Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Hari tersial

Di depan Tuhan, dia menyematkan cincin di jari manis Siena saat ulang tahunnya. Berjanji bahwa cinta ini akan dijaga sampai kapanpun.

Senyum Siena mengambang indah di bibirnya. Sebuah kecupan lembut disematkan kemudian oleh pria itu.

Siena tersentak, matanya terbuka lebar-lebar. Hanya dalam 10 menit, ia tenggelam dalam angan dua tahun yang lalu.

Kenapa harus diingat lagi? Hanya karena setelah mendengar suaranya tadi siang?

Hubungan ini sudah kandas! Harusnya Siena sadar. Enyahlah banyangan itu secepatnya, supaya ia bisa tidur dalam dekapan selimut harum yang baru diganti ibunya.

Namun akhirnya, ia malah menyingkap selimutnya lagi, meraih ponsel, mengganggu Gwen yang sudah tidur.

"Halo, Nek? Udah tidur?"

Tidak dengarkah dia, Gwen bergumam dengan suara berat dan malas-malasan?

"Kenapa sih, tembem?" jawabnya sedikit kesal sambil menggaruk-garuk rambutnya.

"Mau curhat."

"Besok aja bisa, 'kan? Atau sama Gibran aja."

"Nggak ah! Dia mulutnya ember dan nggak serius," tolak Siena.

Gwen mendecak. "Pasti soal Rayan. Si, listen to me! Dia masa lalu, lupakan! Cowok banyak! Kalaupun cuma dia cowok di dunia ini, tetap jangan pilih dia! He is lier! Penghianat! Nggak pantas mendapatkan cinta dari lo!

Siena menatap layar ponselnya bingung. Gwen langsung mematikan telepon setelah mengucapkan kata terakhirnya.

Tapi benar juga kata Gwen. Buat apa memikirkan pria itu? Mereka sudah putus! Putus! Putus! Lagipula, pria itu menghubunginya untuk menanyakan kabarnya, Gwen dan Gibran, juga ibunya.

Siena menghela napas sambil menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, memeluk bantal guling dengan tatapan sendu.

Kalau pria itu terus membayanginya begini, meski itu hanya kenangan indah, bagaimana bisa tidur?

Hatinya terlalu penasaran dengan kemungkinan-kemungkinan yang terpikirkan olehnya.

Benar, cuma tanya kabar? Tidak ada hal penting kah? Mungkin saja dia mau kembali? Kenapa bicaranya canggung gitu? Sering sekali dia terkekeh saat berbicara seperti saat dulu mereka bersama.

"Aaaaaah! Pusing!" seru Siena, terduduk tiba-tiba. "Rayan! Rayan! Rayan! Ngapain mikirin dia? Mending tidur."

Ya, memang begitu seharusnya. Tapi hatinya bertolak belakang. Alhasil, ia berhasil tidur menjelang subuh.

Mamanya yang sedang ada di dapur heran melihat anaknya berpenampilan kacau. Sambil membawa segelas teh ke ruang tamu, ia bertanya:

"Matanya hitam gitu? Nggak bisa tidur?"

"Iya, Ma," jawab Siena lemas, duduk di sampingnya, menggeser piring berisi lontong sayur.

"Sudah Mama bilang jangan suka nonton drakor."

Bukan karena drakor. Kalau mamanya tahu karena memikirkan Rayan, apa reaksinya seperti Gwen?

"Ma, aku malas deh kerja," gumam Siena, memotong bagian lontong menjadi lebih kecil.

"Malas?" seru mama agak kencang. "Siapa yang dulu bikin ikrar: kalau dapat kerja di perusahaan itu, kau akan rajin dan bekerja keras. Aish, benar-benar! Janji diucapkan semudah melepehkan air ludah!"

Siena merenggut, bibirnya manyun. Sindiran mama menohok sekali, mirip seperti bosnya. Jadi tambah tidak semangat ke kantor, apalagi dalam keadaan mengantuk begini.

Takut berisiko, ia pergi tidak dengan motornya, tapi dengan menaiki bis.

Hari Kamis begini biasanya hari sial, tapi sepertinya semua itu terbantahkan. Bis tidak terlalu ramai, jadi bisa dapat tempat duduk.

Selama beberapa menit bis melaju, matanya masih nyalang, menoleh ke luar jendela sambil memandangi macetnya kota.

Lama-lama kepalanya disandarkan ke jendela. Mata terasa berat oleh angin pagi yang berembus. Setelah itu, ia tak kuasa lagi menahan diri untuk tetap terjaga.

Entah beberapa lama, tiba-tiba ia tersentak oleh nada dering ponselnya. Ia mengernyit kala nama bosnya muncul di layar.

"Ya, Bos?"

"Kalau kau tidak masuk kerja, seharusnya bilang," cetusnya dengan nada marah.

"Saya lagi OTW ke kantor—"

Siena tercengang kala melihat jalan yang dilalui oleh bis.

Ini di mana? Apa bisnya sudah melewati halte menuju kantor?

Diliriknya arlojinya. Ia langsung memucat begitu tahu bahwa jam telah menunjukkan pukul 8 pas. Gawat! Ia akan sangat terlambat masuk kantor kalau begini!

Tanpa mengatakan apa pun, ia menutup teleponnya begitu saja. Ia tergesa-gesa turun dari bis, memesan ojek online secepat mungkin.

Setibanya di kantor, waktu telah menunjukkan pukul 8 lewat 10 menit. Nathan telah berdiri di mejanya sambil mengarahkan tatapan tajamnya pada Siena.

Ia tahu bahwa dirinya telah berbuat salah. Siena menghampiri Nathan sambil menunduk. Wajahnya memelas. Di dalam otaknya sedang memilah alasan yang akan diberikan pada pria itu.

"Maaf, Pak. Saya tadi—" gumamnya.

"Mana laporan hasil rapat kemarin?" tanya Nathan, nadanya dingin dan tegas.

Gugup dan bergetar, Siena memberikan sebuah map yang diletakkan dalam paper bag.

"Ini, Pak."

Nathan menerimanya lalu memeriksa berkas itu sejenak.

"Oke. Kau terlambat hari ini. Jadi, kau dihukum berdiri di depan kantor selama satu jam."

Siena langsung mendongak dengan mulut ternganga. Hukuman? Yang benar saja! Apa ia anak sekolah? Memangnya dia pikir tidak memalukan?

Seorang karyawati datang ke mejanya, terheran-heran melihatnya berdiri sambil menggerutu tanpa suara.

"Mbak Siena?" panggil gadis itu.

Siena terhenyak menyadari keberadaan gadis itu.

"Mbak sedang apa?"

Yang ditanyai meringis. Tidak mungkin, 'kan menceritakan soal hukuman konyol ini padanya?

"Eh, ada apa?" Siena mengalihkan, menyadari sebuah berkas yang dipegang gadis itu.

"Ah, ini. Tolong periksa berkas keuangan bulan ini, yang diminta sama bos," jawabnya. "Terus, berikan pada bos, ya?"

Oh, terima kasih. Tuhan menurunkan penyelamat untuknya. Berkas ini bisa menjadi alasannya untuk mengakhiri hukuman ini.

"Terima kasih, ya, Elen," kata Siena, tersenyum sambil menerima berkas itu.

Seperti hantu saja, Nathan tiba-tiba muncul dari balik pintu. Ia dan gadis itu menoleh bersamaan.

"Elen, mana berkas yang saya minta?" tanyanya.

"Sama Mbak Siena, Pak," jawab Elen.

Aduh. Sepertinya, ekspektasinya masih jauh nih? Pria itu merebut berkas itu, lalu berkata padanya sebelum kembali masuk ke dalam ruangannya.

"Kau, masih dihukum sampai waktunya selesai!"

Siena menghela napas, sementara Elen masih bingung dengan yang dikatakan Nathan.

"Mbak ... dihukum?" tanya Elen, sangsi.

Siena melirik, memelas sambil mengangguk. "Konyol banget, 'kan?" katanya kemudian.

"Nggak juga sih? Dulu, sekertaris sebelum kamu juga mengalami hal itu."

Tidak bisa dipungkiri, kalau itu adalah salah satu alasan utama para karyawan bosnya memilih resign.

"Mungkin, gue juga bakal resign dari nih kantor," gumamnya.

"Apa, Mbak?" tagih Elen, yang tak mendengar ucapannya.

"Enggak."

-;-;-;-

Renata memasuki sebuah restoran, lalu berdiri sejenak sambil melihat ke sekeliling restoran.

Sehabis bekerja, ia memang ada janji bertemu di restoran ini. Dan seseorang itu sudah duduk di meja nomor 15.

Langkahnya panjang dan cepat menuju pria itu berada. Beberapa meter dari meja itu, langkahnya perlahan memelan.

Jantungnya berdegup kencang hingga merasa gugup. Sosok pria itu diperhatikan terus, meskipun wajahnya tengah menoleh ke arah jendela.

Pria itu tak menyadari bahwa dirinya sudah ada di dekatnya. Namun, Renata hanya terdiam dalam beberapa saat.

"Mario...."

Suaranya seakan tercekat. Emosinya sebisa mungkin ditahannya. Ia tak dapat menyimpulkan, apakah harus merasa bahagia ataupun sedih begitu melihatnya

Pria itu menoleh, tercengang sesaat, sebelum senyumnya mengembang di bibirnya. Dia berdiri sembari menyibakkan rambut gondrong sebahunya dengan tangan.

"Renata?"

Tak bisa dielaknya, Mario langsung memeluknya sembari berkata, "Aku merindukanmu."

Mata Renata menyendu. Perasaan yang belum layu itu menimbulkan air mata tanpa isakan yang tak bisa dibendungnya.

Sama halnya dengan Mario, Renata juga merindukan pria itu walau tak terucap.

Momen itu terlihat oleh Siena, yang tengah berdiri di depan restoran. Ekspresi terkejut terlihat sangat jelas di wajahnya.

Meski dulu hanya melihat wajah wanita itu sekilas, tapi ia tetap mengenalnya. Ya, dia Renata, calon tunangan bosnya.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel