Bab 8. Pengecekan pembukuan belanja pesantren.
“Yaa Rabbi ballighul wasiilah, yaa Rabbi khusshoh bilfadilah” lantunan merdu suara Habib Thaha Assegaf membuat warga makin bersemangat untuk bershalawat. Tanpa dikomando pun, semua yang hadir langsung bershalawat mengiringi Habib Thaha Assegaf.
Setelah shalwat diba selesai, dilanjut membacakan Surah At Taubah ayat 128 oleh Habib Thaha.
“Laqad jaa’akum rasuulum min anfusikum ‘aziizun ‘alayhimaa ‘anittum hariisun ‘alaykum bil-mu’miniina ra’ufurrahim,” Habib Thaha menarik nafas sebentar, “Innallaaha wamalaaikatahu yusholluuna ‘alannabiy, yaa ayyuhalladziina amanu shollu wa sallimuu tasliima. Allaahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alayh… Wa ‘ala ‘alayh washohbih.”
“Masih mau sholawatan?” tanya Habib Thaha kepada hadirin.
“Mauuu,” jawab hadirin serempak.
“Shalawat selanjutnya, saya mau tanya jawab terlebih dahulu dengan anak-anak yang umurnya tujuh tahun. Putra dan putri masing-masing satu. Tolong panitia untuk dipilihkan,” lanjut Habib Thaha.
Setelah mendapat dua anak berusia tujuh tahun putra dan putri, Habib Thaha mengajukan pertanyaan kepada salah satunya.
“Untuk yang putri dulu. Nama kamu siapa? Biar dikenal oleh yang lain,” Habib ingin tahu nama kedua anak tersebut.
“Ratih.”
“Kalau kamu?”
“Ilham.”
“Baiklah. Untuk Ratih, sebutkan siapa nama ayah dan ibunda Rasulullaah!”
Gadis kecil berjilbab warna krem ini tampak setengah berpikir. “Nama ayah Nabi, Abdullah dan nama ibunya Aminah.”
“Maa shaa Allaah, pinter. Lalu kamu, Ilham. Siapa nama kakek dan paman Nabi?”
“Paman Nabi bernama Abu Thollib dan kakek Nabi bernama Abdul Muthollib.”
“Maa Shaa Allaah pinter-pinter. Kasim, tolong ambilkan hadiah buat kedua anak cerdas ini.”
Orang yang ditunjuk oleh Habib Thaha pun segera menyerahkan dua bungkusan.
Habib Thaha lalu menyerahkan hadiah kepada kedua anak tersebut masing-masing satu. Lalu kedua anak itu turun dari panggung dan kembali kepada orang tua masing-masing.
“Mari kita lanjutkan bersholawat. Rohatil athyaru tasydu, bi laya lil maulidi. Wa bariqunnu riyabdu, min ma’aani Ahmadi, bi layalil maudili. Abdullah nama ayahnya, Aminah ibundanya. Abdul Muthollib kakeknya, Abu Tholib pamannya. Khadijah istri setia, Fatimah putri tercinta. Semua bernazab mulya, dari Quraisy ternama. Inilah kisah sang Rasul yang penuh suka duka. Inilah kisah sang Rasul yang penuh suka duka. Oh, penuh suka duka....." Shalawat kisah sang Rasul bergema di seluruh penjuru pesantren. "Allahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alayh. Maa Shaa Allaah… warga sini memang emejing kata anak muda sekarang. Baiklah, biar tak terlalu larut malam, saya akan menyampaikan beberapa tausiyah berkenaan dengan tajuk hajat malam ini. Sebelumnya saya ucapkan alfa mabruk kepada nanda Salim dan nanda Nadhiva atas prestasi yang kalian raih. Tetap rendah hati dan hafalkan terus meski bukan untuk kompetisi. Allaah janjikan perhiasan yang berbeda bagi para penghafal Qur’an berbeda dengan yang bukan penghafal Qur’an. Dalam Surah Al Fatir ayat tiga puluh tiga bismillaahirrahmaanirrahiim jannātu ‘adnin yadkhulųnaha yuhallawna fiihaa min asāwira min żahabiwwa lu’lu’a, wa libāsuhum fihā harir. Shadaqallaahu’aziim. Yang artinya dan bagi mereka surga ‘And mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan dengan mutiara, di dalamnya pakaian mereka dari sutera. Maa Shaa Allaah. Hadiah dari Allaah untuk para penghafal Qur’an berbeda dengan hadiah dari ibadah-ibadah lain. Menghafal artinya bukan hanya menghafal dari segi bacaan, tetapi juga dari perbuatan harus mencerminkan al Qur’an yang dihafalnya.” Semua hadirin dengan khidmat menyimak tausiyah sekaligus wejangan yang disampaikan oleh Habib Thaha Assegaf.
“Sebelum saya akhiri tausiyah singkat ini, yuk kita bersholawat lagi. Shalatullaah shalamullaah ‘ala Thoha Rasulillaah. Shalatullaah shalamullaah ‘ala Yasiin habibillah….”
Tak ada satu makhluq pun yang tak mengikuti shalawat yang beliau lantunkan. Bahkan angin seakan enggan untuk berpindah, pepohonan, bintang, bulan bahkan langit seakan semua menyatu bershalawat bersama.
Habib Thaha Assegaf segera mengakhiri tausiyahnya setelah shalawat badar selesai dilantunkan. Tak lupa beliau mengucapkan salam dan permohonan maaf jika ada kekeliruan atau ucapan yang menyinggung secara tak sengaja.
Serangkaian acara telah berjalan dengan lancar. Warga pun sudah membubarkan diri tepat pada pukul dua belas malam. Para santri diperintahkan untuk beristirahat dan membersihkan halaman pesantren ba’da Subuh.
Hanya beberapa santri jaga yang tetap pada posisi mereka di pos masing-masing.
Hari bergulir. Nadhiva yang mendapat hadiah serta surat ijin mengajar dari pesantren, mulai melakukan aktivitasnya mengajar di madrasah ibdtida’iyah sebagai guru segala bidang. Kecerdasannya tak hanya pada satu bidang. Namun juga hampir semua bidang. Sedangkan sore harinya, seperti biasa, Nadhiva kuliah di Universitas Nuzulul Qur’an sebagai mahasiswi tingkat akhir.
Ahad yang senggang. Tak ada kegiatan yang sepadat hari biasa. Ntah kenapa Nadhiva seperti ditarik ke arah barat pesantren, tepatnya sebuah taman. Taman tempat para santri duduk bersantai kala tak ada kegiatan atau sedang beristirahat. Kakinya melangkah ke sebuah tempat paling ujung arah barat daya. Sebuah tiang kecil menjadi tujuannya.
‘Apa yang bunda dan sahabatnya tanam disini?’ pertanyaan muncul dalam pikirannya. ‘Bagaimana caranya aku menyampaikan surat ini untuk sahabat bunda? Dan Dhiva juga tidak tahu apa sahabat bunda masih di pesantren atau tidak.’
Lama Nadhiva termenung. Sampai sebuah teguran menyapanya.
“Nadhiva, apa yang kamu lakukan di sini?” Ustadzah Ruwaidah muncul. Raut wajahnya nampak tidak suka jika ada orang lain menginjakkan kaki di tempat tersebut.
Nadhiva gelagapan. Gugup. “Ti-tidak ada, Ustadzah. Hanya melihat-lihat tempat ini karena hampir tiga belas tahun, tak pernah melihat ada yang menginjakkan kaki di tempat ini. Beda dengan sebelah sana,” tunjuk Nadhiva ke arah lain.
Ustadzah Ruwaidah hanya mengangguk tanpa memberi penjelasan apapun. Ketika ia hendak pergi, tanpa sengaja menatap Nadhiva dari arah samping. “Shima,” pekiknya pelan.
Nadhiva sedikit terkejut. “Ustadzah baik-baik saja?”
“Kenapa wajahmu sangat mirip dengan dia? Auramu, tingkah lakumu dan semua yang ada pada dirimu hampir mirip dengan dia.” Tak sadar air matanya menetes.
Nadhiva hanya melongo tak mengerti apa yang dimaksud oleh Ustadzah Ruwaidah.
“Kenapa Ustadzah menangis?”
“Aku tidak apa-apa. Sudahlah. Ayo pergi. Sebentar lagi akan ada kegiatan kerja bakti.”
“Baik Ustadzah.”
Keduanya meninggalkan tempat tersebut.
POV Ustadz Malik, kepala bagian keuangan pesantren.
“Keuangan pesantren kenapa defisit sangat parah ya? Padahal yang kita beli hanya itu-itu saja,” keluh Ustadz Malik saat memeriksa pembukuan. Ustadz Fatih yang kebetulan datang hendak menemuinya dan ingin mendapat laporan tahunan, mendengar apa yang dikeluhkan ustadz Malik.
“Assalamualaikum, ada apa, ustadz?”
“Waalaikumussalam warahmatullaahi.. eh Ustadz Fatih. Nggak. Ini lho, saya mengecheck pembukuan tahunan, kenapa keuangan pesantren defisit dengan sangat fantastis. Aneh. Padahal yang kita belanjakan hanya itu-itu saja.”
“Masak sih? Coba ana check dari Muharram tahun lalu, tadz. Kalau ada keanehan, kita laporkan segera kepada Kyai.”
Ustadz Fatih membantu mengecheck pembukuan. Tak ada yang aneh selain harga yang naik. Namun tiba-tiba, mata Ustadz Fatih tertuju pada pembelanjaan bulan Ramadhan, Syawal, Dzulkangidah, Dzulhijjah dan Jumadil awal.
“Tadz, coba perhatikan. Lima bulan yang ini. Ramadhan, Syawal, Dzulkangidah, Dzulhijjah dan Jumadil awal. Bukankah pembelanjaan hanya empat sampai lima kali dalam sebulan? Ini kenapa bisa sampai tujuh kali? Yang Dzuhijjah malah sembilan kali belanja dalam satu bulan. Terus, ini daging sapi seratus kilo kan seharusnya memang cukup untuk satu atau dua minggu? Karena kita juga tidak hanya pakai satu jenis daging, melainkan juga pakai ayam dan ikan?” terang Ustadz Fatih.
“Lalu bagaimana, tadz?” tanya Ustadz Malik kebingungan.
“Kita pecahkan bersama-sama. Saya akan bantu antum selidiki.”
“Ohya, maaf Ustadz Malik, biasanya siapa yang ke luar untuk melakukan belanja sejak Ustadz Fadlan keluar dari pesantren?” imbuh tanya Ustadz Fatih.
“Biasanya kang Ujang dan beberapa santri, Tadz. Tapi mereka bilang kalau yang belanja itu pakdhe Anom karena ngotot minta kepada mereka biar pakdhe Anom saja yang belanja,” terang Ustadz Malik.
“Pakdhe Anom? Bukannya beliau sudah dikasih kesibukan ngurusi sawah pesantren? Kenapa ikut campur urusan pesantren, khususnya belanja, ya?”
“Untuk urusan itu, saya kurang paham, Ustadz Fatih.”
“Kita harus memberi tahukan hal ini secepatnya kepada Kyai Hadi. Biar tidak tambah parah. Masalahnya juga keuangan malah makin menipis. Pesantren tak pernah mengalami hal kayak gini. Ayo kita temui Kyai sekarang juga, Ustadz Malik.”
“Mari, Tadz.”
“Ada tas, tadz? Kita simpan ini dalam tas. Saya tidak mau ada yang melihat kita membawa barang-barang ini biar tidak terjadi kehebohan.”
“Ada, tadz. Sebentar ana ambilkan.” Ustadz Malik mengambil tas yang digantung di sebelah kiri dinding lemari kayu. Setelah memasukkan buku dan beberapa resit belanja, keduanya keluar dari ruang department keuangan pesantren untuk menemui Kyai Hadi.
Di persimpangan arah menuju kediaman Kyai Hadi, mereka bertemu pakdhe Anom.
“Assalamu'alaikum ustadz-ustadz ganteng, mau kemana nih? Ko’ sepertinya terburu-buru?” sapa pakdhe Anom.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuhu, pakdhe. Ini nih, kami hendak menemui pak Kyai, pakdhe,” Ustadz Fatih menjawab dengan ramah.
“Ada gerangan apakah, nanda Ustadz Fatih?”
“Gini lho pakdhe. Ustadz Malik hendak melakukan khitbah bulan depan, jadi beliau hendak minta ijin. Cuma untuk ngomongnya katanya malu, pakdhe.”
Ustadz Fatih sengaja menjadikan Ustadz Malik sebagai alasan. Ustadz Malik hanya tersenyum.
“Oh, wah semoga lancar ya nanda Ustadz Malik. Ya sudah, sana cepat temui nanda Kyai Hadi. Pakdhe ada urusan di luar. Assalaamu’alaykum.”
“Baik, pakde. Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuhu,” jawab keduanya serempak.
Setelah pakdhe Anom berlalu, keduanya melanjutkan perjalanan menuju kediaman Kyai Hadi yang tinggal beberapa meter lagi.
“Maaf ya, ustadz Malik, kalau saya pakai alasan seperti itu. Saya tidak ingin banyak yang tahu masalah ini. Kalau banyak yang tahu, maka kita akan kesulitan untuk mengungkapnya.”
“Saya paham, tadz. Tak apa-apa. Lagipula bulan depan saya memang hendak mengkhitbah seorang akhwat hehe,” jawab Ustadz Malik sambil nyengir.
“Subhanallaah benarkah? Wah, alasan yang sangat kebetulan nih.”
“Agak kaget juga sih Ustadz Fatih memakai alasan itu. Saya sempat bertanya dari mana Ustadz tahu tentang hal ini. Eh gak tahunya hanya alibi hehe.”
Keduanya tertawa serempak dan tanpa terasa sudah berada di depan kediaman Kyai Hadi.
“Assalamualaikum, Kyai ada di dalam, kang?” tanya Ustadz Fatih kepada salah satu santri.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuhu, alhamdulillah ada, ustadz. Sebentar saya kasih tahu beliau.” Akang santri segera masuk ke dhalem dan memberi tahu Kyai Hadi jika Ustadz Fatih dan Ustadz Malik ingin bertemu. Segera Kyai Hadi beranjak dari duduknya, keluar diikuti oleh kang santri tadi.
“Assalamualaikum ustadz Fatih, Ustadz Malik. Ayo masuk. Duduk di dalam. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Karena tak biasanya kalian menemui saya apalagi sampai berdua seperti ini,” sapa Kyai Hadi dengan ramah.
“Waalaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuhu, kyai,” jawab keduanya bersamaan.
“Betul, Kyai, ada sesuatu yang ingin kami beri tahukan,” ustadz Fatih menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Kalau begitu silakan masuk.”
“Terima kasih, kyai.”
Keduanya masuk ke ruang tamu mengikuti tuan rumah. Setelah duduk, “Ada hal penting apa yang ingin kalian sampaikan?” tanya Kyai Hadi penasaran.
Ustadz Fatih mengeluarkan pembukuan belanja pesantren. Lalu membukanya.
“Ada kejanggalan di sini, kyai. Maaf, kami baru menemukannya,” ustadz Malik ikut angkat bicara. Karena biar bagaimanapun, Ustadz Malik merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
“Coba jelaskan,” kyai Hadi semakin penasaran.
“Anggaran belanja dari bulan Ramadhan sampai bulan Jumadil Awal, ada banyak kejanggalan yang saya temukan setelah saya check secara keseluruhan. Jika kita check secara berkala seminggu atau sebulan sekali, kejanggalannya tak terlalu kentara. Tapi ketika kita check secara tahunan, baru jelas kentaranya kejanggalan tersebut, Kyai,” tutur Ustadz Malik.
“Maksudnya kejanggalan yang bagaimana, ustadz Malik? Bisa diperinci penjelasannya?”
“Begini, Kyai.” Lalu Ustadz Malik menjelaskan secara rinci hal janggal yang ditemukannya dari biaya belanja bulan Ramadhan sampai Jumadil Awal. Kyai Hadi mulai mengerti. Lalu memeriksa sendiri akuntansi pembukuan belanja pesantren. Mencocokkan dengan kuitansi yang ada.
“Astaghfirullah, keuangan pesantren mengalami defisit separah ini? Meski harga kebutuhan pada naik, tapi saya rasa tak mungkin pembelian akan habis segini jumlahnya dalam sekali belanja. Maaf Ustadz Malik, siapa yang biasanya berbelanja ke pasar setelah Ustadz Fadlan keluar dari pesantren?” tanya Kyai Hadi.
“Maaf, kyai. Biasa kang Ujang bersama beberapa santri. Tapi mereka bilang kepada saya bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini, setiap mereka mau berbelanja selalu dihadang pakdhe Anom dan pakdhe Anom yang mau belanja biar biaya transport tak terlalu banyak,” papar ustadz Malik.
“Paman Anom? Kenapa beliau ikut campur urusan pesantren apalagi masalah belanja?” raut wajah Kyai Hadi sedikit berubah tak senang.
“Kami juga tidak mengerti, kyai. Kang Ujang pernah cerita kalau pernah nolak saat pakdhe Anom ingin belanja sendiri, lalu pakdhe Anom berkata kalau leluhurnya merupakan salah satu pendiri pesantren ini dan kang Ujang disuruh percaya saja sama beliau,” ustadz Malik menceritakan apa yang pernah diceritakan oleh santri lain.
“Kalian selidiki masalah ini. Masalah keuangan yang defisit, nanti jika hendak berbelanja, tolong ustadz Malik hubungi istri saya atau kepada Ummi jika saya sedang tak di rumah. Tapi jika saya di rumah, hubungi saya langsung.”
“Baik, Kyai.”
Setelah selesai berdiskusi, Ustadz Fatih dan Ustadz Malik berpamitan hendak melanjutkan aktivitas yang lainnya.