Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Persiapan berangkat ke Dubai.

POV Safira.

"Apa sih istimewanya si nadhifa sampai-sampai dia yang dipilih? Bukannya setiap ada perlombaan, aku yang dipilih," gerutunya.

"Fira kamu ngapain bengong sendiri?" tanya Susi, tantenya.

"Fira kesel, tant. Kenapa paka kyai gak nunjuk Fira untuk mewakili pesantren ke Dubai, malah anak kere itu yang diutus. Biasa juga Fira yang diutus, tant," ucapnya dengan nada kesal.

"Apa?! Wah ini tidak bisa dibiarkan. Kyai Hadi harusnya mempertimbangkan keluarga kita terlebih dahulu sebelum yang lain. Harusnya dia memprioritaskan keluarga kita karena keluarga kita dalam bidang apapun adalah yang terbaik di pesantren ini. Apalagi keluarga kita sudah beberapa dekade secara turun temurun membantu pesantren untuk berdiri tegak dari awal berdirinya. Harusnya Kyai Hadi ingat akan jasa keluarga kita. Ckckck ini sih tidak bisa dibiarkan, nduk," geram Susi.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, tant?"

"Sebentar tante akan cari cara," Ustadzah Susi tampak mulai berpikir.

Mata Ustadzah Susi langsung berbinar saat mendapatkan ide. Kemudian dia membisikkan idenya kepada Safira

"Wahh boleh juga tuh, tant. Kita pelan-pelan saja melakukannya, tant. Biar gak terlalu kentara. Kita buat sealamiah mungkin."

Keduanya tersenyum penuh kelicikan.

POV pak Galih.

"Assalamualaikum, Bu'e," sapa Pak Galih kepada istrinya setibanya di rumah setelah pulang dari pesantren.

"Wa'alaikumussalam, Pak'e. Gimana kabar anak kita, pak? Aku kangen banget. Sayangnya kerjaan nggak bisa ditinggal atau dipasrahkan kepada orang lain."

"Alhamdulillah, Dhiva sehat, Bu'e. Anakmu itu tambah cantik. Persis Adnan dan Shima wajahnya. Kecerdasannya juga kian meningkat. Masha Allah. Ohya, Bu'e, tadi Pak Kyai ada kasih tahu bapak kalau akan mengirim Nadhiva ke Dubai."

Istrinya yang sedang mengawasi roti di oven, menoleh.

"Lah, ngapain pakai mau kirim anak kita ke Dubai, Pak'e? Jadi tenaga kerja di sana? Waduh, kita masih mampu menghidupi anak kita, pak’e. Jangan diijinkan ya. Kasihan Dhiva kalau harus kerja jauh. Ibu mah gak akan merestui.”

“Bu’e ngomong opo toh? Pak Kyai mau kirim Dhiva untuk ikut kompetisi tahfidz Qur’an di Dubai, Mesir lanjut ke Turkey. Bukan untuk disuruh jadi pembantu. Ada-ada saja bu'e ini. Ya sudahlah, bapak mau mandi dulu. Gerah.” Pak Galih meninggalkan istrinya dengan terkekeh.

Sirat haru dan bangga terpancar dari indera wanita yang berusia hampir setengah abad itu. Air mata kebahagiaan tak terasa menetes di kedua pipi yang nampak mulai berkeriput.

Kembali ke Nadhiva.

Setelah menemani ayahnya menemui Kyai Hadi, Nadhiva melanjutkan membersihkan taman yang tadi sempat tertunda.

‘Nak, di taman pesantren bagian pojok sebelah barat, ada tiang. Bunda menaruh sebuah buku di dalamnya bersama sahabat bunda. Carilah buku itu kelak ketika kamu sudah menjadi santriwati di sana. In Shaa Allaah itu akan bermanfaat untukmu.’ Terngiang kembali ucapan bundanya saat sebelum ajal menjemput.

‘Bunda, siapakah gerangan sahabat bunda itu? Dua belas tahun aku mondok di sini, tapi belum menemukan beliau. Berilah aku petunjuk, bund. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa bertemu beliau.’

Ustadzah Ruwaidah sebagai pembimbing Nadhiva, sedikit terheran dengan cara Nadhiva menghafal ayat demi ayat Al Qur’an. Sejenak hatinya berkabut, mengingat seseorang yang memiliki metode menghafal yang sama dengan cara Nadhiva.

‘Siapa sebenarnya anak ini? Kenapa cara menghafalnya sama seperti Shima?’ tanya Ruwaidah pada dirinya sendiri.

Sambil berjalan, keduanya terus melangkah sambil terus menghafal. Sesekali mereka tersenyum membalas sapaan santriwati yang lalu lalang.

“Kita duduk di taman samping pondok B, Nad. Kamu bisa santai menghafal di sana.”

“Baik, ustadzah.”

Dua minggu berlalu. Empat orang telah siap berangkat ke bandara Juanda dengan diantar kendaraan pribadi milik pesantren.

Sebelum berangkat, Kyai Hadi memimpin doa dan memberikan beberapa wejangan.

POV Safira dan Susi

“Gimana, tant? Apa tante sudah menghubungi orang-orang tante yang di Dubai?”

“Sudah, Fir. Kamu tenang saja. Kita tidak perlu mengotori tangan kita sendiri, cukup memakai tangan orang lain.”

Keduanya tersenyum licik. Membayangkan bagaimana nantinya Nadhiva di Dubai sana.

Kembali ke Nadhiva dan rombongan.

Di perjalanan menuju Juanda.

“Gunakan waktu kalian untuk menghafal. Jika lelah, istirahat lah,” ujar Ustadzah Ruwaidah.

“Betul. Jangan lupa buat pikiran kalian rilex biar nanti ketika kompetisi kalian tidak gugup,” sambung Ustadz Fatih sambil menoleh ke arah belakang. Tak sengaja matanya bertemu dengan mata Nadhiva.

Nadhiva dengan cepat menundukkan pandangan.

‘Astaghfirullaahal’adziim,’ keduanya beristighfar dalam hati.

Ustadz Fatih adalah ustadz kepercayaan Kyai Hadi. Wakil dari Kyai Hadi, jika sang Kyai tak ada di pesantren, maka seluruh urusan diambil alih oleh Ustadz muda ini. Usianya sekitar hampir kepala tiga.

Lima jam perjalanan darat, akhirnya mereka tiba di juanda.

“Ayo cepat. Satu jam lagi sudah habis waktu untuk check in. Ini tiket dan passport kalian,” ustadz Fatih menyerahkan dokumen kepada masing-masing orang.

“Shukran, Ustadz.”

Keempatnya bergegas menuju pintu masuk. Setelah dilakukan pemeriksaan dokumen, mereka duduk di ruang tunggu keberangkatan penerbangan ke Dubai.

Setelah menempuh perjalanan hampir sebelas jam, akhirnya mereka tiba di Dubai International Airport. Mereka dijemput oleh salah satu panitia yang juga merupakan sahabat karib Ustadz Fatih ketika kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo. Namanya Ustadz Kareem. Pria berdarah campuran Indonesia-Oman. Namun menetap di Dubai karena menikahi gadis setempat.

Ustadzah Ruwaidah dan Nadhiva lebih memilih diam tak menimbrung obrolan dengan kaum laki-laki.

Setelah tiba di Novotel Hotel, tempat penginapan bagi peserta lomba yang datang dari berbagai negara, kelimanya berpencar. Abdullah sendirian masuk ke kamarnya karena Ustadz Fatih diajak Ustadz Kareem untuk mengontrol segala persiapan. Sekalian temu kangen karena sudah dua tahun tidak berjumpa.

Sementara Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah memilih beristirahat karena lelah setelah menempuh perjalanan hampir sehari penuh sejak dari pesantren.

Jam makan tiba. Seorang petugas berseragam hotel mengantar makanan ke kamar Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah. Wajahnya yang ditutup dengan sorban, menjadikan tak siapapun melihat wajahnya.

“Enjoy for your lunch. This lunch for ukhty Nadhiva and this one again for Ustadzah Ruwaidah,” ujar orang tersebut menjelaskan.

“Thank you so much, brother,” balas Ustadzah Ruwaidah. Kemudian pria itu pamit pergi.

Setelah agak jauh dari kamar Nadhiva, pria itu mengeluarkan ponselnya menghubungi seseorang.

“Tugas sudah dikerjakan. Hasil lanjutnya, akan saya laporkan nanti.” Segera laki-laki tersebut menutup ponselnya.

Kira-kira apa yang dilakukan laki-laki itu ya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel