Pustaka
Bahasa Indonesia

PEARLS OF PESANTREN

44.0K · Tamat
Ely Arsad
41
Bab
395
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kisah perjuangan seorang anak wanita bernama Nadhiva Adnan, dalam memenuhi permintaan ibundanya untuk membersihkan nama ibundanya dari fitnah dan mengusut pelaku pembunuhan atas diri ibudanya. Juga permintaan lain dari ibundanya agar putrinya mewujudkan cita-cita yang gagal diraihnya karena fitnah yang dilakukan oleh keluarga sebuah pesantren. Akankah usahanya berhasil?

actionpembunuhanWanita CantikThrillerDosenAnak KecilKampusKeluargaMenyedihkan

Bab 1. Konspirasi jahat keluarga pesantren.

Byuuuurrr! Byuuuur! 

Air dingin mengguyur sesosok tubuh muda berbalut gamis warna hitam dengan jilbab lebar berwarna senada yang tengah tergolek di gudang belakang milik pesantren Nuzulul Qur'an.

"Allaahu akbar … Astaghfirullahal'adhiim," pekik gadis itu kaget. Kedua bola inderanya menatap sekitarnya dengan kebingungan. Sambil meringkuk karena sudah mulai merasa kedinginan, Nashima, nama gadis berusia dua puluh tahun itu bertanya,"Ke-kenapa saya bisa berada di-di gudang ini, Ustadzah Marni?"

"Kamu bertanya kenapa kamu bisa berada di gudang ini?! Hei, Nashima! Harusnya kami yang bertanya hal itu terhadapmu! Sekarang bangun! Ikut kami menghadap Bu Nyai Aisyah dan kamu jelaskan semua di hadapan beliau juga Pak Kyai. Cepat!" Hardik Ustadzah Marni, ketua para Ustadzah yang berusia jelang kepala tiga. "Kalian seret dia ke pesantren dalam, ke kediaman Nyai Aisyah."

Ustadzah Marni kemudian berlalu setelah memberi perintah kepada ustadzah lain yang merupakan bawahannya. Tak ada yang berani menolak perintah sang Ustadzah. 

"Ayo, Shima. Daripada nanti Ustadzah Marni bertambah marah," ujar Ustadzah Ruwaidah yang tak lain merupakan sahabat Ustadzah Nashima, dengan lembut. 

"Kenapa aku bisa berada di gudang ini, Ruwaidah?" Tanya Nashima lemah. 

Ruwaidah memandang sahabatnya heran "Kamu tidak tahu? Bagaimana mungkin kamu tidak tahu, Shima. Bukankah semalam kamu tidur di ruanganmu? Tak mungkin kan kamu berjalan sendiri ke gudang dalam keadaan tidur? Sudah lah. Ayo, kamu ganti baju terlebih dahulu biar kamu tidak kedinginan, kemudian kita menghadap Ibu Nyai Aisyah."

 Diikuti beberapa ustadzah lain, mereka bergegas menuju pesantren putri. Setelah Nashima berganti pakaian, mereka berjalan menuju kediaman Nyai Aisyah. 

Sementara itu Ustadzah Marni langsung menuju kediaman Nyai Warningsih. 

"Perintah sudah saya laksanakan, Bu Nyai. Saya yakin sebentar lagi Nashima akan dikeluarkan dari pesantren," Ustadzah Marni memberi laporan.

"Bagus kerjamu, Marni. Kita akan eksekusi dia setelah keluar dari pesantren ini. Ambil botol kecil itu. Kalian lakukan agak jauh di belakang pesantren, dekat rumpun bambu biar mayatnya tidak ditemukan orang. Buat berita miring terhadapnya,"  titah Nyai Warningsih. 

"Baik, Nyai. Sekarang saya menghadap ke kediaman Nyai Aisyah. Permisi. Assalamualaikum." Pamit Ustadzah Marni. 

"Waalaikumussalam warahmatullahi."

#Flashback 

Dari jarak yang tak terlalu jauh, Nashima  memperhatikan apa yang dilakukan oleh Marni, pimpinan dari para ustadzah di pesantren Nuzulul Qur’an, di dapur pribadi Nyai Aisyah. Terlihat oleh Nashima, Marni sedang mencampurkan sesuatu ke dalam makanan yang hendak disajikan kepada Kyai Sufyan Anshori dan keluarganya secara diam-diam dan sambil menoleh ke kanan dan kiri. 

‘Bukankah itu sajian makan malam untuk Pak Kyai Sufyan dan istri beliau, Bu Nyai Aisyah? Apa yang sudah dimasukkan Ustadzah Marni ke dalam makanan itu?’ Nashima bertanya dalam hati. “Bubuk penghancur janin ini akan bekerja selama seminggu ke depan. Jadi, tak akan ada yang curiga jika Bu Nyai Aisyah mengalami keguguran dan Pak Kyai Sufyan meninggal karena serangan jantung akibat efek obat ini secara perlahan-lahan. Dan aku... aku akan mendapat hadiah yang besar seperti yang telah dijanjikan Nyai Warningsih,” seringainya. "Ah, ini untuk Gus Hadi. Maafkan saya, Gus. Sebenarnya saya tidak tega." Marni segera menyelesaikan membubuhkan bubuk obat ke makanan terakhir yang merupakan milik Gus Hadi Sufyan Anshori, putra pertama kyai Sufyan Anshori yang berusia lima tahun.

Nyai Warningsih merupakan anak bawaan dari Nyai Zainab ketika menikah dengan Kyai Ahmad Anshori, ayahanda dari Kyai Sufyan Anshori. 

Nashima membelalak seketika mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh mbak Marni. “Astaghfirullahaladzim… Ya Allah.” Dengan cepat Nashima pergi dari tempat persembunyiannya, menemui sahabatnya, Ruwaidah. 

Hoos hoos hoos… Nashima ngos-ngosan saat tiba di depan sahabatnya. 

“Kamu kenapa, Shima? Ko’ ngos-ngosan gitu? Kayak habis lihat hantu,” tanya Ruwaidah heran. “Atur dulu nafasmu baik-baik. Lalu bicara.”

Nashima mengatur nafasnya sesuai saran sahabatnya. Setelah dirasa sudah membaik, dengan berbisik, Nashima menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya. 

“Astaghfirullahaladzim, innalillahi wa innailaihi rojiun.  Segitu jahatnya mereka. Kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Pak Kyai dan Bu Nyai juga Gus Hadi, Shima.”

“Betul. Sekarang apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus menabrak mbak khadamah yang bertugas mengantar makanan untuk beliau-beliau? Tapi kita juga harus menyiapkan makanan lain sebagai pengganti,” tanya Nashima.

“Aku yang akan membuatnya. Tapi kamu harus laporkan dulu hal ini ke dewan keamanan pesantren. Apa menu makan malam beliau dan istrinya?” tanya Ruwaidah. 

“Sambal goreng terong campur kerang, pepes ikan, tahu masak balado dan udang masak mie sohun,” sahut Nashima.

“Aku akan belanja keluar sebentar. Jangan katakan ini kepada siapa-siapa. Akan kuusahakan semuanya beres tepat waktu. Kita nanti hanya perlu membuat mbak Khadamah lengah sebentar kemudian kita tukar kedua lauk tersebut.”

Nashima mengangguk setuju. Kemudian Ruwaidah menemui asisten perijinan di kantor kesantrian untuk meminta ijin berbelanja kebutuhan yang tak didapatkannya di kantin maupun market pesantren. 

Setelah mendapat izin, tanpa membuang waktu, Ruwaidah segera bergegas ke pasar yang jaraknya hampir lima ratus meter dari pesantren dengan mengendarai sepeda motor milik pesantren. 

POV Marni. 

“Aku percaya kamu pasti bisa melakukan tugas ini dengan baik, Marni. Yang botol hijau untuk menggugurkan kandungan, yang botol putih itu racun yang dapat menyebabkan yang meminumnya akan mati perlahan. Dokter akan mengira terkena serangan jantung. Sedangkan yang botol kecil ini untuk Gus Hadi. Paham?” titah Nyai Warningsih kepadaku beberapa hari lalu. Beliau menemuiku saat aku menyiapkan sarapan untuk Pak Kyai dan keluarganya. 

Sejujurnya aku bingung harus bagaimana. Aku tahu siapa keluarga Kyai Sufyan dan keluarga Nyai Warningsih. Ayah Nyai Warningsih hanyalah anak yang dibawa oleh Nyai Ajeng saat menikah dengan Kyai Anshari Wahab, ayah dari Kyai Sufyan Wahab. 

“Aku akan memberimu kuasa mengelola sawah satu hektar yang ada di sebelah kiri pesantren jika kamu berhasil,” Nyai Warningsih memberikanku tawaran yang menggiurkan. “Kalau masih kurang, aku ada sebuah rumah di kawasan Tanjung Pecinan. Akan kuberikan padamu,” imbuhnya sebelum aku sempat menjawab. 

“Tapi-,” jawabku ragu. 

“Kamu juga tak perlu takut, aku yang akan melindungimu,” serobotnya sebelum aku menjawab. 

“Baiklah, Bu Nyai,” bagaimanapun juga aku tidak boleh munafik karena saat ini aku butuh uang untuk biaya pengobatan ibuku.

“Bagus. Ambillah ini!” Nyai Warningsih menyodorkan tiga buah botol kepadaku. Satu berwarna Putih, sedang satu lagi berwarna hijau dan satu lagi ukuran kecil “Awas jangan sampai gagal apalagi diketahui orang lain.” Kemudian beliau pergi. 

“Baik, Bu Nyai.” Kusimpan ketiga botol tersebut lalu ku lanjutkan pekerjaanku.  

POV Nyai Warningsih..

“Kalau Nyai Aisyah melahirkan anak laki-laki kembali, secara otomatis putraku akan tersingkir dari sini dan semua aset pesantren tidak bisa aku kuasai. Satu putra saja sudah menyusahkan, apalagi dua putra."

“Hmmm ada Marni. Biar ku suruh saja dia yang melakukannya. Tak perlu tanganku sendiri yang melakukannya.” 

“Marni,” panggilku pelan. Sepintas dia kaget. 

“Eh Bu Nyai. Assalamu'alaikum. Maaf, apakah butuh sesuatu?” tanyanya. 

Aku mengangguk. “Aku butuh bantuanmu.” Lalu aku berbisik ke telinganya tentang rencanaku. Dia tampak kaget. 

“Ta- tapi, ini sangat berbahaya, Bu Nyai. Saya tidak ingin menjadi pembunuh”,

“Aku akan memberikanmu kompensasi yang sepadan. Bukankah orang tuamu sekarang sedang di rumah sakit dan butuh biaya,” sengaja kupermainkan perasaannya agar dia bimbang dan menuruti keinginanku. Marni tampak berpikir keras

“Baiklah Bu  Nyai. Saya akan lakukan.”

Ku serahkan tiga botol yang semula ada di saku gamisku. Kemudian aku pergi. 

POV Kembali kepada Nashima & Ruwaidah 

 Ruwaidah sudah kembali dari pasar. Nashima bergegas membantunya membawa barang belanjaan, lalu keduanya bergegas menuju dapur para santri. 

“Shima, biar aku yang bersihkan bahan-bahan ini. Kamu tolong racik bumbunya,” cetus Ruwaidah.

“Baik, Ida. Kita tak punya banyak waktu. Sekarang sudah hampir Magrib. Waktu kita hanya empat puluh menit.”

Kemudian keduanya sibuk dengan bagian pekerjaan masing-masing. 

Jelang waktu makan malam, Ruwaidah menemui Marni yang juga tengah bersiap akan membawa hidangan makan malam ke meja makan dhalem. Namun belum sempat Ruwaidah berbicara, mbak Suci salah satu khadamah  memanggil Marni dan menyuruhnya ke ruangan Gus Hadi, balita mungil milik Bu Nyai Aisyah yang berusia lima tahun.

Nashima & Ruwaidah tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ruwaidah memilih berjaga, khawatir ada yang melihat aksi mereka dan melaporkan kepada bagian keamanan pesantren. 

Dengan cekatan Nashima menukar makanan tersebut. Setelah selesai, keduanya bergegas pergi. Tak lama mereka pergi, Marni pun datang. Kemudian membawa makanan Pak Kyai ke meja makan dhalem. 

Di ruang makan dhalem tampak semua sudah duduk dengan rapi di ruang makan. Dengan agak gemetaran, Marni menata hidangan di meja makan. 

Nyai Warningsih yang juga ada bersama mereka, tersenyum menyeringai membayangkan sang Kyai akan wafat dengan cepat dan bayi yang dikandung Nyai Aisyah akan mengalami keguguran sehingga tak ada generasi penerus pasca kematian Gus Hadi yang juga menjadi incarannya. Kemudian dia akan mengajukan putranya untuk menggantikan Kyai Sufyan menjadi pemimpin pesantren Nuzulul Qur’an. 

Hari berlalu. Sudah lebih dari satu minggu. Namun tak ada tanda-tanda apapun pada kedua target Nyai Warningsih. 

“Kenapa belum ada tanda-tanda juga ya? Bukankah ini sudah lewat dari satu minggu? Apa Marni berkhianat dan tidak menaruh kedua racun itu pada makanan mereka? Aku harus temui Marni,” bergegas Nyai Warningsih menuju dapur santri. 

Dapur santri tampak sepi. Hanya Marni sendirian yang berada di dalamnya. Nyai Warningsih leluasa untuk berbicara meski dengan suara pelan. 

“Kamu tidak mengkhianatiku kan, Mar?” hardik Nyai Warningsih. Plak!!! Sebuah tamparan membekas lima jari di pipi Marni. 

“Maaf, a-apa maksud bu Nyai?” tanya Marni sambil memegangi pipinya yang sakit.

“Sudah lewat dari sepekan, tapi kenapa tak ada gejala apapun efek racun itu. Apa kamu berbohong padaku?” bentak Nyai Warningsih. 

“Saya sudah lakukan perintah njenengan, bu Nyai,” jawab Marni.

“Bohong kamu! Buktinya tak ada gejala apapun pada mereka. Harusnya Sufyan dan istrinya sudah meregang nyawa dan bayinya mestinya sudah gugur seminggu lalu. Begitupun juga Hadi,” hardik Nyai Warningsih kesal. 

“Sumpah demi Allah, saya sudah lakukan apa yang Nyai Warningsih perintahkan. Masalah efeknya, saya kurang tahu kenapa sampai sekarang belum ada efeknya.” 

Dengan melotot kesal, Nyai Warningsih meninggalkan Marni. Di depan pintu dia berpapasan dengan Nashima.

“Kamu! Sudah berapa lama kamu berdiri di situ?” tanya Nyai Warningsih kaget. 

“Saya baru tiba, Bu Nyai. Maaf, sepertinya bu Nyai sedang kesal?”

“Itu bukan urusanmu.” Nyai Warningsih kemudian pergi.

“Shima..” panggil Marni lirih. “Apakah kamu mendengar semua pembicaraan kami?”

Nashima tersenyum tanpa berniat menjawab. “Bahkan dari  awal rencana, Ustadzah,” jawabnya kemudian pergi setelah mengambil segelas air untuk minum. 

Mulut Marni menganga kaget. “Ap-apa? Berarti kau!”

“Kurasa bu Nyai Aisyah dan pak Kyai Sufyan tidak pernah berbuat jahat kepada Ustadzah Marni. Kenapa kamu bersekongkol dengan penjahat hanya demi rupiah, Ustadzah Marni?” ujar Nashima sebelum pergi. 

Marni terhenyak. Setelah Nashima pergi, Marni bergegas menemui Nyai Warningsih untuk menceritakan semuanya serta kecurigaannya.

“Apa?! Nashima sudah mengetahui rencana ini dari awal? Artinya… apakah dia mengetahui rencana kita?" Tanya Nyai Warningsih. 

"Sepertinya begitu jika menelisik pengakuannya, bu Nyai."

Nyai Warningsih tampak berpikir sejenak. Lalu berbisik di telinga Marni. Tampak Marni manggut-manggut mengerti. 

"Kita lakukan rencana pertama, Marni. Sekarang dia tengah mengajar. Kamu temui Shima tanpa mengundang kecurigaan."

"Baik, bu Nyai. Kalau begitu, saya undur diri. Assalamualaikum." Marni berpamitan. 

"Waalaikumussalam."

Nashima yang tengah selesai mengajar kelas putri, segera memenuhi panggilan Ustadzah Marni yang sudah menunggunya di taman samping kanan bangunan pesantren putri. 

"Assalamualaikum, maaf Ustadzah Marni. Ada keperluan apa memanggil saya?" Tanya Nashima dengan santun.

"Duduklah. Saya hanya mau minta maaf dan berharap hal ini tidak kamu ceritakan kepada siapa-siapa masalah tersebut. Kamu tahu saya terpaksa melakukannya."

"Saya paham, Ustadzah."

"Terima kasih atas pengertianmu, Shima," tutur Ustadzah Marni dengan mimik wajah yang dibuat semenyesal mungkin. "Ada apa Aida?" Ustadzah Marni menatap sosok yang tiba-tiba muncul di belakang Nashima. 

Spontan Nashima menoleh. Tersenyum ramah kepada sosok yang di belakangnya. 

"Maaf Ustadzah, saya bawakan air untuk Ustadzah berdua sesuai perintah Ustadzah tadi," santriwati Aida menyodorkan nampan yang berisi dua gelas air. 

"Terima kasih, Aida. Mungkin Ustadzah Nashima juga haus setelah mengajar. Terlebih matahari bersinar sangat terik hari ini meski hari sudah beranjak senja. Silakan diambil, Shima."

"Silakan Ustadzah Marni mengambil terlebih dahulu," balas Nashima dengan sopan. 

Ustadzah Marni mengambil kedua gelas mengikuti arah kode dari mata Aida, lalu menyodorkan gelas yang di tangan kanannya kepada Nashima. "Silakan, Shima."

"Eh… terima kasih, Ustadzah." Nashima menerima dengan senang hati. Setelah mengucapkan basmalah, Nashima minum air yang di tangannya. 

Tak berapa lama Nashima merasakan kantuk yang luar biasa. 

"Ustadzah Shima, Ustadzah tidak apa-apa?" Ustadzah Marni bertanya dengan pura-pura cemas. 

Dalam hitungan menit,  Nashima sudah terkulai tak berdaya. Dengan sigap, Ustadzah Marni yang dibantu santriwati bernama Aida menggotong Nashima dengan masing-masing berada di sisi kanan dan kiri Nashima. Keduanya segera  membawa tubuh tak berdaya tersebut menjauh dari tempat mereka berbincang, agar tak terlihat oleh siapa-siapa