Bab 3. Nadhiva kecil mulai masuk pesantren.
Menahan sakit di sekujur tubuhnya, Nashima memperhatikan sekitarnya. Setelah dirasa aman, barulah menyuruh putrinya untuk bangun.
“Nak, kita sudah aman. Dengarkan bunda, Nak. Lanjutkan cita-cita bunda yang pernah bunda ceritakan kepadamu. Satu lagi, bunda mohon kepadamu, bersihkan nama bunda yang terfitnah secara keji oleh anggota keluarga pesantren. Ambillah surat di kotak yang selama ini bunda melarang kamu untuk membukanya dan berikan kepada sahabat bunda,” tutur Nashima dengan suara sangat lemah, sehingga Nadhiva harus mendekatkan telinganya ke dekat bibir bundanya. "Bunda sudah tidak kuat lagi, nak. Asyhaduanla illaaha illaallaah wa asyhaduanna Muhammaderrasulullaah,” Nashima menghembuskan nafasnya yang terakhir, dengan kedua tangan memeluk tubuh putri tunggalnya.
“Bundaaaaaa hiks hiks hiks,” isak Nadhiva. Di tengah kebingungan bagaimana cara pulang, gadis kecil itu akhirnya mengambil ponsel butut ibundanya. Ditekannya nomor yang sudah dia kenal.
Tak berapa lama ayahnya, pak Galih serta istrinya dan beberapa warga datang.
“Yaa Allah Shimaa,” pekik mereka kaget.
Adnan sangat terkejut menyaksikan kondisi istrinya. Tanpa sepatah kata keluar, tiba-tiba dia mengejang, “Asyhaduanla illaaha illaallaah wa asyhaduanna Muhammaderrasulullaah, kang Galih saya titip Dhiva. Maafkan kesalahan saya dan istri jika selama ini jika tak sengaja menyakiti kalian semua.” Setelah bersyahadat dengan suara terbata-bata, Adnan pun menyusul istrinya.
“Ayaaaah,” pekik Nadhiva.
“Yaa Allah Adnan!” panggil pak Galih. Namun yang dipanggil sudah tak merespon.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, tolong bantu saya bawa jenazah mereka,” ajak pak Galih. Sementara istrinya langsung menggendong Nadhiva kecil.
Istri pak Galih sangat menyayangi Nadhiva. Terlebih mereka tak memiliki keturunan setelah lima belas tahun menikah.
Pernah suatu hari istri pak Galih berucap kepada Nashima dan Adnan, meminta Nadhiva untuk dimasukkan ke dalam akta keluarga mereka. Namun hal itu ditolak secara baik-baik oleh keduanya. Dan sekarang, kemauan mereka terkabul dengan cara yang sangat mengenaskan.
Nadhiva menangis di gendongan bu Galih.
Dua belas tahun kemudian di taman pesantren Nuzulul Qur’an.
“Nadhiva, kamu dipanggil oleh bu Nyai. Sepertinya kamu akan diikut sertakan lomba tahfidz Qur’an di Dubai, deh. Masha Allah, hebat kamu, Dhiva,” tutur Naira, sahabat Nadhiva di pesantren.
“Nadhiva,” sebuah panggilan datang dari arah belakang Nadhiva yang saat itu tengah membersihkan taman pesantren.
“Eh, Ustadzah Ruwaidah. Assalamualaikum, ustadzah,” sapa Nadhiva dengan sopan. Diikuti oleh Nai.
“Waalaikumussalam warahmatullahi. Nai, saya pinjam Nadhivanya sebentar. Bu Nyai Qomariyah memanggilnya,” Ruwaidah menjelaskan maksudnya menemui mereka.
“Silakan, Ustadzah. Saya juga baru saja memberi tahukan Nadhiva kalau dipanggil oleh Bu Nyai. Apakah Nadhiva benarkan akan diikut sertakan holy Qur’an di Dubai, Ustadzah?” tanya Nai.
“Ustadzah kurang tahu, Nai. Tapi sepertinya memang begitu. Sudah ya, ngobrolnya nanti lagi saja. Gak enak kalau Bu Nyai kelamaan nunggu Nadhiva. Assalamualaikum, Nai. Ayo, Dhiva,” Ustadzah Ruwaidah beranjak pergi dari tempat itu.
“Aku tinggal dulu, ya Nai. Assalamualaikum,” Nadhiva mengikuti langkah Ustadzah Ruwaidah.
“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
POV Bu Galih.
Setelah pemakaman Nashima dan Adnan.
“Pak, biar Nadhiva tinggal bersama kita, ya. Kasihan dia sebatang kara,” pinta bu Galih.
“Tentu saja, bu. Dulu kita meminta Nadhiva kepada mereka, tapi mereka tak mengijinkan. Tetapi sekarang hiks hiks hiks, kenapa malah dengan cara tragis seperti ini kita mendapatkan Nadhiva,” pak Galih tak kuasa menahan isaknya. Demikian istrinya. Kedua suami istri ini sangat menyayangi Adnan dan keluarganya.
Sepuluh tahun lalu, setelah ditinggal di kebun dalam keadaan sudah diracuni, akhirnya ada yang menyelamatkan Nashima. Nashima dapat bertahan hidup dari racun tersebut atas bantuan pak Galih, Adnan serta istri pak Galih. Selang tak berapa lama setelah Nyai Warningsih pergi setelah melakukan percobaan pembunuhan terhadap Nashima, pak Galih beserta istri dan adik angkatnya lewat di tempat tersebut. Kebetulan saat itu mereka baru pulang dari sawah milik pak Galih yang letaknya tak seberapa jauh dari pesantren. Adnan membantu pak Galih membawa satu tandan kelapa muda yang rencananya untuk dijual esok hari. Tapi kehendak Allah berbeda dengan kehendak dan rencana mereka. Justru air kelapa muda tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain yang tak mereka kenal, sebagai penawar dari segala racun. Bu Galih membuka paksa mulut Nashima dan dengan telaten memasukkan air kelapa muda ke dalam tenggorokan Nashima.
"Kasihan sekali gadis ini mengalami penganiayaan yang sangat parah. Siapa yang sudah tega meracuni gadis cantik ini," cerocos Bu Galih.
"Adnan, kamu buka lagi satu kelapa mudanya. Sepertinya dia baru saja yang diracuni. Masih ada harapan untuk sembuh. Cepatlah," perintah pak Galih.
"Iya, kang. Setelah ini kita bawa wanita ini ke puskesmas dekat sini untuk menerima pertolongan lanjutan." Sahut Adnan sambil tangannya dengan lihai mengupas sabut kelapa dengan parang. Lalu memberikannya kepada Bu Galih.
"Uhhuk uhhuk uhhhuk," tak berapa lama, Nashima mulai tersadar. Kemudian ketiganya membawa Nashima ke puskesmas terdekat.
Setelah pulih total atas perawatan dokter dan ketiga orang tersebut, mereka membawa Nashima pulang ke rumah pak Galih. Pak Galih mengusulkan agar Adnan menikahi Nashima. Identitas Nashima tentu saja disembunyikan oleh mereka bertiga.
Kembali kepada Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah.
Di ruangan Nyai Qomariyah.
“Assalamualaikum, bu Nyai,” Ustadzah Ruwaidah menyapa istri pimpinan pesantren Nuzulul Qur’an.
“Waalaikumussalam warahmatullah. Eh, kalian sudah datang. Ayo, silakan duduk,” dengan ramah Nyai Qomariyah mempersilakan kedua santriwatinya untuk duduk.
“Mohon maaf sebelumnya, Bu Nyai. Sekiranya ada apa Nadhiva dipanggil secara pribadi oleh Bu Nyai? Mohon maaf kalau sekiranya pertanyaan saya dianggap lancang,” tanya Ruwaidah.
Bu Nyai Qomariyah tersenyum. “Begini, ustadzah Ruwaidah. Ada beberapa kompetisi yang mana kami dari pihak pengelola pesantren sudah mendaftarkan Nadhiva untuk ikut serta. Tiga di tanah air, lima di luar negeri. Untuk yang di luar negeri, ajang holy Quran di Dubai, Mesir dan Turkey. Sedang kompetisi lainnya yakni kompetisi sains di Perancis dan Jerman. Apakah Nadhiva bersedia?”
Mata belo Nadhiva mengerjap kaget namun juga bahagia. Karena selama ini yang diikutinya hanya kompetisi antar pesantren dan juga tahap nasional, tidak sampai tahap internasional.
“Insha Allah, Bu Nyai,” jawab gadis yang sudah menyelesaikan sarjana S1 di usia tujuh belas tahun. Kecerdasan Nadhiva membuatnya tak terlalu bertahan lama di tingkat sekolah karena mendapat keistimewaan akselerasi. Sekolah dasar yang seharusnya ditempuh selama enam tahun, namun oleh Nadhiva hanya ditempuh selama tiga tahun. Begitupun sekolah tingkat menengah pertama dan menengah atas, masing-masing hanya ditempuh dua tahun. Dan program sarjana yang paling cepat biasa dijalani secara umum adalah lima tahun, namun Nadhiva mampu menyelesaikan dalam tiga tahun. Dan kini ia melanjutkan ke program S2.
Kemudian Bu Nyai Qomariyah memberikan selembar kertas yang merupakan jadwal dan kompetisi apa saja yang akan diikuti Nadhiva, serta di daerah dan negara mana saja.
Wanita berusia tiga puluh empat tahun ini secara pribadi mengagumi kecerdasan santriwatinya yang satu ini.
“Boleh Bu Nyai berkata jujur, nak Nadhiva?”
“Silakan, Bu Nyai.”
“Kalau saja Bu Nyai punya anak lelaki yang sudah dewasa, ingin rasanya menikahkan dia denganmu sekarang juga. Sayangnya Fahri masih kecil hehehe.”
Tak hanya Ustadzah Ruwaidah yang terkejut, tetapi Nadhiva tak kalah terkejutnya.
"Bu Nyai bisa saja bercandanya hehehe," Nadhiva menanggapi dengan tersipu.
“Assalamualaikum,” sebuah suara memecah perbincangan mereka.
“Waalaikumussalam, ummi.”
Huuuft… Nadhiva harus bernafas lega karena perbincangan tak terduga itu terputus.
Nyai Aisyah, ibunda dari Kyai Hadi Sufyan Anshori, masuk ke ruangan, bergabung dengan mereka.
“Maaf, Bu Nyai. Jika sudah tidak ada yang akan disampaikan lagi, kami mohon ijin untuk melanjutkan aktivitas,” pamit Ustadzah Ruwaidah.
“Oh, silakan. Dhiva, kalau ada yang tidak kamu mengerti, bisa tanyakan kepada pembimbingmu, nduk. Siapa pembimbingmu?” tanya Nyai Qomariyah.
“Ustadzah Ruwaidah, bu Nyai. Kalau begitu kami pamit, bu Nyai. Assalamualaikum.”
“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
POV Safira.
Dengan rasa iri dan dengki yang bercokol di dalam hatinya, Safira menatap Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah yang baru saja keluar dari ruangan Nyai Qomariyah.
“Harusnya aku yang diikut sertakan dalam kompetisi ini, bukan si kere itu,” dengkusnya kesal. “Aku tuh jauh lebih baik dari dia. Hafalanku juga lebih bagus dari dia. Ilmu sains ku juga. Kenapa budhe Nyai malah pilih dia? Hm ini tak adil buatku. Keluargaku sudah turun-temurun mengabdi di pesantren ini, bahkan dari awal berdirinya pesantren. Harusnya aku didahulukan, bukan si miskin itu. Sekarang, aku harus cari cara agar dia gagal diikutsertakan dalam kompetisi manapun,” pikiran licik terbesit di otak Safira.
Hari ini adalah hari berkunjung bagi pak Galih dan istrinya. Namun, karena kesibukan sang istri, pak Galih hanya pergi sendirian ke pesantren.
“Assalamualaikum, pak,” Nadhiva menyapa ayah angkatnya lalu dengan takzim mencium tangannya. “Ibu mana, pak? Ndak ikut tah?”
“Ibumu lagi sibuk banget, nduk. Biar lain kali kesini sendiri kalau sudah ndak sibuk. Padahal dia kangen banget sama kamu, Nad,” pak Galih menjelaskan ketidak ikutan istrinya.
“Nadhiva ya juga kangen berat sama ibu, pak,” sahut Nadhiva sedih.
“Assalamualaikum, maaf mengganggu. Bapaknya Nadhiva dipanggil pak Kyai di kediaman pribadi beliau, pak,” seorang santriwati memecah temu kangen anak dan ayah angkat.
Pak Galih merasa heran karena tak biasanya Kyai Hadi memintanya untuk menemuinya. Apalagi di kediaman pribadi. Kalaupun ada panggilan untuk orang tua, biasanya dilakukan di aula.
“Memang ada apa ya, nduk Jenar?” tanya pak Galih kepada santriwati yang bernama Jenar.
“Wah, kalau itu saya kurang tahu, pak. Mungkin Nadhiva tahu.”
Nadhiva hanya menggeleng lemah.
“Ya sudah, aku temui beliau dulu. Bapak tinggal dulu, nduk. Ayo, nduk Jenar.”
“Maaf, sama Nadhivanya juga, pak,” Jenar kembali berujar.
“Kamu tidak sedang bikin onar kan, nduk?” tanya pak Galih curiga dan was-was. Karena beliau tahu, Nadhiva sedikit tengil jika sudah di rumah. Namun selama di pesantren, pak Galih belum pernah mendapat laporan putri angkatnya berbuat yang tidak-tidak. Justru prestasi demi prestasi yang senantiasa diberitakan kepada beliau.
“Insha Allah gak pernah, pak. Sudah lah, ayo kita temui pak Kyai. Makasih ya Jenar, sudah memberi tahu kami.” Senyum tulus tersungging di bibir Nadhiva. Jenar pun membalas dengan senyum, kemudian berlalu setelah mengucapkan salam.
Di depan kediaman pribadi Kyai Hadi.
“Assalamualaikum, nak. Maaf, pak Kyainya ada di dalam?” tanya pak Galih dengan santun.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, pak. Kyai ada di dalam. Maaf, ada kepentingan apa ingin bertemu beliau?” sang santriwan menjawab dengan tak kalah sopan.
“Tadi kami diberi tahu oleh salah satu santriwati kalau pak Kyai meminta saya menghadap beliau, nak.”
“Sebentar saya ke dhalem untuk memberi tahukan beliau. Silakan bapak dan Ning nunggu disini.”
“Terima kasih, nak.”
Santri tersebut segera masuk menemui Kyai Hadi. Tak lama kemudian, dia sudah keluar menemui pak Galih dan Nadhiva.
“Silakan masuk, pak. Kyai sudah nunggu di dalam.” Santri putra yang berjaga, mempersilakan Pak Galih dan Nadhiva masuk.
Ketiganya melangkah ke arah berbeda.
Pak Galih menemui Kyai Hadi, sedangkan Nadhiva di tempat bu Nyai Qomariyah.
“Assalamualaikum, pak Kyai," sapa pak Galih, kemudian dengan berjalan menggunakan kedua lututnya, menyalami Kyai Hadi.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, bapaknya santriwati Nadhiva,” jawab Kyai Hadi dengan tutur kata santun.
“Mohon maaf, sekiranya ada apakah gerangan saya diminta menghadap? Saya malah jadi deg-degan gini, pak Kyai. Hehehe."
“Dibawa santai saja, pak Nadhiva. Jangan tegang begitu hehehe. Begini, pak Nadhiva. Saya selaku pimpinan di pesantren ini meminta izin dan keridhoan bapak juga beserta keluarga untuk membawa putri bapak ke Dubai, sebagai perwakilan dari pesantren sekaligus salah satu duta Indonesia di acara lomba tahfidz Qur’an di sana. Setelah dari Dubai, insha Allah akan langsung ikut kompetisi di Mesir dan di Turkey. Untuk masalah biaya atau apapun, semua ditanggung oleh kami, pihak pesantren, pak Galih. Apakah bapak tidak keberatan?” panjang lebar Kyai Hadi menjelaskan tujuannya memanggil pak Galih.
Pak Galih yang mendengarnya antara kaget dan bahagia. “Alhamdulillah Ya Allah.. tentu saja saya mengijinkan, pak Kyai. Ini suatu kebanggaan dan kehormatan bagi saya dan keluarga.”
“Alhamdulillah kalau pak Galih tidak keberatan. Insha Allah dua minggu lagi, Nadhiva serta satu orang lainnya akan berangkat ke Dubai. Semua urusan administrasi sudah kami siapkan, termasuk passport. Pak Galih tenang saja di rumah. Yang penting doakan perwakilan kita membawa nama harum negara, terlebih pesantren.”
“Insha Allah doa terbaik untuk Nadhiva dan lainnya, pak Kyai. Alhamdulillah Ya Allah."
“Silakan diminum kopinya, pak Galih,” dengan ramah Kyai Hadi mempersilakan tamunya untuk menyantap camilan dan minuman yang disajikan, sambil terus berbincang.
Tak lama kemudian pak Galih pamit undur diri. Begitupun kepada Nadhiva.
Sementara itu Safira dari balik terali jendela kamarnya, kembali menatap Nadhiva dengan sorot kebencian.
"Tunggu saja, gadis kere. Aku tak akan membiarkanmu mengikuti lomba tersebut meski kamu sudah berada di sana!" Gerutu Safira dengan tangan mengepal.