Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 10 Persiapan lamaran

Elina selalu terbiasa bangun pagi. Suaminya sudah bangun dan mandi dulu, sementara ia ke kebun untuk menyirami tanaman.

Ketika ia berjalan ke arah teras, ia melewati ruang tamu. Nathan sudah berpakaian rapi sambil menghubungi seseorang.

"Pagi, Sayang," sapa Elina, menghampiri anaknya.

Nathan menoleh sembari tersenyum, lalu menghampiri wanita yang kecantikannya masih terjaga di usia 40an.

"Pagi, Ma. Mama mau ke mana?"

"Mau menyiram tanaman," jawab Elina. "Kau habis menghubungi siapa?"

"Sekretarisku. Dia harus diperingatkan pagi-pagi supaya tidak terlambat lagi."

Elina tertawa kecil sejenak, kemudian menyadari bahwa anaknya telah terlihat rapi dengan tuxedo cokelat mudanya.

"Ada rapat penting kah? Pagi-pagi begini sudah rapi?"

"Tidak. Aku harus menjemput seseorang pagi ini."

Makanya, Nathan sudah ada di depan rumah Siena sepagi ini. Sebuah kejutan yang membingungkan bagi Siena.

"Bapak kok ada di sini?" tanya Seina agak terbata-bata. "Darimana Bapak tahu alamat rumah saya?"

Senyuman yang begitu misterius, tapi tak dapat diartikan sebagai jawaban.

Ibunya yang merasa penasaran pada pria tampan itu, berbisik dan bertanya, "Siapa dia, Si?"

"Ini Bos aku, Bu," jawab Siena, setengah berbisik.

Sebagai pria yang diajarkan sopan santun sejak kecil, Nathan mengulurkan tangan pada ibunya Siena sambil memperkenalkan diri dengan ramah.

"Pagi, Bu. Perkenalkan, saya Nathan, bosnya Siena."

Maya tercengang sejenak sambil menyambut jabatan tangan itu. Dengan canggung, ia menimpali:

"Iya, Pak. Saya Maya, ibunya Siena."

"Begini, Bu. Saya ingin menjemput Siena untuk ke kantor bersama," kata Nathan.

Praktis, Siena menoleh tercengang pada pria itu. Ada apa ini? Kok tiba-tiba....

"Tidak usah, Pak," seru Siena cepat. "Saya bisa naik motor."

Tatapan pria itu membuat Siena bergidik, seolah memperingatinya. Lalu, dia tersenyum, yang terlihat dipaksakan.

Siena menghela napas. Oh, baiklah, baiklah!

"Bu, saya berangkat dulu, ya?" pamit Siena setengah hati.

"Saya permisi, Bu."

Siena berjalan duluan, baru setelahnya Nathan menyusul menyusuri gang. Baru masih pagi, tingkah pria itu sudah mengesalkan.

Setelah mereka agak jauh dari rumah Siena, Nathan mempercepat langkah, berusaha berjalan di depannya.

Siena mendengus sambil melirik padanya. Dasar! Ah, terserahlah dia mau berbuat apa. Bos mah bebas.

Nathan mendeham. "Kamu tidak tanya, kenapa aku jemput kamu pagi ini?"

"Bapak aja tidak jawab pertanyaan saya yang tadi," sahut Siena ketus.

Pertanyaan yang mana? Nathan mengernyit sambil mengingat-ingat. Oh, iya!

"Tidak penting juga kalau saya tahu di mana alamat rumah kamu," jawabnya. "Saya mau kamu selesaikan pekerjaan hari ini, lalu kamu ikut sama saya sore nanti."

Mau ke mana lagi sekarang? Jangan bilang, mau kasih tugas receh yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya.

Tapi ia tak menanyakannya. Malas. Paling pria itu akan menjawab: "Nanti kau juga akan tahu."

-;-;-;-

Renata menatap layar ponsel cukup lama. Tiga buah panggilan tidak terjawab dan sebuah pesan dari nomor yang sama tertera di layar.

"Renata, aku ingin mengajakmu makan malam", begitulah isi pesan dari Nathan.

Dikulum bibirnya. Ia bingung dan bimbang. Nathan memang tampan, tapi ia tidak mencintainya. Perjodohan ini hanyalah demi bisnis belaka, sedangkan hatinya telah dimiliki orang lain.

Sejujurnya, ia tak ingin menyakiti atau memberi harapan pada pria itu. Namun, ia juga tak bisa membantah kata orangtua.

Renata mengetuk-ketuk pinggiran ponsels sambil berpikir. Akhirnya, ia mengetik jawaban "iya".

Ia menghela napas berat sambil melemparkan ponselnya ke tumpukan berkas. Sepertinya, ia menyesal dengan tindakannya itu.

Saat pertemuannya dengan sang kekasih kemarin, pria itu mengatakan untuk berkata yang sebenarnya pada kedua orangtuanya soal hubungan mereka.

Namun, sulit untuk mengungkapkan sebuah kejujuran. Pikirannya telah melayang pada berbagai hal yang menakutkan jika hubungan rahasia itu terungkap.

Bagaimana jika papanya marah? Lalu, mamanya pasti akan sedih. Mana mungkin hubungan seorang gadis kaya dengan pria biasa bisa disetujui?

-;-;-;-

Nathan membawa Siena ke sebuah butik. Seorang pelayan mengarahkan mereka ke dalam, yang mana terdapat rak-rak pakaian pria di sekeliling ruangan.

Siena ternganga sejak melangkah masuk ke dalam. Butik ini lebih besar dari milik Gwen. Koleksi pakaiannya banyak, dengan warna yang begitu menarik untuk membeli.

Tapi yang namanya butik selengkap ini, tentu harga setiap helai pakaiannya mahal. Melihat label harga sebuah tuxedo saja membuat Siena menggigil.

"Siena," panggil Nathan.

Gadis itu meninggalkan rak itu dan menghampiri Nathan. "Iya, Pak?"

"Pilihkan pakaian yang bagus untuk makan malam hari ini!" perintah Nathan.

"Em ... Makan malam formal atau...."

Nathan bergegas memutar tubuhnya. "Aku mau melamar Renata."

Melamar? Secepat ini? Mata Siena sampai membulat karena terlalu terkejut.

"Bapak yakin, mau melamarnya sekarang?" tanya Siena, seakan tidak setuju.

"Kenapa memangnya?"

Kenapa? Karena wanita itu tidak mencintaimu, Nathan. Apa kau akan bahagia jika menikahi seseorang yang tidak mencintaimu?

"Ya ... terlalu cepat aja. Bapak belum terlalu mengenal Bu Renata, 'kan?"

Siena terhenyak begitu tatapan super dingin dan tajam Nathan mengarah padanya. Spontan, mulutnya dikatupkan rapat-rapat.

"Kamu itu hanya sekretaris. Jangan ikut campur." Gusar Nathan.

Sebenarnya, nyali Siena menciut ketika dibentak tadi. Tapi untuk menutupinya, ia jadi ikutan kesal.

"Ya udah, saya minta maaf," katanya jengkel. "Saya akan mencarikan pakaian yang cocok buat Bapak."

Siena menghampiri sebuah rak sambil pandangannya menjelajahi jejeran pakaian.

Em ... semuanya bagus. Bikin bingung saja. Ini pekerjaan yang mengesalkan. Jika saja tidak diiming-imingi oleh bonus, mana sudi ia melakukan hal ini.

"Ah, ini aja," gumam Siena, menunjuk pada sebuah pakaian berwarna hitam.

Pelayan yang sejak tadi setia mendampinginya, mengambil pakaian itu. Sebuah setelan two piece suite warna abu-abu dan hitam.

Nathan memandangi pakaian itu sambil menimbang-nimbang.

"Bagus juga seleranya," pujinya dalam hati.

"Berikan padanya," perintah Nathan pada pelayan. "Saya cuma ingin dia yang menemani saya ke ruang ganti."

Siena kembali mengeluh sambil menerima pakaian itu dari si pelayan.

Kenapa harus dirinya? Bukannya ada pelayan? Dia itu sepertinya tidak senang jika Siena duduk di sebuah sofa untuk beristirahat sejenak?

Bukan hanya permintaan itu, Nathan juga memintanya untuk melakukan hal yang lebih aneh.

"Siena, ikut aku masuk ke dalam," kata Nathan, ketika mereka berhenti di depan ruang ganti.

Blush! Seketika pipi Siena memerah. Pria itu ingin Siena membantunya memakaikan setelan itu? Jika iya, berarti Siena akan melihat dada atletis dan perut martabak Nathan dong.

"Bapak jangan aneh-aneh deh," kata Siena agak terbata, sambil menundukkan kepala. "Masa saya bantuin Bapak ganti baju?"

Nathan mengulas senyum. "Kenapa? Malu?"

"Kalau tidak malu, berarti saya bukan perempuan dong."

"Anggap saja, kamu lagi latihan mental untuk melihat tubuh suami kamu kelak."

Selain suka komentar, pria ini juga sering mengeluarkan ucapan ngaco seperti itu. Pipi Siena jadi bertambah merah, dan malu karena pelayan itu mendengarnya.

"Apaan sih?" sergah Siena, menyodorkan pakaian itu ke tangan Nathan.

Tapi tidak ada satu pun yang boleh menolak keinginannya. Kalau tidak mau, maka ia akan memaksa.

Sebelum sempat Siena pergi, dengan sigap Nathan meraih tangannya, lalu menariknya masuk ke dalam ruang ganti tanpa sempat Siena mengelak.

Sekarang, mereka berada di dalam ruangan sempit ini. Jantung Siena berdetak kencang, kala jarak mereka begitu dekat.

Ia mulai merasa aneh, gejolak di dalam dadanya bergetar hebat. Ah, beginilah wanita yang terlalu memikirkan hal duniawi dan senang berkhayal.

"Buka bajunya!" Nathan mulai memberi perintah.

Siena mendongak, matanya terbelalak mendengar hal itu.

Hah? Buka baju?[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel