Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Kemenangan untuk semua.

Enam jam kemudian. Ustadzah Ruwaidah melihat jari-jemari Nadhiva bergerak. 

“Nadhiva sepertinya sudah siuman. Lihat, jarinya sudah gerak-gerak,” tunjuk Ustadzah Ruwaidah dengan perasaan bahagia. “Alhamdulillaah Yaa Allaah.”

“Alhamdulillaah Yaa Rabb,” sambung Ustadz Fatih dan Salim. 

Tampak perawat jaga langsung memanggil dokter untuk memeriksa Nadhiva. 

Dokter Salman hanya memberikan instruksi kepada perawat yang menjaga Nadhiva untuk memeriksa Nadhiva. Ya, berbeda dengan di negara kita di mana team medis menyentuh yang bukan mahramnya. 

Setelah mendapat laporan yang memuaskan dari perawat jaga, Dokter Salman menemui Ustadz Fatih dan yang lainnya yang menunggu di luar. Dokter Salman menjelaskan kondisi Nadhiva yang sudah membaik. Tapi belum bisa di bawa keluar dari rumah sakit karena khawatir kondisinya masih lemah karena belum sembuh benar. Mereka bertiga diijinkan untuk masuk bersamaan asal jangan membuat keributan. 

Keesokan harinya.

Kondisi Nadhiva yang masih lemah, namun dia memaksakan diri untuk tetap ikut dalam ajang Holy Qur’an. 

“Kondisimu masih lemah. Sebaiknya banyak istirahat. Tak apa kita gugur di ajang putri. Kesehatanmu jauh lebih penting,” Ustadzah Ruwaidah menasihati gadis keras kepala itu. 

“Saya baik-baik saja, Ustadzah. Insha Allah gak akan kenapa-kenapa. Kita harus keluar dari rumah sakit. Setengah jam lagi akan segera di mulai,” jawab Nadhiva. 

“Wajahmu masih pucat. Kita gak mau ambil resiko yang nantinya akan dimarahi oleh pak Kyai, ning Dhiva,” sela Ustadz Fatih. 

“Insha  Allah saya sudah sembuh, Ustadz. Tolong, biarkan saya melakukan amanah ini,” Nadhiva memohon. 

“Kita minta pendapat Kyai Hadi saja. Biar beliau yang memutuskan,” Ustadz Fatih mengeluarkan ponselnya menelefon Kyai Hadi. 

Setelah berembug empat kepala dan Nadhiva yang bisa meyakinkan Kyai Hadi, akhirnya Kyai Hadi mengijinkan Nadhiva untuk ikut lomba. 

“Alhamdulillaah, terima kasih, pak Yai,” Nadhiva mengakhiri perbincangan. 

Kemudian Ustadz Fatih menemui dokter Salman dan mengatakan niatnya. Perundingan yang alot karena dokter Salman keberatan dan khawatir dengan kondisi Nadhiva. Setelah Nadhiva sendiri yang meyakinkan beliau, barulah dokter Salman mengijinkan. 

Qur’anic park centre. 

Peserta dari berbagai negara telah berkumpul. Beberapa di antara mereka sudah diuji oleh tim juri. 

Tiba nama Nadhiva dipanggil ke pentas. 

“Yā ayyuhallazīna āmanū ..” juri bernama Ali Zain membacakan salah satu ayat. 

“Yā ayyuhallazīna āmanū atī’ullāha wa ați’urrasųla wa ulil amri mingkum, fa in tanāza’tum if syai’in fa ruddųhu ilallāhi war-rasųli ing kuntum tu’minųna billāhi wal yaumil ākhir, zālika khairuw wa ahsanu ta’wilā,” Nadhiva menyelesaikan satu ayat yang diajukan oleh salah satu juri, dengan lantunan yang sangat indah. 

Tanya jawab lain juga dilakukan oleh juri yang lain. 

Tiba saat pengumuman. Pembawa acara membacakan nama-nama pemenang dari nomor sepuluh sampai nomor dua. 

“Who’s she the winner for Holy Qur’an 2022? The winner is…” pembawa acara sengaja membuat peserta yang nama-namanya tak disebutkan berharap-harap cemas. 

“Tak mungkin kita, karena peserta lain jauh lebih baik penampilannya,” ujar Nadhiva. 

Ustadzah Ruwaidah memegang tangan dingin Nadhiva.  “Tak menang tak apa, Nad. Yang penting kita sudah tampil. Karena sainganmu orang-orang yang sangat luar biasa.”

“Congratulations for miss Nadhiva Adnan, contestant from Indonesia,” pembawa acara menyebutkan nama Nadhiva. 

Gemuruh suara tahmid dan takbir bergema di aula Qur’anic park. 

Nadhiva melongo, begitu juga Ustadzah Ruwaidah dan Ustadz Fatih. 

“Alhamdulillaah Yaa Rabb,” keempatnya langsung melakukan sujud syukur atas kemenangan Nadhiva. 

“Saya jadi gak pede, ning Dhiva. Takut mengecewakan pesantren,” keluh Salim tak kalah berdebar karena untuk kategori ikhwan belum diumumkan. 

“Kang salim, menang atau kalah, kita adalah yang terbaik karena tidak semua hafidz dan hafidzah memperoleh kesempatan ikut ajang internasional kayak gini. Tetap semangat, kang. Apapun hasil, kita sudah berusaha,” jawab Nadhiva memberikan semangat kepada Salim.

“Betul apa yang dikatakan Ning Dhiva, kang Salim. Pak Kyai juga gak akan marah hanya karena kita kalah. Bukankah dalam kompetisi itu hal yang biasa?” imbuh Ustadz Fatih. 

“Betul apa yang dibilang Ustadz Fatih dan Nadhiva, kang Salim. Jangan putus asa. Bukankah masih akan ada kompetisi lagi di Turkey dan Mesir setelah ini?” Ustadzah Ruwaidah menasihati. 

“Iya ustadz, Ustadzah dan ning. Kalian benar. Saya hanya tidak terlalu pede sama ning Dhiva.”

“Kita dengarkan pengumuman selanjutnya untuk kategori putra,” Ustadz Fatih menginterupsi obrolan. Kemudian semua diam, tegang. 

“Alright, now we’re going to read out the top ten winners for the men’s category. From the order of ten fell to the brother of Malik Al Uwais from Egypt….” Pembawa acara membacakan satu per satu nama pemenang dari urutan sepuluh sampai tiga. “Wow, the second winner and the first runner up are only one point difference. Maa Shaa Allaah. The second winner went to brother Salim bin Andi Wijaya from Indonesia and the first winner was brother Khalid bin Assegaf from Yaman. We congratulate the winners. And to those who haven’t been luck don’t despair, don’t be discouraged, keep the spirit and practice even harder. We as the committee, thank you all for your participation. The female winner are requested to go up to the stage first to receive the awards, after that they will be replaced by the Male category winners. Finally, we say wassalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuhu and see you in the upcoming Holy Qur’an event. Bye bye.”

Setelah pembawa acara menutup acara, sepuluh besar putri maju ke atas panggung untuk menerima hadiah. 

“Yaa Allaah, alhamdulillaah nilainya juga tipis banget,” Salim berseru bahagia dan langsung bersujud syukur yang kemudian diikuti oleh Ustadz Fatih, Ustadzah Ruwaidah dan Nadhiva. 

“Selamat ya kang Salim. Bedanya tipis banget, hanya satu point,” Nadhiva memberi ucapan selamat. Begitu juga Ustadz Fatih dan Ustadzah Ruwaidah. 

“Nadhiva, dipanggil panitia untuk naik ke panggung tuh,” ujar Ustadzah Ruwaidah dengan senyum khasnya. 

“Baik, Ustadzah.” Nadhiva segera berjalan ke arah panggung untuk menerima hadiah dari juri. 

Ustadz Fatih segera memberi tahukan kemenangan mereka kepada pihak pesantren. Dia juga mengambil moment saat Nadhiva dan Salim menerima hadiah lalu mengirimkannya kepada Humas pesantren. 

POV Kyai Hadi dan keluarga. 

Setelah mendapat kabar tentang kemenangan perwakilan santri untuk ajang Holy Qur’an, Kyai Hadi, Nyai Aisyah dan Nyai Qomariyah segera melakukan sujud syukur. 

“Alhamdulillaah baru kali ini kita bisa meraih juara satu tingkat internasional. Aku pun bangga dengan Salim karena score beliau dengan pemenang pertama hanya beda tipis. Kita harus merayakan kemenangan ini sebagai ungkapan syukur. Kita juga undang warga untuk turut berbahagia dengan kebahagiaan kita yang sekarang kita raih. Jangan lupa undang juga anak-anak yatim piatu, kanda,” ujar Nyai Qomariyah panjang lebar. 

“Ummi setuju dengan usulan Qomariyah, Hadi. Ohya, apakah mereka akan segera pulang ke tanah air atau akan lanjut ke negara lain?” tanya Nyai Aisyah, ibunda Kyai Hadi. 

“Alhamdulillaah… kamu benar, dinda. Kanda akan suruh para santri putra dan putri untuk mempersiapkan semuanya saat mereka akan tiba di pesantren. In Shaa Allaah mereka malam ini langsung terbang ke tanah air, Umm. Jadwal mereka masih seminggu lagi untuk ke Mesir dan Turkey,” Kyai Hadi menjelaskan jadwal Nadhiva dan Salim kepada ibundanya. 

Kyai Hadi bangkit dari duduknya, keluar ruangan menuju bagian humas pesantren dan kepala santri untuk mempersiapkan penyambutan sekaligus kemenangan mereka. 

Kembali ke Nadhiva dan rombongan.  

Setelah acara usai, mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap. Begitu pula peserta lain. 

“Malam ini kita akan pulang ke tanah air. Siapkan barang-barang kalian supaya tak ada yang tertinggal.” 

“Baik Ustadz.”

Keempatnya berpencar. Ustadz Fatih bersama Salim, sedangkan Ustadzah Ruwaidah bersama Nadhiva. 

Shalat Ashar tiba. Nadhiva melakukan shalat secara berjama’ah dengan Ustadzah Ruwaidah. 

“Bunda, satu per satu amanahmu sudah aku lakukan. Tetap restui Dhiva dari sana, bunda. Dhiva ingin memakaikan mahkota kelak di surga kepada ayah dan bunda. Yaa Allaah, terima kasih yang tiada terhingga Engkau telah lahirkan hamba dari seorang wanita hebat serta sholihah seperti ibundaku, Nashima Atmaja dan ayah yang sholih seperti Adnan Wiranegara. Yaa Allaah, lindungilah mereka di alam kubur, terangilah kubur keduanya, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku semenjak aku masih berada dalam perut bunda. Rabbighfirli wa liwa lidayya warhamhuma kama rabbayaani saghira.”

Ustadzah Ruwaidah yang tanpa sengaja mendengar doa yang dipanjatkan Nadhiva terkejut ketika Nadhiva menyebut sebuah nama. Namun akhirnya ditepisnya pikirannya karena sampai saat ini sahabatnya tak ada kabar setelah peristiwa dua puluh dua tahun lalu. 

Tok tok tok. Terdengar pintu diketuk. Ustadzah Ruwaidah UstadzahRuwaidah membuka pintu. Ustadz Fatih. 

“Assalaamu’alaykum, maaf mengganggu bunda Ustadzah. Setengah jam lagi kita akan bersiap menuju bandara. Kalian sudah siap?” tanta Ustadz Fatih 

“Alhamdulillaah kami sudah siap, nak Ustadz.”

“Bagus lah kalau begitu. Setengah jam lagi kami jemput kalian. Permisi. Assalaamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuhu.”

Ustadzah Ruwaidah segera menutup pintu dan memindahkan koper yang sudah disiapkan sejak pagi karena dia tahu kalau mereka akan pulang malam ini ke Indonesia. 

Perjalanan hampir memakan waktu  satu jam dari lokasi hotel ke arah bandara. Setelah check in, mereka menuju ruang tunggu penerbangan.  

Setelah menunggu hampir tiga jam karena penerbangan  mengalami delay, akhirnya mereka bisa kembali ke Indonesia.  

Delapan belas jam perjalanan karena mengalami transit yang sangat lama di Srilanka, mereka pun tiba di bandara Juanda. Ustadz Hasan yang menjemput mereka. Seyogyanya beliau juga hendak ke Dubai untuk mengurusi masalah kasus racun yang dialami Nadhiva. Namun Ustadz Fatih melarang karena sudah ditangani dengan dibantu oleh rekan dari rekan Ustadz Fatih yang seorang aparat setempat. Alhamdulillaah, tak sampai dua puluh empat jam, pelaku sudah diringkus. 

“Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuhu, sahabatku Ustadz Fatih.  Ahlan wa sahlan. Selamat kembali ke tanah air tercinta.” Ustadz Hasan menyalami Ustadz Fatih. 

“Wa’alaykumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuhu, Ustadz Hasan. Ahlan bikum, sahabat karibku, ustadz Hasan. Terima kasih sudah repot-repot jemput kami ke bandara,” Ustadz Fatih membalas sahabatnya. 

“Selamat ya Salim dan Ning Nadhiva. Maa shaa Allaah, kalian hebat,” puji Ustadz Hasan. “Apa kabar, Ustadzah Ruwaidah? Pasti bangga anak didiknya membuat harum nama pesantren dan negara.”

“Allah yang hebat, ustadz Hasan. Kami hanya perantara yang atas ijin-Nya untuk menjaga Kalam-Nya,” jawab Nadhiva lugas. 

“Alhamdulillaah kabar ana, baik, Ustadz Hasan. Alhamdulillaah ini berkat jerih payah mereka dan ijin Allaah tentunya, mereka meraih kemenangan.”

Sambil berjalan menuju pintu keluar dan menuju tempat parkir mobil, mereka berbincang dengan akrab. 

“Ustadzah bisa kasih tahu saya metode yang cepat untuk menghafal al Qur’an yang cepat?” 

“Tak ada metode khusus, ustadz. Hanya yang penting tanamkan ikhlas saat akan menghafal biar gak merasa terpaksa.”

Nadhiva setengah terkejut mendengar apa yang dikatakan Ustadzah Ruwaidah. Ucapan yang sama yang pernah dikatakan oleh ibundanya saat dia masih kecil. 

‘Kalau kamu tidak ikhlas, bagaimana al Qur’an akan masuk ke otak dan hatimu? Menghafal sampai ribuan tahun pun akan tetap mengalami kesulitan.’ Begitulah nasihat ibundanya. 

“Benar yang anty bilang, Ustadzah. Tanpa ikhlas, segala sesuatu akan terasa susah dan berat. Ane setuju,” sahut Ustadz Hasan. 

Ustadz Fatih dan Salim sesekali menimpali obrolan. Tak terasa mereka sudah sampai di area parkiran. Setelah menata barang bawaan mereka di bagasi mobil, kelimanya masuk ke dalam kendaraan yang dibawa Ustadz Hasan. Perlahan, ustadz Hasan mengemudikan menuju luar area bandara. 

“Kita shalat Maghrib di Masjid Pasuruan saja ya. Mumpung masih satu setengah jam lagi shalat Maghrib. Di masjid Kyai Hamid,” ujar Ustadz Hasan. 

“Ane ngikut saja, tadz. Sekalian kita istirahat sejenak disana sampai selesai shalat Isya’,” timpal Ustadz Fatih. 

“Kalian bertiga, istirahat lah. Kalian pasti lelah. Terutama ning Nadhiva. Ning baik-baik saja, kan? Wajah ming Dhiva agak pucat,” tanya Ustadz Hasan cemas. Ustadz Fatih dan yang lainnya segera menoleh ke arah Nadhiva. 

“Ning Dhiva diracun orang. Saat ikut ajang, kondisinya masih sangat lemah tapi beliau memaksakan diri. Butuh istirahat yang banyak,” timpal Ustadz Fatih. 

Ustadzah Ruwaidah segera membawa Nadhiva ke dalam pelukannya dan membiarkannya tidur bersandar di bahunya.

“Di belakang ada tiga bantal, Ustadzah. Bisa dipakai kalian bertiga untuk menyandarkan kepala,” ujar Ustadz Hasan. 

Salim dengan cepat mencari bantal yang dimaksud. Setelah ketemu, diberikannya kepada Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah. “Ustadz Fatih mau pakai bantal? Ini masih ada satu.”

“Gak perlu, Lim. Kamu pakai saja. Kamu pasti sangat lelah. Istirahat saja.”

Setelah itu tak ada dari mereka yang berkata apa-apa lagi. Hanya alunan murrotal yang mengiringi perjalanan mereka menuju arah timur. 

Acara tasyakkuran yang digelar secara istimewa, mengundang perhatian warga sekitar. Salah satu dari warga bertanya kepada salah satu santri putra yang kebetulan sedang memasang tenda besar sebagai tempat pimpinan pesantren  dan beberapa orang baik pengurus pesantren maupun pengurus sekolah dan Universitas milik pesantren “apakah acara tersebut dibuka untuk umum, nak?” 

“Tentu saja, pak. Bapak dan keluarga bisa datang untuk memeriahkan acara ini. Acara ini dilakukan sebagai salah satu bentuk rasa syukur kami karena Allah atas anugerah-Nya. Nanti juga akan ada Habib Thaha Assegaf dari Pasuruan yang akan memberikan tausiyah. Kasih tahu yang lain untuk hadir di tabligh akbar ini nanti malam jam sepuluh, pak. Acaranya mendadak, jadi kami tak sempat membuat pengumuman seperti biasanya,” jawab sang santri. 

“Wah, harus siap-siap nih. Ya sudah, bapak akan pulang dulu kasih tahu warga yang lain biar ikut memeriahkan tabligh ini nanti malam. Permisi. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Setelah si bapak yang bertanya itu pergi, sang santri meneruskan pekerjaannya. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel