau melupakan ancaman Riza yang baru saja dilihatnya. Rasanya, Riza tidak mungkin ke kosannya hari ini, jika pun ia dia akan menghadapi Sofi dan Dio.
*