Bab 10 Senyum Menawan
Bab 10 Senyum Menawan
Beberapa hari telah berlalu. Semua berjalan dengan semestinya. Sejak itu, Kinara dan Denis jadi sering bertemu. Terlebih memang Denis masih aktif menjadi guru privat bagi Clara. Oleh sebab itu, mereka memiliki waktu luang yang cukup banyak.
Siang ini Kinara ada janji dengan Frans dan Clara untuk pergi ke café. Mereka merayakan libur akhir pekan. Semua ini dilakukan semata-mata agar pikiran menjadi segar dan tidak stress akibat memikirkan tugas yang menumpuk.
“Sudah lama sekali ya, kita tidak berkumpul seperti ini,” ujar Frans.
Kinara menyeruput minumannya, “Iya. Sekarang sudah mulai sibuk dengan urusan tugas. Biasa, mahasiswa beranjak menuju semester akhir.”
“Huft, aku lelah. Kapan wisuda?” Clara tidak mau kalah, ia juga mengeluh.
“Hahaha, tugas kamu itu masih menumpuk. Kerjakan dulu, baru pikir wisuda,” sahut Frans.
Clara mengerucutkan bibirnya sebal. Mereka membicarakan banyak hal. Mulai dari kampus, sampai soal percintaan. Ketika menyinggung soal teman dekat, tiba-tiba saja Kinara merasakan hal aneh yang ditunjukkan oleh Frans.
Ia berusaha untuk biasa saja, walau Kinara bisa melihat dengan jelas kalau sejak tadi Frans terus memperhatikan dirinya. Memang tidak ada kata suka yang terlontar dari mulut Frans, tetapi tingkah lakunya mencerminkan kalau pria itu menyukai Kinara.
“Aku mau penelitian apa, ya?” ujar Clara dengan gayanya berpikir.
“Kamu menanam tanaman hortikultura saja. Itu lebih cepat dan cocok,” sahut Kinara.
“Tanam anak saja,” timpal Frans.
Mendengar itu, Kinara terkekeh geli. Baru kali ini ia mendengar ada yang menanam anak. Frans ikut tertawa, sementara Clara merasa kesal sampai memalingkan wajahnya dan mendengus kasar. Lirikan yang diberikan oleh Clara tajam sekali seperti jarum, membuat nyali Frans berkurang.
“Ampun! Jangan marah begitu, Cla. Aku hanya bergurau saja,” ucap Frans.
“Huh… kamu saja sana yang menanam anak,” sungut Clara.
“Sama siapa?”
“Kinara,” jawabnya singkat.
“Jadinya menikah?”
Clara mengangguk.
Kini giliran Kinara beraksi, ia mencubit bagian lengan sahabatnya itu dengan kencang sekali. Teriakan tidak bisa terelakkan. Semua pengunjung café sampai menoleh ke arah mereka berada. Clara menahan rasa malu sebab menjadi pusat perhatian.
Tidak mau kalah, ia pun membalas perbuatan Kinara. Alhasil mereka saling berbalas mencubit, dan pada akhirnya Frans juga ikut menjadi mangsa para wanita itu. Frans tidak kuasa dan mencoba untuk menghindar. Tetapi kedua wanita itu lebih kuat darinya, sehingga lengan Frans berhasil menjadi bulan-bulanan Kinara dan Clara.
“Sudah, tanganku sakit semua,” bentak Frans.
“Hahahah, aku puas sekali,” jawab Clara sambil tertawa.
Frans masih mengusap lengannya yang memerah akibat cubitan.
“Coba sini aku lihat.”
Kinara menarik tangan Frans dan melihat bagian yang terkena cubitan. Ternyata cukup parah, Kinara jadi tidak enak hati. Kemudian ia mengusapnya dengan lembut agar rasa sakit segera berkurang. Kinara memperlakukan dengan hati-hati sekali, agar tidak semakin membuatnya sakit.
Frans memperhatikan wanita yang tengah memberinya perhatian. Duduk mereka berjarak dekat sekali.
“Aduh, maaf ya, Frans. Maaf sekali,” ucap Kinara berulang kali.
“Tidak apa-apa. Hanya sakit sedikit saja.”
Saat Kinara menoleh, otomatis mata mereka saling bertemu. Alhasil mereka berdua saling bertatapan. Kinara melihat jelas wajah Frans yang manis itu. Walau terlihat biasa saja, tetapi Frans memiliki senyum yang manis. Tidak banyak orang yang tahu, tetapi Kinara dapat menyadarinya.
“Ekhemm…” Suara Clara mengagetkan mereka berdua.
Sekejap, mereka sudah saling mengalihkan pandangan. Kinara menjauhkan kursinya dan menyeruput kembali minumannya. Jika dilihat-lihat, langit telah berubah warna. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan.
Maka dari itu, mereka memutuskan untuk pulang sebelum hujan mengguyur dan menyebabkan mereka lebih lama lagi di sana. Clara sudah memesan taksi online, karena ia harus pergi ke rumah saudaranya. Sementara Frans lebih dulu pulang.
Kinara berlari menuju parkiran. Gerimis mulai berjatuhan dan semakin deras. Langit gelap, padahal ini masih siang. Belum sempat Kinara melajukan mobilnya, hujan turun begitu deras. Pandangannya pun tidak jelas akibat derasnya hujan.
Terpaksa Kinara menerobosnya, jika terlalu lama maka ia akan membuang waktu. Di perjalanan, Kinara fokus melihat ke arah jalan. Beberapa saat kemudian, fokusnya teralihkan. Kinara melihat ada seorang pria yang sedang berdiri di halte. Ia memperlambat laju mobilnya, serta menyipitkan mata agar dapat melihat dengan jelas.
“Itu ‘kan Kak Denis?” gumam Kinara.
Ia pun berhenti tepat di samping halte. Tidak ada siapa-siapa dan hanya Denis seorang. Kinara membuka kaca mobilnya, dan ia dapat melihat dengan jelas Denis yang telah basah kuyup akibat guyuran hujan.
“Kakak sedang apa di sini?” tanya Kinara setengah berteriak.
“Meneduh.”
“Motor Kakak di mana?”
“Lagi rusak di bengkel,” jawabnya.
Kinara tidak menjawab lagi. Ia meraih sesuatu yang berada di kursi belakang. Kemudian Kinara turun dari mobil dengan mengenakan sebuah payung. Ia datang menghampiri Denis yang masih berdiri di halte.
“Kamu kenapa turun?” Denis tidak mengerti.
“Sebaiknya Kakak ikut aku saja. Hujannya pasti lama, dan Kakak sudah basah seperti ini. Nanti sakit.” Kinara memberikan usulan.
“Tidak perlu. Sebentar lagi hujan ada reda.”
“Kakak, jangan menolak. Sekarang Kakak ikut aku.”
Kinara menarik tangan Denis. Tetapi pria itu tidak kunjung beranjak. Karena merasa tarikannya gagal, Kinara menoleh ke belakang. Ekspresi wajah Denis datar, dan tidak ada senyuman sama sekali di sana. Tapi, Denis malah memperhatikan tangan mereka yang saling berpegangan erat. Kinara mendengus kesal dan melepaskan pegangan tangannya.
“Ayo, Kak. Nanti Kakak sakit.” Tergambar jelas rasa cemas di wajah Kinara.
Tanpa menjawab apa-apa, Denis menganggukkan kepala. Kinara dapat tersenyum serta memasang payungnya kembali. Mereka berjalan di bawah payung menuju ke dalam mobil. Secara tidak sengaja, saat memegangi payung itu. Kedua tangan mereka saling bertemu. Sontak, itu membuat Kinara salah tingkah.
“Aduh, kenapa bisa seperti ini? Aku ‘kan jadi salah tingkah,” gerutu Kinara di dalam hatinya.
Kemudian Kinara membukakan pintu sehingga Denis bisa masuk ke dalam. Pakaiannya telah basah, tetapi tidak seperti pakaian Denis. Beruntung Kinara mempunyai handuk kecil, yang kemudian ia berikan kepada Denis agar dapat mengeringkan wajahnya yang basah.
“Sini aku bersihkan,” ujar Kinara.
Ia mengusapkan handuk kecil itu ke arah wajah Denis. Suasana berubah menjadi romantic. Ditambah dengan guyuran hujan. Kinara tidak memperdulikan itu, dan terus membantu Denis agar tidak kedinginan lagi.
Rambut Denis yang basah tidak luput dari usapan Kinara. Mereka terlihat dekat sekali, tidak ada rasa canggung di antara mereka berdua. Setelah itu, Kinara membetulkan posisi duduknya. Merasa malu, Kinara menundukkan kepala dan mulai melajukan mobilnya.
Terlebih dahulu Kinara harus mengantarkan Denis. Sepanjang perjalanan, mereka saling diam dan tidak bertegur sapa. Denis memperhatikan jalanan yang sepi dan hanya ada beberapa kendaraan saja yang melintas.
“Kak,” panggil Kinara.
Denis menoleh, “Ada apa?”
“Nanti malam jualan lagi?”
“Iya. Tapi kamu tidak usah ikut, biar saya saja. Kamu ikut jualan kalau libur saja.”
Kinara menyernyitkan dahinya, “Kenapa bisa begitu?”
“Fokus belajar saja. Sebentar lagi ujian akhir semester.”
Selain baik, Denis juga pengertian. Ia lebih mengedepankan pendidikan di atas segalanya. Kinara semakin kagum dengan sosok pria yang ada di sampingnya itu. Tanpa mereka sadari, saat ini sudah sampai di depan rumah Denis.
Segera Denis membuka pintu dan ia juga mengucapkan banyak terima kasih. Kinara pamit untuk pulang karena banyak tugas yang harus ia kerjakan. Hal yang langka pun terjadi. Di saat Kinara melambaikan tangan, Denis tersenyum ke arahnya. Membuat Kinara mati kutu dan hatinya meleleh.
Ia tidak menyangka kalau senyuman Denis begitu menawan. Sebab, selama ini Kinara hanya melihat wajah datar dari Denis. Belum pernah ia melihat senyuman yang seperti itu.
“Kinara, sadar. Jangan buat malu di depan Kak Denis,” ujarnya dalam hati.
Kinara membalas senyuman itu. Getaran dalam hati sangat terasa, dan Kinara tidak bisa mengontrolnya. Berulang kali ia menarik napas, supaya degub jantungnya mengurang. Berpacu dengan kencang, membuat Kinara seperti habis dikejar hantu.
“Huft, tenang Kinara. Jangan grogi, tetap tenang dan santai,” ucapnya sambil menarik napas dalam-dalam.
**
Bersambung.