Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9. Saya butuh bantuan kalian.

POV Pakdhe Anom 

“Hahahaha lumayan kayaknya untuk hasil hari ini. Telur palsu, kubis palsu dan bawang putih palsu. Daging sapinya juga lumayan ini. Resit tertulis lima kilo, tinggal kuubah menjadi lima puluh kilo. Jadi, uang yang masuk ke kantongku sembilan kali lipat dari harga sapi lima kilo ditambah harga telur palsu, kubis palsu dan bawang putih palsu yang harganya sangat miring, di resit bisa kuubah nominalnya dengan menambahkan angka. Dengan seperti itu, aku tak perlu mencoret-coret nota pembelian, tinggal menambahkan angka saja dan mereka tak akan curiga. Pintar kan aku?!” ujar pakdhe Anom sambil menyeringai. 

Hari ini jadwal berbelanja mingguan. Pakdhe Anom segera berangkat setelah meminta uang belanja serta kertas catatan belanjaan kepada santri. 

POV Ustadz Malik dan Ustadz Fatih. 

“Alhamdulillah ada jalan keluarnya, Ustadz. Saya sempat panik. Khawatir nanti dianggap korupsi uang pesantren. A'udzubillahi mindzaliq, ustadz. Semoga kita dijauhkan dari sifat yang merugikan seperti itu. Apalagi itu uang santri. Uang milik banyak orang.”

“Alhamdulillah, ustadz Malik. Ke depannya, saya akan meminta salah satu santri putri untuk mengawasi dapur. Termasuk mengawasi barang belanjaan yang datang. Bukan bersu’udzon, cuma berjaga-jaga saja. Wah, kebetulan ada Ustadzah Ruwaidah dan Ning Nadhiva tuh, tadz. Sepertinya kita bisa meminta bantuan mereka,” seru Ustadz Fatih. 

“Pendapat ustadz boleh juga tuh. Mari kita temui mereka, tadz.”

Keduanya segera mempercepat langkah kaki menuju arah Ustadzah Ruwaidah dan Nadhiva yang sedang membersihkan halaman samping kediaman Nyai Aisyah.

“Assalamualaikum bunda ustadzah dan Ning Nadhiva,” Ustadz Fatih dan Ustadz Malik menyapa berbarengan. 

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuhu, ustadz berdua,” jawab Ustadzah Ruwaidah dan Nadhiva hampir berbarengan. 

“Dari mana, nak ustadz berdua? Tumben?” tanya Ustadzah Ruwaidah. Sementara Nadhiva berniat hendak melanjutkan pekerjaannya.

“Maaf mengganggu bunda ustadzah dan ning. Begini. Kami hendak meminta bantuan kalian berdua. Apakah keberatan?” tanya Ustadz Fatih. 

Nadhiva yang hendak melanjutkan pekerjaannya, sejenak berhenti dan menoleh.

“Bantuan apakah itu nanda Ustadz Fatih? Kalau sekiranya kami mampu, insha Allah akan kami bantu.”

Lalu Ustadz Fatih menceritakan semuanya masalah pembukuan belanja pesantren. Ditambah oleh Ustadz Malik. 

“Astaghfirullahaladzim…,” Ustadzah Ruwaidah dan Nadhiva berseru berbarengan. “Insha Allah kami bersedia, nanda. Jangan khawatir.”

“Saya percaya bunda Ustadzah dan Ning Nadhiva orang yang jujur. Apalagi bunda Ustadzah orang terlama di pesantren ini.” Ujar Ustadz Fatih. 

“Insha Allah, nanda. Bunda akan bantu selidiki hal ini & akan laporkan sesuai bukti yang bunda dapatkan nantinya.”

“Kalau begitu, kami mengucapkan terima kasih sebelumnya, bunda dan Ning. Selamat melanjutkan aktivitasnya. Maaf mengganggu. Assalamualaikum.”

“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” 

Ustadz Fatih dan Ustadz Malik berpamitan. Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah melanjutkan membersihkan halaman samping kediaman Nyai sepuh Aisyah.

POV Pakdhe Anom. 

“Hehehe alhamdulillaah keuntungan hari ini berkali-kali lipat dari biasanya. Beras, palsu. Telur, palsu. Kubis, palsu. Bawang putih, palsu. Sayangnya belum ada daging palsu. Habis ini pergi ke toko mas, mau beli perhiasan pesanan istriku.” 

Pakdhe Anom berjalan ke arah toko perhiasan yang jaraknya tak jauh dari pasar.

Kembali ke pesantren. 

Beberapa Ustadzah dipanggil menghadap bu Nyai Qomariyah. 

“Mohon maaf jika aku mengganggu waktu kalian. Saya hanya mau bertanya, menurut kalian siapa di antara santriwati yang bisa memasak makanan khas Timur Tengah dan masakan khas China? Karena sekitar dua bulan lagi kita akan kedatangan tamu dari Mesir, selanjutnya enam bulan setelahnya insha Allah Sayyed Ahmed Hui King Fat dari Uyghurs China, akan bertandang ke pesantren kita.”

“Saya bisa memasak masakan Timur Tengah, bu Nyai Qomariyah,” Safira bersuara.

“Ada usulan lain?” tanya bu Nyai Qomariyah. 

“Sepertinya Ning Nadhiva juga pandai memasak masakan Timur Tengah dan masakan China, Bu Nyai. Karena beliau pernah tiga kali bikin. Pertama kali membuat nasi briyani. Lalu yang kedua kalinya membuat nasi kapsah. Yang ketiga kalinya beliau membuat nasi mindy. Nah, kalau yang masakan China, saya kurang tahu namanya, susah banget pas Nadhiva nyebutnya. Rasanya masha Allah lezat banget, bu Nyai,” ucap salah satu Ustadzah dengan riang, yang kemudian menunduk karena dipelototi oleh Safira. 

“Ya sudah, saya akan ambil jalan tengah biar tidak ada perasaan iri satu sama lain,” Bu Nyai Qomariyah menghentikan sejenak ucapannya. Memperhatikan satu per satu Ustadzah yang ada di ruangan tersebut. Bukan Nyai Qomariyah tidak tahu jika ada beberapa santriwati dan ustadzah yang iri terhadap Nadhiva, terlebih setelah Nadhiva berhasil membanggakan pesantren setelah ajang Holy Qur’an di Dubai kemarin. “Untuk kunjungan Syekh dari Mesir, saya minta Safira dan Nadhiva untuk bekerja sama menyajikan hidangan buat beliau secara bergantian. Karena beliau di sini insha Allah selama enam hari, maka tiga hari pertama biar Nadhiva yang menyajikan. Tiga hari kedua setelahnya Safira yang menyajikan. Bagaimana?”

“Saya setuju, bu Nyai. Adil menurut saya,” jawab salah satu santriwati dan diiyakan oleh yang lain. 

“Bagaimana Safira? Kamu setuju dengan pembagian ini?” tanya bu Nyai Qomariyah. 

“Saya setuju, bu Nyai,” jawabnya pelan dengan tangan terkepal di bawah meja. 

“Karena semua sudah sepakat, kita akhiri pertemuan ini. Dan Ustadzah Ruwaidah, tolong kasih tahu hal ini kepada Nadhiva. Shukran.  Ohya, untuk menjamu tamu dari China, saya serahkan kepada Nadhiva. Saya akhiri pertemuan, wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu.”

“Wa’alaykumussalaam warahmatullaahi  wabarakaatuhu.”

Masing-masing mereka ikut membubarkan diri setelah Nyai Qomariyah keluar dari ruangan.  

Sisi barat paling ujung di taman. Nadhiva melatih hafalannya bersama Rukiyah. 

“Rabbul masyriqi wal maghribi…,” Nadhiva memberi pancingan. 

“Rabbul masyriqi wal maghribi lā ilāha illa huwa fattakhiz- hu kawīla.” Sambung Rukiyah. 

“Masha  Allah… bacaanmu merdu banget,  Rukiyah.”

“Ah nggak ada apa-apanya dibanding mbak Nadhiva. Mbak, Ustadzah Ruwaidah menuju ke sini.”

“Assalamualaikum Dhiva, mbak Rukiyah,” sapa Ustadzah Ruwaidah. 

“Waalaikumussalam, Ustadzah.”

“Diva, bu Nyai meminta aku untuk menyampaikan amanah.”

“Apa itu kalau boleh tahu, Ustadzah?” 

Ustadzah Ruwaidah menuturkan hasil rapat yang baru saja diikutinya. “Begitulah, Nad.”

“Insha Allah jika saya mampu, akan saya lakukan.”

“Perlu diketahui, Syekh Ali memiliki riwayat penyakit gula dan Kanker stadium satu. Jangan sampai beliau bertambah parah setelah makan masakanmu.”

“Baik Ustadzah,  saya paham.”

“Ustadzah, lihat! Pakdhe Anom sudah datang dari belanja. Yuk kita bantuin,” tunjuk Rukiyah ke arah gerbang pesantren. 

“Ayo.” Ustadzah Ruwaidah dan Nadhiva saling pandang dan tersenyum. Ketiganya berjalan menuju arah pakdhe Anom yang tampak kerepotan membawa barang belanjaa. 

“Assalamualaikum, biar kami bantu bawakannya, pakdhe,” sapa Nadhiva. 

“Waalaikumussalam,  wah iya nih, Dhiva. Kalian bantu saya bawakan ke dapur ya. Berat banget ini.”

Ustadzah Ruwaidah, Nadhiva dan Rukiyah mengambil alih barang yang dibawa pakdhe Anom. 

Setelah sampai di dapur, “Terima kasih ya anak-anak sholihah. Pakdhe sekarang mau ke sekretariat perbelajaan dulu untuk laporan.”

“Sama-sama, pakdhe.”

Sepeninggal pakdhe Anom, “Ustadzah, kita check sekarang. Nanti kita cocokkan hasilnya dengan nota belanja,” usul Nadhiva. 

“Ayo, Nad. Rukiyah, kamu bantu kami.”

“Bantu apa, Ustadzah?”

“Mengecheck barang ini. Sudah jangan banyak tanya,” sergah Nadhiva. 

“Baik.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel