Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Bersamanya

Siena menutup matanya rapat-rapat. Sepertinya, mereka sudah ada di luar, karena terdengar suara yang ramai dari pengunjung.

Tiba-tiba, ia mendengar sebuah seruan seorang pria memanggil namanya. Nathan dan Siena otomatis berhenti. Karena penasaran, Siena membuka matanya.

Matanya melebar melihat Rayan sedang menghampiri mereka. Sedetik kemudian, ia merasa lega karena menemukan meja yang diduduki oleh Renata dan pria itu telah kosong.

"Anda siapa? Mau dibawa ke mana Siena?" tanya Rayan.

Tatapan datar ditujukan pada Rayan. Kepalanya dimiringkan sedikit. "Anda siapanya Siena?"

Rayan tercengang sekilas. "Apa urusan Anda?"

"Jawab"

Siena yang berada di antara mereka menjadi cemas, apalagi sikap keras kepala Nathan. Oleh karenanya, ia menyahut:

"Teman saya, Pak."

"Teman? Apa dia menggaji kamu?"

"Nggak sih, Pak. Tapi—"

Nathan langsung menyela, melihat menatap Rayan sambil tersenyum sinis.

"Saya bosnya. Saya ada urusan mendesak dengan sekertaris saya. Jadi, Anda tahu, 'kan siapa yang harus diprioritaskan?" lugas Nathan.

Rayan ternganga. Yang dikatakan pria di depannya ini ada benarnya, dan tidak ada satu pun alasan yang bisa membantahnya.

"Tapi tetap saja, Siena—"

Nathan tak mau membuang waktu untuk mendengarkan alasan yang terbata-bata begitu.

Siena langsung dibawanya pergi, menyuruhnya masuk ke dalam mobil.

"Maaf, Pak. Tapi Bapak nggak bisa bawa saya seperti ini." Siena berusaha membantah. "Saya perlu pamitan sama teman saya. Dan lagipula, saya bawa motor."

Nathan menghidupkan mesin mobilnya, lalu berkata, "Nanti, saya suruh satpam kantor untuk membawanya pulang."

"Lho? Mana bisa gitu!" protes Siena. "Bapak saja tidak tahu alamat rumah saya, apalagi satpam kantor?"

"Cerewet!" tegur Nathan, menekan pedal gas mobil yang melaju meninggalkan restoran.

Bete! Mau apalagi pria ini? Harinya rusak gara-gara dia. Oh, semoga saja Rayan tak berpikiran aneh-aneh tentangnya.

Sekilas, Nathan melirik. Jika seorang gadis sedang melipat kedua tangannya di dada dengan wajah tertekuk, berarti dia sedang kesal.

Tapi pada siapa? Pada dirinya?

"Nanti, kau bisa minta apa saja sebagai imbalannya." Nathan mengeluarkan jurus andalannya.

Seina mendengus, merutuk dalam hati. "Mana mungkin. Si congor bebek ini kan pelit."

Tidak ada respons, Nathan kembali berkata, "Aku cuma mau butuh bantuanmu."

Semudah itu dia menjilat ucapannya yang telah dilepehnya tadi?

"Bukannya Bapak kapok minta bantuan sama saya?" sindir Siena, ketus.

"Jadi, ceritanya kamu ngambek? Berani sekali kamu?"

Iya! Asal pria itu tahu, hati Siena terkelupas karena ucapannya yang nyelekit waktu itu.

Andai mulutnya bisa bebas dari tekanan beban yang ada di benaknya, akan ia keluarkan semua unek-uneknya.

"Bapak mau minta bantuan apa?" tanyanya dengan geram tertahan.

"Perhiasan adalah hadiah terbaik untuk perempuan."

"Jadi, Bapak mau saya memilihkan sebuah perhiasan, begitu?" tebak Siena.

"Pintar!" sahut Nathan.

Siena menghela napas. "Perhiasan seperti apa?"

"Maka dari itu saya bawa kamu. Nanti, kau pilihkan perhiasan apa pun yang cocok untuk Renata."

Jika mendengar nama gadis itu, jadi teringat oleh apa yang barusan dilihatnya.

Nathan memiliki niat yang baik untuknya. Apa pantas gadis itu mendapatkannya?

Seandainya Nathan tahu? Mungkinkah dia masih mau memberikan ketulusannya pada Renata?

Bingung! Sebisa mungkin Siena menahan mulutnya untuk mengatakan semua hal yang disaksikan tadi.

Namun ia ragu, takutnya hal itu hanya prasangka. Dan mungkin saja Nathan menganggapnya lancang karena telah mengatakan hal buruk tentang calon istrinya.

Siena yang tadinya duduk menghadap Nathan, mengubah posisi duduknya kembali. Niatnya urung.

Lagipula, untuk apa ia mencampuri urusan bosnya itu. Kalau pilihannya salah, itu risiko dia. Mungkin, Tuhan ingin menegurnya dengan menghadirkan gadis berhati busuk seperti Renata.

Oke, yang harus dilakukan adalah masuk ke dalam toko itu, lalu mencari perhiasan secara asal. Biar saja. Lagipula, semua perhiasannya indah, 'kan?

"Tugas saya sudah selesai, 'kan?" kata Siena dengan nada sarkastik, berjalan keluar dari toko.

Nathan melihat tas belanjaanya sambil tersenyum puas. "Ya, kerja bagus! Semoga saja, kali ini prediksi kamu tidak salah lagi."

Mulai lagi deh. Sudah dipuji, dijatuhin lagi! Ah, terserah lah!

"Kalau begitu, saya pamit pulang." Siena akan berbalik dengan acuh tak acuh. Namun, Nathan kembali memanggilnya.

"Aku akan mengantarmu," katanya.

Siena menaikkan alisnya, ragu dengan ketulusan pria itu. "Lebih baik saya naik taksi, daripada dengar ocehan Bapak," gerutunya sepelan mungkin.

"Kau bilang apa?"

"Nggak ada," sahutnya jutek. "Ya sudah. Kalau begitu, Bapak antarkan saya ke restoran tadi. Saya mau ambil motor."

Baiklah, Nathan menuruti keinginan gadis itu. Mobil dilajukan ke restoran tadi, menurunkannya di sana, lalu pergi.

Siena juga tak berlama-lama di sana, ia langsung melompat ke motornya.

Ketika mesin motor baru dihidupkan, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Rayan masuk.

"Kamu sudah pulang ke rumah?"

Dia khawatir? Rasa hangat menjalar di hatinya.

"Aku...."

Siena berhenti mengetik. Perlu tidak ya, mengatakan bahwa ia masih di restoran?

"Em ... Oke! Aku sudah sampai di rumah," gumamnya sambil mengetik.

Ibu jarinya menekan tombol "kirim". Setelah itu, ia melajukan motornya, setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Sebuah mobil hitam melaju setelah motor Siena keluar dari restoran. Mengikutinya sampai ke rumah dalam jarak yang tak terlalu jauh.

Ketika motor Siena masuk ke dalam gang, mobil itu berhenti. Rumah Siena memang masuk ke dalam gang, agak beberapa meter dari gapura ini.

Rumah yang ditempatinya adalah sebuah kontrakan mungil berwarna biru langit yang hanya memiliki teras, tapi tidak berpagar.

Ibu yang tahu betul suara motor anaknya, langsung membuka pintu dan menyambut Siena.

Meskipun daerah ini aman, Siena tetap waspada dengan memasukkan motornya ke dalam rumah.

Si pemilik mobil hitam tadi keluar dari persembunyiannya di balik sebuah tembok rumah.

"Jadi, dia tinggal di sini?" gumam pria itu, yang ternyata adalah Nathan.

-;-;-;-

Di luar, matahari belum menampakkan sinarnya, tapi ponselnya sudah berbunyi untuk membangunkannya.

Siena kira, alarm-nya yang berbunyi. Rupanya, pria menyebalkan itu yang meneleponnya.

Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal. "Ngapain sih, nelepon pagi-pagi gini?" rutuknya. "Halo."

"Sudah bangun?"

Siena mendecak di dalam hati. "Ada apa, Pak?"

"Cepat mandi dan bersiap-siap. Saya tidak mau kau terlambat lagi," kata Nathan seenaknya.

"Ini masih terlalu pagi, Pak," decak Siena.

"Kau ini selalu membantah atasan. Bagaimana kamu bisa dipercaya oleh atasanmu, kalau sikap kamu begini?"

Pagi-pagi sudah ceramah yang bikin hati Siena panas. Asal dia tahu, untuk bos sepertinya, membantah itu sangat perlu!

"Oke, Pak! Sampai jumpa di kantor."

Tak tahan telinganya sakit mendengar ocehannya, Siena menutup telepon itu, lalu kembali tidur.

Ia akan bangun jika alarm-nya berbunyi. Sesuai perkiraan, ia sudah siap ke kantor tanpa tergesa-gesa lagi.

"Pagi, Ma," sapa Siena, riang.

"Pagi," balas ibunya. "Gitu dong. Jadi nggak terlambat lagi, 'kan masuk ke kantor."

Siena tersenyum simpul. "Wah, nasi goreng! Ini beli atau bikin?"

"Bikin dong," sahut ibu penuh kebanggaan.

Siena meraih sendok yang ada di sebuah kotak peralatan di atas meja. "Kayaknya, enak nih?"

"Habisin dong."

Tentu saja. Bagi seorang anak, makanan buatan ibu yang dianggapnya paling enak. Dalam sekejab, nasi goreng itu ludes masuk ke dalam perutnya.

Mamanya tersenyum senang melihat sang anak lahap sekali makannya, sampai ia berseloroh:

"Lapar atau doyan?"

"Dua-duanya," sahut Siena, memasukkan suapan terakhir ke dalam mulut.

Segelas susu sudah habis, kini Siena berpamitan untuk pergi bekerja. Mama pun turut mengantarkan Siena sampai ke pintu dan membantunya mengeluarkan motor.

Saat pintu terbuka, Siena dan ibunya terkejut melihat sosok pria berpakaian rapi, dengan setelah tuxedo warna cokelat muda, berdiri di depan rumah.

Nathan?

Siena tercengang, sementara ibunya menatap Nathan dengan bertanya-tanya.

Nathan melirik arlojinya, lalu berkata pada Siena, "Kau terlambat, Siena."[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel