Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Tasyakuran atas anugerah kemenangan.

POV Para Santriwati VS Safira. 

“Alhamdulillaah ya ajang Holy Qur’an di Dubai kali ini kita menang. Aku sudah yakin kalau mbak Nadhiva akan memenangkan kompetisi ini. Juga kang Salim. Secara dari suara dan tehnik mereka menghafalnya sangat bagus. Aku heran, dari mana mbak Nadhiva bisa belajar tehnik sebagus itu saat menghafal dengan nada dan suara yang sangat indah. Maa Shaa Allaah. Apakah Ustadzah Ruwaidah mengajarkannya secara khusus?” salah satu santriwati membuka percakapan. 

“Betul. Eh tahu nggak, ada yang bilang kalau tehnik bacaan mbak Nadhiva sama seperti_,” santriwati lain menimpali, tapi kemudian menggantung kalimatnya dan menoleh ke segala arah. 

“Kalau ngomong itu sampai tuntas, Rukiyah. Beneran nih anak minta diruqyah biar gak suka gantung-gantung kalimat,” timpal temannya yang lain. 

“Sudah ah. Aku takut nanti ada yang merasa, lalu tersinggung,” sahut santriwati bernama Rukiyah. 

Mereka seolah paham dengan apa yang dimaksud oleh Rukiyah. Lalu diam, melanjutkan kegiatannya mengupas bumbu untuk dibikin rawon, gulai, pecel dan sate. 

“Yang aneh, kenapa pak Kyai, abah kyai sepuh serta kakek buyut pak Kyai malah membiarkan mereka tinggal di area pesantren padahal mereka bukan santri di sini. Hanya karena kakek buyut mereka membantu pesantren saat awal-awal berdiri, sudah seperti penguasa pesantren ini,” gerutu yang lain. 

“Hmm hmm sudah selesai kerjaan kalian?” tegur sebuah suara yang tak lain adalah Safira.

Semua terdiam, saling memberi kode melalui kerling mata mereka. 

Safira mendengarkan percakapan mereka dengan seksama. Bukan dia tidak tahu jika yang mereka perbincangkan adalah keluarganya.  

“Ning Nadhiva hebat. Aku salut sama beliau. Aku ingin belajar menghafal dari beliau. Semoga saja beliau mau mengajariku,” Rukiyah memecah kesunyian. 

“Aku juga mau diajari beliau. Juara level internasional lho. Bangga banget kalau seandainya beliau jadi pengajarku. Ohya, kalian kalau melihat ning Nadhiva sama Ustadz Fatih, cocok gak ya? Berharap banget mereka berjodoh. Atau kalau nggak, kita jodohin saja hihihi,” celutuk Rusmina.

“Kalian mau kerja apa mau ngegosip?” Safira wajahnya memerah menahan amarah, lalu meninggalkan para santriwati. 

Semua kembali terdiam, namun meninggalkan tawa cekikikan. Bukan mereka tidak tahu jika Safira menguping sejak tadi. Bukan mereka tidak tahu jika Safira jatuh cinta pada Ustadz Fatih dan meminta keluarganya untuk melamar Ustadz Fatih, namun ditolak oleh Ustadz ganteng lulusan Al Azhar, Kairo. Sifat keluarga Safira yang merasa paling berjasa kepada pesantren dan sering menyuruh santri di luar batas kemampuan mereka,  itu yang tak disukai santri.   

Safira keluar dari dapur santri dengan muka masam. 

“Safira, kenapa mukamu madam kayak gitu?” tanya paklik Anom, suami di Susi.  

“Gimana gak sebal, om, beberapa santri bergosip tentang keluarga kita.”

“Berani sekali mereka bergosip tentang keluarga kita. Tampaknya mereka perlu dikasih pelajaran,” tangan paklik Anom mengepal. 

“Sudah lah, mereka bocah-bocah yang tak tahu etika yang memang tak paham siapa kita. Ohya, pak, kapan bapak akan ke Brebes untuk belanja kebutuhan pesantren? Kalau bisa nanti kuitansi pembeliannya dibikin lebih besar lagi nominalnya. Nanti kasih alasan para petani menaikkan harga. Ibu pengin dibelikan satu set perhiasan model terbaru, pak. Kita bisa pakai uang mereka. Belikan saja yang harga murah dan kualitas rendah. Atau bukankah ada telur serta bawang putih yang dibuat dari plastik yang produk import dari China, pak? Beli yang kayak gitu saja. Ibu dengar harganya sangat murah,” Susi berbicara panjang lebar. 

“Wah, ide yang sangat bagus itu, bu. Nanti bapak akan cari informasi tempat penjualnya. Gak bakal ketahuan kan ya? Bentuk sama baunya juga pastinya sama, kan?” jawab Paklik Anom antusias. 

“Jangan lupa, daging sapi juga, pak. Kita kan gak makan makanan mereka. Tambahin lah harganya di kwitansi.”

POV Kyai Hadi. 

Ba’da Isya’ Kyai muda ini mengecheck sendiri segala persiapan. Tak segan berbaur dengan para santri membantu apa yang dilakukan oleh santri. Begitu pula Nyai Qomariyah dan Nyai sepuh Aisyah. 

“Gimana? Persiapan sudah berapa persen?” tanya Kyai Hadi kepada Ustadz Rahim, salah satu Ustadz yang bertanggung jawab untuk urusan saat pesantren akan mengadakan hajat. 

“Alhamdulillaah sudah sembilan puluh delapan persen, Kyai. In Shaa Allaah sebentar lagi semua rampung. Urusan dapur juga semua sudah siap. Tinggal nunggu acara digelar saja,” jawab Ustadz Rahim. 

“Alhamdulillaah. Sebentar lagi mereka tiba. Tadi bilangnya sudah di Besuki. Mungkin satu jam lagi tiba disini. Habib Thaha Assegaf juga sudah hampir nyampai. Bagaimana dengan warga? Apakah mereka tahu? Kalau belum tahu, lakukan siaran pemberi tahuan biar ikut merasakan kebahagiaan kita,” ujar sang Kyai. 

“Alhamdulillaah, mereka sudah tahu. Bahkan ada beberapa yang membantu kita.”

“Ohya, orang tua Nadhiva dan Salim, kalian kabari juga mereka.”

“Alhamdulillaah, tadi sore saya perintahkan kang Rozak untuk ke tempat mereka. Sepertinya tadi saya juga melihat orang tua Ning Nadhiva sudah datang dari sebelum Maghrib dan bantu-bantu kita. Ibunya bantu santri di dapur besar.”

“Alhamdulillaah. Suruh mereka istirahat, ustadz. Jangan sampai mereka kelelahan.”

“Baik, Kyai.”

Ustadz Rahim segera memanggil salah satu santri dan memerintahkan sesuai yang diperintahkan oleh Kyai Hadi. Sementara dirinya dan Kyai Hadi melakukan pengecheckan bagian soundsystem. 

“Alhamdulillaah, semua sudah rampung, Kyai.”

“Alhamdulillaah, Ustadz. Antum pergi istirahat dulu. Saya lihat wajah antum kelelahan. Maaf kalau ini mendadak dan bikin semua orang lelah dengan kerjaan yang terburu-buru.”

“In Shaa Allaah lelah ini pahala buat kami selama kami ikhlas, Kyai. Dan saya lihat sepertinya mereka semua ikhlas. Tak ada yang mengeluh. Begitu juga yang bagian pawon.”

“Alhamdulillaah. Memang ya, kalau kita melaksanakan sesuatu dengan keikhlasan hati, tak akan ada itu namanya lelah akan terasa.”

“Betul, kyai.”

Segala persiapan sudah selesai. Para santri dan warga yang sudah tak melakukan apapun, berkumpul di halaman depan pesantren, hendak menyambut kedatangan rombongan Nadhiva yang tak lama lagi akan tiba. Antusiasme mereka membuat sang Kyai dan keluarga pesantren terharu. 

Tepat pukul sembilan lima belas menit malam. 

Sebuah kendaraan putih jenis Av*nza memasuki gerbang pesantren. “Allaahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad…” ucap salah satu Ustadz dengan suara yang lantang. 

“Allaahumma sholli ‘alayh…” jawab semua yang ada di halaman pesantren dengan semangat. 

Kyai Hadi serta keluarga segera menyambut kedatangan dari Nadhiva dan rombongan. 

“Assalamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu, Pak Kyai, Bu Nyai Qomariyah dan Ummi Nyai Aisyah,” Sapa Ustadz Fatih, Ustadzah Ruwaidah, Sallim dan Nadhiva bersamaan. Sementara Ustadz Hasan tengah memarkirkan mobil yang di bawanya ke garasi pesantren. 

Nadhiva dan Ustadzah Ruwaidah menyalami Nyai Qomariyah dan Nyai sepuh Aisyah serta beberapa wanita sesepuh pesantren. Sedangkan Ustadz Fatih dan Salim menyalami Kyai Hadi dan beberapa laki-laki sesepuh pesantren.  

“Wa'alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh… ahlan wa sahlan kalian semua. Ayo istirahat dahulu. Acara masih satu jam lagi. Sekalian kita masih akan menunggu Habib Thaha Assegaf,” ujar Kyai Hadi. “Ustadz Rahim, tolong minta dua santri putra dan dua santri putri untuk membantu mereka membawakan tas mereka ke kamar masing-masing.”

“Eh, tidak perlu, Kyai. Biar kami bawa sendiri. Gak berat ko’,” tolak Nadhiva dengan santun. 

“Saya bantu bawakan, Ning dan Ustadzah,” usul Ustadz Rahim. 

“Terima kasih, ustadz. Kami rasa kami masih bisa membawanya sendiri. Permisi. Assalamualaikum.” Pamit Ustadzah Ruwaidah dan Nadhiva. Ustadz Fatih dan Salim pun berpamitan hendak membersihkan diri mereka. 

Tak lama setelah itu, rombongan Habib Thaha Assegaf pun datang. 

“Assalamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu, wahai karibku, Kyai Hadi Sufyan Ismail,” sapa Habib Thaha Assegaf. 

“Waalaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuhu, ya habibana panutan ane Bib Thaha Assegaf. Ahlan wa sahlan. Mohon maaf, ngundangnya mendadak, Bib. Pemberitahuan juga mendadak. Ini acara asjad kata anak muda sekarang. Asal jadi hehe,” jawab Kyai Hadi dengan berkelakar. 

Setelah bersalaman, Kyai Hadi menggiring ke area khusus orang dhalem pesantren. 

“Biar asjad, tapi maa Shaa Allaah meriah kayak gini. Warga sekitar pesantren benar-benar antusias ya.  Maa Shaa Allaah.”

Berkali-kali sang Habib menyatakan kekagumannya. 

“Alhamdulillaah, Bib. Apalagi yang ikut ajang hafidz dan hafidzah untuk tahun ini adalah santri yang berasal dari sekitar pesantren sini kediamannya. Bisa dibayangkan antusiasnya mereka. Ditambah juga kami beri tahukan kalau Habib Thaha Assegaf yang akan memberikan ceramah. Maa Shaa Allaah, dari mereka mengetahui hal ini siang tadi, warga sudah banyak berbondong ke pesantren. Ini semua mayoritas adalah warga yang mempersiapkan. Mereka membantu para santri disini,” Kyai Hadi bercerita dengan bersemangat. “Ente termasuk salah satu pendorong mereka untuk datang kemari, Bib. Shukran jazakallaah khayr, Bib, sudah meluangkan waktunya di saat mendadak.”

Beberapa santriwati datang membawa nampan berisi camilan dan satu termos teh susu kegemaran Habib Thaha. Kyai Hadi menuangkan teh susu ke dalam dua cangkir. 

“Silakan, Bib, sambil menunggu waktu,” Kyai Hadi mempersilakan tamunya. 

“Shukran, Kyai sahabat ane.”

Keduanya berbincang sambil sesekali tertawa. 

Tepat pukul sepuluh, acara di mulai. Pembawa acara naik ke panggung, dengan mengambil posisi di tepi karena mereka tidak ingin berbuat tidak sopan dengan membelakangi Habib Thaha, Kyai Hadi dan sesepuh lainnya yang ada di panggung berukuran lima puluh kali dua puluh meter itu. 

“Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuhu..” sapa Dhava dan Dhavi kepada semua yang hadir. 

“Wa’alaykumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuhu…,” jawab seluruh hadirin. 

“Baiklah, untuk mempersingkat waktu, kita akan mulai saja sekarang,” pembawa acara lalu membacakan susunan acara. 

Acara demi acara sudah berjalan. Habib Thaha berkesempatan memberikan ceramah. 

“Assalamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu. Yang terhormat shohibul hajat Kyai Hadi beserta keluarga dan sesepuh pesantren serta para warga dan anak-anakku para santriwan dan santriwati. Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang mana sudah mengantarkan kita dari jalan kegelapan menuju jalan penuh cahaya. Sebelum saya memberikan ceramah, kita bersholawat dahulu. Tim hadrah, apakah sudah siap?” 

“Siap, Habib.”

“Yaa Rabbi sholli ‘ala Muhammad, Yaa Rabbi sholli ‘alayh wasallim,” Habib Thaha memulai dengan shalawat, yang kemudian diikuti oleh semua yang hadir. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel