Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Fitnah terhadap Nashima dan diusir dari pesantren.

#Pasca penyiraman Nashima di gudang. 

    Dengan dikawal beberapa ustadzah dan santriwati, Nashima melangkah lunglai. 

    Ruwaidah menatap sahabatnya dengan tak berdaya dan bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi. Tak mungkin sahabatnya yang terkenal paling disiplin di antara semua santriwati di pesantren Nuzulul Qur'an melakukan hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. 

     Para santriwati mengarak Nashima menuju aula pesantren. Di sana, Kyai Sufyan Anshori, Nyai Aisyah dan Nyai Warningsih sudah menunggu. Juga beberapa pejabat pesantren. 

    Sidang pun di mulai. Nashima membantah semua kesaksian beberapa santriwati yang mengatakan melihat dirinya tidur dengan laki-laki tak dikenal di dalam gudang. Ustadzah Marni mengeluarkan lembaran kertas dari kantongnya dan menunjukkan di depan muka Nashima. Ternyata beberapa foto Nashima yang di sampingnya ada pria yang sama sekali tak dikenal Nashima. Secara mata awam,  terlihat sekali kalau foto tersebut adalah hasil editan. 

     "Masih mau membantah?!" Hardik Ustadzah Marni. 

     "Astaghfirullah, Ustadzah. Saya tidak mungkin melakukan hal nista ini, Ustadzah." Nashima menyangkal bukti yang ada di tangan Ustadzah Marni. 

     "Maaf, Pak Kyai dan Bu Nyai. Barang bukti yang saya dapatkan lebih kuat. Mau disangkal bagaimanapun, percuma. Karena ini bukan fitnah. Tapi fakta." Cecar Ustadzah Marni. 

    "Maaf, Pak Kyai kalau saya lancang. Saya mengenal Nashima dari awal dia masuk pesantren ini. Rasanya tidak mungkin sahabat saya melakukan hal nista seperti ini," bantah Ruwaidah, membela Nashima yang kemudian dibenarkan oleh beberapa santriwati yang memang sangat dekat dengan Nashima. 

     "Kita serahkan semua kepada kepala dewan keamanan pesantren. Saya berharap Ustadz Maulana bersikap adil. Karena ini menyangkut nama baik personal dan juga pesantren," sahut Kyai Sufyan. 

    "Baik, Yai," jawab singkat Ustadz Maulana.

     Kyai Sufyan menyerahkan putusan kepada kepala dewan keamanan pesantren dengan menahan rasa kecewa. Beliau bukan tidak tahu jika santriwatinya yang satu ini adalah santriwati berprestasi dan terbaik. Persidangan yang memakan waktu satu jam, akhirnya selesai. Nashima akhirnya dinyatakan bersalah dan dikeluarkan dari pesantren. Para santri dan santriwati pun membubarkan diri dengan segala komentar mereka, lalu kembali beraktivitas. Beberapa santriwati ditugaskan untuk membenahi semua pakaian Nashima setelah diperintah.

     Senyum sinis terpancar secara samar dari Nyai Warningsih dan Ustadzah Marni. 

   Dengan lunglai, Nashima menyeret kopernya menuju gerbang pesantren. Langkah gontainya menyeret kaki mungil gadis berusia dua puluh tahun ini menuju arah halte bus sejauh lima ratus meter dari pesantren. Melewati pematang sawah yang ditanami jagung yang sudah setinggi orang dewasa. 

     Berkali-kali Nashima menguap karena pengaruh obat bius masih tersisa dalam tubuhnya. 

     Huuuft…. Nafas Nashima mendadak terhenti setelah ada yang membekapnya dari belakang. Tanpa disadari gadis itu, ternyata ada yang diam-diam mengikutinya. 

    Nyai Warningsih, Ustadzah Marni, santriwati Aida dan seorang santriwati lainnya. 

   "Cepat bawa dia ke belakang pesantren, di antara rerimbunan rumpun bambu sebelum senja tenggelam!" Perintah Nyai Warningsih. 

     "Baik, bu Nyai. Ayo Aida dan kamu, siapa namamu? Bantu saya menyeret Nashima ke tempat yang dimaksud oleh Nyai Warningsih,  sebelum kita dilihat oleh orang-orang," Ustadzah Marni memberi perintah. 

    "Baik, ustadzah." 

    Kedua santriwati lalu menyeret tubuh tak berdaya Nashima. 

     Di belakang pesantren, tepatnya di luar pagar tembok pesantren, mereka meletakkan tubuh Nashima di antara rimbunnya pohon bambu. 

    "Cepat masukkan cairan pembasmi nyamuk itu ke mulutnya. Lalu kita pergi!" Hardik Nyai Warningsih. 

   Ustadzah Marni dibantu dua santriwati yang bersama mereka, membuka paksa mulut Nashima. Setelah berhasil memasukkan cairan pembasmi nyamuk, mereka segera pergi.

       “Tak akan ada yang bisa menolongnya. Hahahaha," Nyai Warningsih terbahak. 

      

#POV Nashima.

Sepuluh tahun berlalu. Di sebuah rumah beratap rumbia dan berdinding papan kayu jati yang sudah lapuk, seorang wanita cantik berhijab ala kadarnya, tengah memasak di dapur yang terletak di area belakang pekarangan yang tak seberapa luas. “Bunda.. Dhiva laper,” rengek gadis kecilnya yang berusia tujuh tahun. 

“Sebentar ya, sayangnya bunda. Sudah hampir matang.  Ayah mana?” tanya wanita itu. Ya, dia adalah Nashima yang telah diselamatkan oleh Adnan dari kasus pembunuhan atas dirinya. 

“Itu ayah. Baru pulang dari mencangkul sawah pakdhe Galih,” tunjuk gadis kecil itu. “Ayah… cepatlah mandi. Kita akan segera makan,” teriaknya yang hanya dibalas dengan tawa ayahnya. 

Selesai makan, Nashima berpamitan kepada suaminya untuk pergi ke pasar. “Apa tidak apa-apa, dek? Mas khawatir mereka akan memburumu kalau tahu kamu masih hidup,” tanya sang suami agak cemas. 

“Insha Allah  tidak akan ada yang mengenaliku, mas. Aku akan bawa Nadhiva juga ke pasar.”

“Ya sudah, berhati-hatilah kalian. Nadhiva sebaiknya wajahnya ditutupi biar tidak kepanasan, dek. Maaf, mas gak bisa mengantar kalian. Dada mas sedari pagi tiba-tiba sakit. Ndak tahu kenapa ini. Mas mau istirahat dulu.”

“Gak apa-apa, mas. Shima ngerti. Lagian mas juga pasti lelah setelah seharian kerja di sawah kang Galih. Kami berangkat sekarang, takut keburu tutup pasarnya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuhu, dek.”

Setelah membuatkan cadar dengan jilbab yang dipakai Nadhiva, keduanya berangkat ke pasar dengan baik sepeda onthel. 

Hampir satu jam mereka di pasar, mereka segera pulang setelah membeli semua kebutuhan. Tanpa mereka sadari, ada yang mengawasi mereka.

Melewati persawahan yang sudah menguning, Nadhiva membaca Surah Al Qur’an sepanjang jalan pulang. Meski baru berusia delapan tahun, Nadhiva selalu diajarkan untuk menghafal Al Qur’an oleh kedua orang tuanya, terutama oleh bundanya, Nashima. 

Ya, selama di pesantren, Nashima kerap dikirim ke kompetisi tahfidz Qur’an antar daerah atau menjadi tamu undangan pesantren lain dan selalu menjuarai setiap perlombaan. Bukan hanya itu, dia juga sering dikirim untuk perlombaan bidang studi umum di luar pelajaran agama. Dan lagi-lagi penampilan dan kecerdasannya membuat bangga almamater pesantren Nuzulul Qur’an. 

Bersahutan dengan sang bunda, Nadhiva menyambung ayat yang dilontarkan ibundanya. 

“Wa kaanų yaqųlųna a iżā…,” umpan Nashima. 

“a iżā mitnā wa kunnā turābaw wa ‘izāman a innā lamab’ųśųn,” sambung gadis kecil itu. 

“Surah apa, ayat berapa dan apa artinya, sayank?” tanya Nashima sambil tetap mengayuh onthelnya. 

“Surah Al Waqi’ah ayat empat puluh tujuh, ya bund? Artinya kalau nggak salah ‘Apabila kami sudah mati, menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah kami akan benar-benar dibangkitkan kembali?’ seperti itu ya bund?” jawabnya tanpa berpikir, seakan isi al Qur’an sudah hafal. 

“Alhamdulillaah anak bunda benar. Lalu Allaah jawab bagaimana?” pancing bundanya lagi. 

“qul innal-awwalīna wal-ākhirīn, lamajmų’ųna ilā mīqāti yaumim ma’lųm. Itu jawaban Allah ya, bund?”

“Ayat berapa dan apa artinya?” kejar bundanya. 

“Al Waqi’ah ayat empat puluh sembilan dan lima puluh. Yang artinya Katakanlah Ya, sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian pasti semua akan dikumpulkan pada waktu tertentu, pada hari yang sudah ditentukan. Betul kah, bund?”

“Be- Allaaahu akbar aaaa,” braak..belum selesai Nashima menjawab pertanyaan putrinya, mobil pick up menabrak onthel mereka. Pengemudinya langsung melarikan diri. Darah pada tubuh Nashima mengucur deras akibat benturan keras dengan aspal dan batu yang ada di pinggir jalan serta melindungi sang putri agar tidak kenapa-kenapa. 

Dor… terdengar sebuah letusan dari sebuah senjata api. Nashima merasakan sesuatu yang panas menembus bahu kanannya. “Allah Allah Allah,” keluhnya lirih. 

Putrinya yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri atas apa yang menimpa ibundanya, menjadi shock berat. Sementara sang ibu, dalam keadaan sakaratul maut yang hampir menjemput, tetap berusaha melindungi putrinya dengan menempatkan Nadhiva di pelukannya. 

“Sssttt ja-ngan ber-ge-rak, nak,” perintahnya lirih, sambil memejamkan kedua inderanya menahan sakit sekujur tubuhnya dan panas tembusan timah di area bahu kanannya. Nadhiva menuruti perkataan ibundanya, memejamkan mata dan tak bergerak sama sekali. Terlebih saat terdengar suara derap sepatu mendekati mereka. 

Tampak seorang laki-laki mengenakan jaket jean’s warna biru dengan topi berwarna hitam dan mengenakan masker serta kaca mata, mendekati ibu dan anak tersebut. Salah satu jarinya menyentuh hidung Nashima untuk memastikan sudah mati apa belum. 

“Target yang anda sebutkan tadi  sudah mati, boz. Tugas saya sudah selesai. Tenang saja, boz, tak ada yang melihat. Sepi jalanan disini. Oke oke, saya akan segera pergi dari sini. Tapi jangan lupa dengan janji anda boz hehe,” ujar pria itu melalui sambungan selulernya. Dan segera pergi setelah melaporkan hasil kerjanya. 

‘Yaa Allah, suruhan siapa orang ini?,’ batin Nashima bertanya-tanya. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel