Bab 8 Di antara
Dua jam sebelum waktu pulang
Karena hukuman itu, Siena jadi harus mengebut semua pekerjaannya. Jemarinya mengetik sebuah laporan yang harus selesai saat ini juga.
Saat ini, konsentrasinya dalam keadaan full. Namun, semua itu terganggu oleh sebuah telepon dari seseorang.
"Ck! Siapa sih yang telepon?" Siena meraih ponsel, lalu menjawabnya, "Halo."
"Halo, Si."
Siena mendelik, berhenti mengetik. Suara ini....
Ia tak melihat siapa yang menghubunginya. Dan ketika menyadari bahwa si penelepon itu Rayan, rasa canggung meluap.
"Iya. Ada apa, Yan?"
"Kamu ada waktu?"
Kenapa tiba-tiba tanya begitu? Apa dia mau mengajaknya jalan?
Siena menelan air liurnya. "Memang kenapa?"
"Aku mau ngajak jalan, sekalian makan malam."
Benar kan? Aduh, jawab apa ya? Siena bingung bercampur senang. Hampir saja ia menjerit setelah beberapa saat tercengang, tadi.
"Aku bebas kok."
"Kalau habis pulang kerja, bisa tidak?" tanya Rayan, suaranya memelan karena canggung.
Siena terkekeh. Sifat Rayan yang masih saja seperti itu ketika mengajaknya pergi. Dengan riang, ia menjawab:
"Oke. Em ... aku tutup dulu, ya? Aku mau lanjut kerja."
Siena akan menjauhi teleponnya, tapi Rayan buru-buru berseru mencegahnya.
"Si, tunggu dulu!"
"Iya?"
"Kamu kerja di mana? Aku jemput, ya?"
Siena terdiam sambil berpikir. "Aku bawa motor. Kita ketemuan aja. Emang, kamu mau ajak aku ke mana?"
"Restoran cepat saji langganan kita."
Ah, restoran itu. Banyak kenangan yang tak terlupakan di sana. Sejak pertemuan pandangan pertama, sentuhan tangan yang menggetarkan, sampai hubungan yang menghangatkan. Jika diingat lagi, hatinya merasa iba.
"Oke. Pukul 5 ya," gumam Siena.
"Oke. Sampai jumpa lagi," tutup Rayan.
Bye. Kata terakhir yang diucapkan Siena. Sejenak, ia merenung. Bayangan Rayan melayang-layang di benaknya. Namun hanya sesaat.
"Oke!" Ia merenggangkan kedua tangannya. "Karena udah janji, gue harus cepat-cepat selesaikan tugas!"
Kalau memang sudah niat, semua pekerjaan selesai tepat waktu. Ia langsung beranjak pergi dari kantor tanpa buang waktu.
Bertepatan dengan itu, Nathan keluar dari ruangan. Tertegun melihat Siena buru-buru pulang.
Senyumnya terkembang di sepanjang perjalanan. Rasa sakit hati yang dulu sulit sembuh terlupakan. Harapan untuk kembali bersama mencuat.
Rayan telah sampai duluan di sana, duduk di meja nomor 11 yang dekat dengan jendela—tempat favorit Siena.
Pria itu melirik arlojinya, Siena terlambat 5 menit. Tapi ia tak mempermasalahkannya. Mungkin jalanan macet yang mengadangnya.
Sementara menunggu, ia memainkan ponselnya. Pesan dari Siena masuk. Siena memberitahukan bahwa dirinya akan agak sedikit terlambat.
Rayan menjawab pesannya dengan menghubunginya. Dalam sekejab, Siena mengangkatnya.
"Halo, Si. Kamu lagi di mana?"
Siena berlari memasuki restoran sambil berkata, "Aku sudah sampai—"
Seakan suaranya menghilang di ujung lidah, ia mematung melihat sepasang insan sedang berpelukan.
Salah satu dari insan itu dikenalnya. Seorang gadis cantik berpakaian elegan, yang pernah ditemuinya walau sekali.
Renata.
Tapi, dia dengan siapa? Temannya? Atau kekasih gelapnya?
"Kenapa jadi kepo begini sih?" Halau Siena, bergumam dalam hati. "Itu urusan mereka. Ah, iya! Rayan!"
Siena menjelajahi pandangannya ke seluruh restoran, mencari sosok Rayan.
Ketemu! Pria itu sedang duduk di meja yang tak jauh dari Renata dan pria gondrong itu.
Ck! Malas begini rasanya. Takutnya, rasa penasarannya malah membuat pertemuan dengan Rayan jadi kacau.
Tapi karena sudah seperti ini, Siena tetap menghampiri meja tempat Rayan duduk, pura-pura cuek dan tidak kenal pada Renata ketika melintas.
"Hai, Yan. Maaf. Sudah nunggu lama, ya?" Siena meletakkan tasnya di meja, lalu duduk.
Rayan tersenyum khas. "Nggak apa-apa. Pasti jalanan macet."
"Kok nggak pesan makanan duluan?" tanya Siena, heran melihat tak ada satu pun hidangan di meja.
"Enakan nunggu kamu. Biar makanannya tidak cepat dingin."
Masih sama, Rayan selalu bisa mengembangkan tawa kecil Siena di bibirnya.
"Ya juga. Makanan yang masih hangat memang lebih enak."
Makanan yang sering mereka pesan dulu adalah seloyang pizza dan segelas besar coca cola.
Hanya saja, semua tak sama seperti dulu. Sita memesan seporsi burger dan lemon tea, sedangkan Rayan memesan nasi dan ayam goreng.
Mungkin waktu perpisahan mereka sangat lama, sehingga rasa canggung ini membuat mereka tak nyaman.
Mau ngobrol, tapi bingung topik apa yang mau dibahas. Jadi, mereka lebih memilih diam dalam beberapa waktu.
"Bagaimana pekerjaan kamu?" tanya Rayan, setelah semakin risi dalam suasana kaku ini.
Siena tersentak dan mendongak. "Biasa aja. Lancar kok. Kamu sendiri?"
"Sama. Atasan aku baik, rekan kerja aku juga. Semuanya menyenangkan," jawab Rayan, antusias.
Siena melirik ke arah lain sembari bergumam lirih, "Beruntung banget."
"Apanya, Si?" tanya Rayan, yang ternyata mendengarnya.
Ya, tempat kerjaan Rayan. Bosnya baik, berbanding terbalik sama Nathan. Penting tidak ya, cerita soal itu?
Mungkin sebaiknya tidak.
"Nggak," jawab Siena. "Aku mau ke kamar mandi dulu, ya."
Jalan menuju ke kamar mandi ada di belakangnya. Otomatis, ia melewati meja Renata dan pria itu.
Malas sih. Tapi kalau dipikir lagi, untuk apa ia merasa risi? Kalau mau lewat di dekat mereka, ya jalan saja.
"Stay cuek aja, Siena." Ia membatin sambil lalu di meja Renata. "Mereka tidak ada hubungannya denganku, sekalipun Renata calon istri bos congor bebek."
"Aku tidak mau menikah", kata yang didengarnya ketika Siena telah menjauh selangkah dari meja itu.
Ini mengejutkan. Tapi ia paham, bahwa menikah karena perjodohan mana mungkin menumbuhkan cinta. Adegan seperti itu sudah banyak di novel.
Sebenarnya, ia ingin mendengar lebih banyak lagi soal Renata dan pria itu. Namun, ia menggelengkan kepala, menyadari bahwa hal itu salah.
Dienyahkan rasa penasarannya itu, lalu kembali melangkah pergi.
Perasaannya berkecambuk. Hatinya yang halus menjadi iba karena penghianatan Renata, meskipun wanita itu tidak salah.
Tapi apa salahnya, jika Renata menolak perjodohan itu? Padahal, Nathan tulus padanya, sampai berniat membelikan hadiah dan meluangkan waktu untuk makan malam bersama.
Jadi kesal!
Siena mengibas-kibaskan tangannya yang baru dicuci. Lantas, ia tertegun, menyadari sesuatu. Ia berkacak pinggang, bergumam kesal:
"Ngapain juga gue mikirin bos nyebelin itu? Tahu ah!"
Dimatikannya keran air, kemudian keluar dari kamar mandi sambil merapikan pakaiannya.
Karena tak melihat jalan, ia sampai menabrak seseorang. Tangan seseorang itu menangkap tubuhnya yang terhuyung.
Ia mengendus. Aroma parfum yang tak asing terhirup oleh hidungnya. Yang ia tahu, orang yang memiliki aroma parfum ini adalah bosnya!
Lantas, ia mendongak untuk memastikan. Ia terbelalak melihat wajah tampan Nathan tepat di depan matanya.
Sedang apa bosnya di sini? Gawat, kalau dia sampai melihat calon tunangannya makan malam bersama dengan pria lain!
"Maaf, Pak." Sigap, Siena menegak dan menjauhkan tubuhnya. "Bapak makan malam di sini?"
Nathan menatap Siena dengan pikiran yang berkecambuk oleh kebimbangan.
Alangkah malunya jika pria itu bilang, kalau dia ke sini karena mengikuti Siena sejak keluar dari kantor.
Kenapa? Karena ia butuh bantuan gadis itu lagi. Ia ingin menemaninya membeli hadiah untuk Renata.
"Iya. Kenapa?" Akhirnya, jawaban bohong yang diberikan.
"Sama klien?"
"Sendirian. Siena, aku mau kau ikut aku."
"Eeeehhh!"
Kebiasaan sekali, Nathan main tarik-tarik tangannya Siena. Eh, tapi tunggu dulu! Di luar sana kan ada Renata. Kalau sampai Nathan melihatnya....
"Tunggu, Bos!" Siena tiba-tiba berhenti, menahan tubuh Nathan.
Ia beringsut ke depannya, mengadang langkahnya. "Em ... Bapak mau ajak saya ke mana sih?"
"Nanti kau juga tahu. Makanya ikut!"
"Tapi, Pak—"
Nathan menarik tangannya lagi, tapi Siena hanya bisa pasrah dan harap-harap cemas.
Sebentar lagi, mereka akan mencapai ke luar. Jika Nathan melihat Renata dan pria itu, bersiaplah, sebuah perang dunia ke 3 akan terjadi![]