Bab 5. Percobaan pembunuhan terhadap Nadhiva.
Sepeninggal laki-laki berseragam hotel tersebut, Ustadzah Ruwaidah mengernyitkan dahinya.
“Ada apa, Ustadzah? Kenapa raut Ustadzah jadi seperti itu?” tanya Nadhiva heran.
“Ndak apa-apa, Nad. Hanya heran saja. Kenapa makanan kita dibedakan ya? Aku sering mendampingi anak santri lomba ke Dubai, tapi baru sekarang makanan dibedakan. Tak mungkin panitia akan melakukan hal ini.”
Nadhiva belum paham dengan maksud perkataan Ustadzah Ruwaidah. Namun karena sudah lapar, dia segera menyantap makanan yang disediakan setelah berdo’a. Tepat ketika terdengar sebuah ketukan dari arah pintu kamar.
Seorang petugas. Papan nama tertulis Ferry Setiawan.
“Assalamualaikum, maaf mengganggu. Saya mau hantarkan jatah makan para peserta lomba yang telah disediakan panitia. Silakan dinikmati.”
Petugas bernama Ferry Setiawan itu meletakkan dua paket makanan di meja makan.
“Waalaikumussalam. Terima kasih, mas. Tapi tunggu dulu. Barusan kami dapat jatah makan. Ini belum dibuka.”
“Jatah makan? Maaf, Ustadzah. Tapi ruangan ini adalah ruangan pertama yang saya hantarkan jatah makan. Mana mungkin ada jatah makan lain? Saya pribadi petugas yang didaulat untuk mengurusi hal ini,” jelas Ferry.
Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah saling berpandangan.
“Lalu ini dari mana, mas?” tanya Nadhiva.
“Wah, saya kurang tahu, Ustadzah. Maaf.”
Tanpa mereka sadari, Nadhiva merasakan sesuatu menyumbat tenggorokannya.
“Hoeek hoeek us-ta-dzah… teng-go-ro-kan sa-ya sa-kit,” Nadhiva langsung pingsan dengan mulut yang sudah mulai mengeluarkan busa.
“Astaghfirullahaladzim, Dhiva. Nadhiva! Bangun, nak. Mas mas tolong,” Ustadzah Ruwaidah panik. Begitu juga dengan Ferry. Ferry segera menghubungi managernya dan menceritakan yang telah terjadi dan ditambah cerita dari Ustadzah Ruwaidah.
“Ada apa ini? Maaf, masuk tanpa ijin. Assalamualaikum,” Ustadz Fatih yang baru kembali ke hotel langsung menuju kamar Nadhiva karena terdengar suara agak panik di sana. “Astaghfirullahaladzim, ning. Mas, tolong panggilkan team medis secepatnya, mas. Saya tidak mau dia kenapa-kenapa.”
Tak lama kemudian team medis dan manager hotel datang. Suasana menjadi gempar. Semua peserta yang berada di kamar masing-masing berhamburan keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Semua berempati. Dengan bahasa mereka, mereka mengutuk pelaku.
“Lomba akan dimulai jam berapa, ustadz Fatih? Semoga Nadhiva segera tertolong, Yaa Allah,” ujar Ustadzah Ruwaidah dengan perasaan yang teramat sangat cemas.
“Pelombaan ditunda besok, bunda Ustadzah. Panitia memberikan kita waktu sehari untuk istirahat. Semoga Ning Nadhiva bisa tertolong. Ya Allah bagaimana saya nanti menjelaskan kepada pak Kyai.” Ustadz Fatih tak kalah cemasnya.
POV Safira dan Susi
“Orangnya tante barusan memberi tahukan kalau pekerjaan dia berhasil. Yes! Nadhiva m*mpus. Harusnya ponakan tante yang cantik ini yang maju, bukan si sok pintar itu.”
“Maksud tante? Apa yang sudah tante lakukan?”
“Kamu tenang saja. Tante hanya menyuruh orangnya tante untuk memberikan dia makanan yang sudah diracuni hehehe.”
Safira membelalak tak percaya kalau tantenya akan sekejam itu.
“Astaghfirullahaladzim, kenapa tante harus sampai membunuhnya? Bukankah bisa pakai cara lain?”
“Tante merasa kelak dia akan menjadi batu sandungan buatmu. Lebih baik dihabisi sekarang sebelum terlanjur semakin kuat. Hmm sama seperti dulu tante menghabisi Nashima, santriwati seangkatan tante. Dulu aksi tante tak perlu capek menyuruh orang karena ada Nyai Warningsih. Sejak kasus itu, Nyai Warningsih diusir oleh Kyai Sufyan.”
POV Kyai Hadi.
Drrrtt… ponsel sang Kyai berdering.
“Assalamualaikum, ustadz Fatih. Bagaimana keadaan di sana? Semua baik-baik saja?”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuhu, pak Kyai. Hmmmm begini. Ada sesuatu yang tak terduga terjadi.”
“Sesuatu tak terduga? Apa itu, ustadz?”
Melalui sambungan telefon, Ustadz Fatih menceritakan semua kronologinya.
“Astaghfirullahaladzim.. Inna Lillahi wa innailayhi roji’uun. Semoga Nadhiva segera tertolong. Aamiin. Kami akan ke sana malam ini juga, ustadz. Bagaimanapun juga, Nadhiva tanggung jawab kita.”
“Baik, pak Kyai. Saya tutup dulu karena dokter yang menangani Nadhiva sudah keluar. Nanti saya akan kabarkan lagi. Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.” Tanpa menunggu Kyai Hadi menjawab, Ustadz Fatih segera mematikan ponselnya.
Melihat dokter yang menangani Nadhiva sudah keluar dari ruang operasi, Ustadz Fatih segera berlari ke arahnya diikuti oleh Ustadzah Ruwaidah dan Salim, santri putra yang juga akan ikut berkompetisi.
“Kayf hal Nadhiva, Duktur?” tanya Ustadz Fatih tak sabar menanyakan keadaan Nadhiva.
Dokter Salman Al Balushi membetulkan letak kaca matanya. Lalu “Alhamdulillaah, almarid yatahasanu. Laqad ‘azalna aydan kulu alsumum fi jasadiha. Aintazar alan hataa yastayqiza. Rubama allaylat’aw sabah alghad ‘adrikat liltawi min tathir almukhadirat.” Dokter Salman menjelaskan kalau keadaan Nadhiva sudah membaik. Racun di tubuhnya juga sudah dikeluarkan semua. Dokter Salman menyuruh mereka menunggu Nadhiva siuman dari pengaruh obat bius.
“Shukran lak ealaa musaeadatik, ya Duktur.” Ustadz Fatih mengucapkan terima kasih atas bantuan dokter ahli ini.
“Afwan. ‘iidhakan al’amr khadalik, fasa’aedhir nafsi awlaan. Assalaamu’alaykum.” Dokter Salman berpamit.
“Wa’alaykumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuhu.”
“Bunda Ustadzah, ayo kita lihat Ning Nadhiva. Saya berharap tak lama lagi beliau segera sadar.”
“Mari, nanda Ustadz Fatih dan Salim.”
POV Susi
“Apa?! Fatih membawa ke rumah sakit? Sekarang sudah sembuh dan hanya nunggu sadar dari pengaruh bius? Ckckckckk benar-benar s*alan. Pokoknya gak mau tahu. Aku mau dia jangan sampai kembali ke pesantren lagi. Kalau kamu berhasil, aku tambah bonus untukmu. “ Ustadzah Susi menutup telefonnya.
“Ada apa, tant?”
“Si Fatih membawa wanita itu ke rumah sakit. Dan sekarang keadaannya sudah membaik. Orang kita tidak bisa masuk menerobos ke ruangan Nadhiva karena dijaga ketat oleh polisi Dubai. Kita tunggu sampai dia keluar dulu dari rumah sakit. Anak buah tante yang lain sudah mempunyai rencana yang cukup matang.”
Ada desir cemburu di dada Safira ketika Ustadzah Susi mengatakan kalau Ustadz Fatih menjaga Nadhiva sepenuh hati.
‘Perempuan sialan. Mau mati saja masih mampu menarik perhatian Ustadz Fatih. Semoga kamu cepat mampus, Nad.”
“Ngomong-ngomong, apakah Kyai Hadi sudah tahu hal ini, tant?”
“Pastinya sih sudah. Cuma dia tak mempublikasikannya. Ngapain juga kamu pikirin yang gak penting. Kita juga harus fokus dengan tujuan kita, mengambil alih pesantren. Kakek buyut kita juga ada andil membangun pesantren ini. Kita harus cari cara bagaimanapun untuk mengambil alih pesantren. Kita harus mendapatkan dokumen kepemilikan pesantren ini. Kalau dokumen sudah di tangan kita, akan lebih mudah untuk kita ambi alih. Kita akan minta bantuan pengacara untuk membalikkan nama menjadi nama kita,” seringai Ustadzah Susi.
“Iya, tante.”
Kembali ke Nadhiva dan yang lainnya.
Dengan berhati-hati, Ustadzah Ruwaidah masuk ke kamar rawat Nadhiva. Perawat jaga hanya mengijinkan satu orang untuk masuk bergantian dan diberi tenggang waktu sepuluh menit.
Wajah pucat Nadhiva akibat keracunan, mengingatkan Ustadzah Ruwaidah pada peristiwa dua puluh tahun lalu, di mana sahabatnya mengalami hal yang serupa. Hanya saja, kala itu Ustadzah Ruwaidah tak berdaya. Namun dengan caranya, ia menyelamatkan sahabatnya yang kini entah di mana. Apakah selamat atau meninggal saat kejadian. Mengenang hal ini, mata Ustadzah Ruwaidah mulai berkaca-kaca.
“Cepat sembuh, nak. Jangan buat kami mencemaskanmu. Pak Kyai juga selalu bertanya tentangmu setiap waktu. Jangan buat kami cemas, Nad.”
Setelah memanjatkan doa untuk kesembuhan Nadhiva, Ustadzah Ruwaidah keluar dari ruang perawatan.
“Bagaimana kondisi ning Nadhiva, Ustadzah?” tanya Salim.
“Wajahnya sudah tak terlalu pucat. Kita berharap Nadhiva segera siuman. Kasihan, saya gak tega melihat jarum tertancap di tangannya.”
Ustadz Fatih dan Salim tidak menjenguk ke dalam, hanya melihat dari luar kaca kamar.
Drrrt Drrtt ponsel milik Ustadz Fatih berdering. Kyai Hadi.
“Assalamu Alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu, pak Kyai.”
“Wa'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh wal maghfirah. Bagaimana keadaan santriwati Nadhiva, Ustadz Fatih?”
“Alhamdulillaah kondisinya seperti semakin membaik, pak Kyai. Sebentar ya, lebih baik kita melakukan panggilan video untuk lebih jelasnya.”
Ustadz Fatih segera menutup sambungan telefonnya. Kemudian membuka aplikasi hijau dan melakukan panggilan video dengan Kyai Hadi.
Bu Nyai Aisyah dan Bu Nyai Qomariyah juga ada di samping Kyai Hadi. Mereka mencemaskan keadaan Nadhiva.
“Wajah ning Nadhiva sudah tak terlalu pucat seperti sebelum ditangani dokter, Pak Kyai. Dokter bilang mungkin nanti malam akan segera siuman. Sekarang masih tertidur karena pengaruh obat bius yang disuntikkan pada beliau.”
“Alhamdulillaah kalau begitu. Kami cemas banget. Lalu, apakah polisi sudah menemukan pelakunya?”
“Untuk saat ini pelakunya dalam pengejaran, pak Kyai. Identitas pelaku sudah diketahui. Dia juga asli orang Indonesia, hanya berkebangsaan Dubai. Keturunan Indonesia-Dubai.”
“Ustadz Hasan sudah berangkat ke Dubai. Biar beliau yang menangani masalah ini. Kalian fokus saja pada Holy Qur’an besok. Ustadzah Ruwaidah, jika kondisi Nadhiva belum pulih benar, tak usah paksakan dia untuk ikut kompetisi. Saya khawatir terjadi apa-apa di panggung.”
“Baik, pak Kyai.”
Setelah berbincang agak lama, panggilan video pun ditutup.