Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Ex

Nathan yang sedang berada di dalam ruangannya, sedang memeriksa berkas yang sudah menumpuk di meja.

Tanpa sengaja, ia menoleh pada Siena yang tengah melihat tas berisi sepatu di meja kerjanya. Lantas, ia meraih gagang telepon, menghubungi Siena.

"Halo," jawab Siena.

"Sudah lihat isinya?" tanya Nathan di ujung telepon.

Si bos? Siena tertegun, lalu melirik pria itu dari kaca jendela yang ada di ruangannya.

"Sudah," jawabnya kemudian. "Bukannya, ini sepatu yang Bos beli buat pacar Bos?"

"Bukan pacar, tapi calon tunangan," tangkis Nathan cepat.

"Iya, iya," dengus Siena, jengkel.

"Sepatu itu buat kamu."

Mata Siena membulat, hampir saja mulutnya ternganga karena cukup terkejut mendengarnya.

"Ini sungguhan sepatunya buat aku?" gumam Siena dalam hati. "Jangan-jangan cuma PHP kayak kemarin."

Karena kurang yakin, Siena menanyakannya, "Benaran, Pak? Tapi kenapa sepatunya buat saya?"

"Anggap aja itu hadiah. Lagipula, Renata sudah punya sepatu yang seperti itu. Mungkin saya akan memberikannya hadiah yang lain," jawab Nathan.

Sekali lagi, di dalam hati Siena memuji kebaikan pria itu. Ia sangat senang karena sepatu ini akhirnya dimilikinya juga.

"Terima kasih, Pak. Ngomong-omong, Bapak mau kasih hadiah apa buat Nona Renata?"

"Belum tahu," sahut Nathan. "Lagipula, untuk apa kamu perlu tahu?"

Ketus sekali! Buat Siena jengkel saja, walaupun kadarnya hanya sedikit. Namun, ia berpikir untuk jadi penjilat. Karena siapa tahu, pria ini bisa dimanfaatkannya.

Maka, ia perlu menyingkirkan emosinya, dan tetap tersenyum meski di dalam hatinya sangat marah pada pria itu.

"Tidak. Kalau Bapak butuh saya untuk memilih hadiah lagi, saya siap bantu."

"Tidak usah!" jawab Nathan sinis. "Kau tidak bisa diandalkan kalau soal ini. Gara-gara kau, saya jadi kehilangan uang. Untung saja saya tidak perhitungan. Kalau tidak, saya akan potong gaji kamu karena salah memberikan saran."

Nathan menutup teleponnya begitu saja. Siena tersentak, lalu menatap teleponnya dengan jengkel sekali.

"Yeeee! Kan situ yang beli, kenapa aku yang disalahkan? Lagipula, sepatu itu tidak akan menghabiskan seperempat dari uang kamu! Dasar pelit!" makinya.

Nathan melihat Siena sedang berbicara dengan ekspresi kesal pada gagang telepon. Entah apa yang dibicarakannya. Karenanya, ia kembali menghubungi gadis itu, bertepatan saat Siena akan meletakkan gagang telepon.

"Iya, halo," jawab Siena setengah hati.

"Kamu kesal sama saya?"

Siena menghela napas. "Apa Bapak tidak ada kerjaan selain menanyakan hal itu?" sahutnya dengan ketus tertahan.

"Oh, ya sudah, kerja lagi. Jangan buang-buang waktu berbicara dengan gagang telepon lagi. Saya menggaji kamu untuk bekerja." Kemudian, Nathan menutup teleponnya.

Siena membanting gagang telepon karena sangking kesalnya. Benaran deh! Pengin rasanya pria itu dipites kayak kutu.

Ia menghempaskan diri di kursinya, cemberut, meraih sebuah dokumen dan membantingnya dengan kencang.

"Dasar ngeseliiiin!"

Untungnya, ia tidak makan siang dengan bosnya. Gwen mengajaknya makan siang ke sebuah restoran enak. Dari suaranya di telepon, gadis itu terdengar senang.

Gwen juga mengundang Gibran dan Anastasia, salah satu karyawannya di butik. Senyum gadis itu melebar saat Siena muncul dari balik pintu restoran.

Siena menghampiri dengan senyum kecut. Lalu, ia duduk di antara Gwen dan Gibran.

"Kenapa muka lo? Kusut gitu kayak kertas lecek," celetuk Gibran.

Sebuah pukulan mendarat di lengan kanan Gibran. Anastasia terkekeh sambil menutup mulutnya melihat Gibran terpekik.

"Sakit tahu! Jadi cewek kasar banget," protes Gibran, mengelus lengannya.

"Makanya, jadi cowok mulutnya jangan jail!" sindir Siena.

"Tahu nih!" timpal Gwen berseru.

Lalu, Siena melirik ke arah gadis pendiam yang duduk di depan Gibran. "Hei, An," sapanya.

"Hai juga, Mbak Siena," balas Anastasia tersenyum.

"Ngomong-ngomong ada apa nih?" tanya Siena, yang kembali menoleh pada Gwen. "Kayaknya lo lagi senang, Nek?"

Gwen memonyongkan bibirnya, jengkel dipanggil begitu lagi oleh Siena. Tapi biarlah. Karena lagi senang, ia menahan kekesalannya.

"Gini pipi tembem. Gaun yang diperagakan elo sama Gibran kemarin, dapat orderan banyak!"

Siena dan Gibran berseru senang, sama seperti Gwen ketika mengetahui traffic penjualan gaun hasil desainnya meningkat.

"Em... jadi ini tujuan lo ngajak makan di sini?" tanya Siena.

"Setengah benar. Makan siang ini cuma bonus awal aja," sahut Gwen sambil mengaduk jus mangga miliknya. "Kalau yang pesan makin banyak, lo berdua boleh ambil baju di butik gue. Berapa aja."

"Wah, boleh tuh!" sambut Gibran girang. "Tapi benaran nggak nih?"

"Tahu nih, Gwen. Serius, lo mau kasih baju-baju lo buat kita? Emang lo nggak rugi apa?" Siena menimpali.

"Buat sahabat-sahabat gue, apa sih yang enggak?" kata Gwen. "Eh, An. Lo juga boleh ambil baju di butik gue. Kan lo udah bantuin gue menjahit gaunnya."

"Nggak usah," sahut Anastasia malu-malu. "Diajak makan di sini saja saya sudah senang. Lagipula, saya bekerja buat Mbak Gwen."

Gadis ini sama seperti Siena, selalu merasa "nggak enakkan". Gibran sampai gemas dan menyahut:

"An, nggak usah ditolak. Rezeki tuh! Mumpung Gwen belum berubah pikiran."

"Mana ada!" Gwen menyahut protes. "Kalau gue udah janji, nggak bakal gue ubah. Udah, pada pesan makanan deh!"

Yang belum pesan makanan cuma Siena dan Gibran. Siena memesan seporsi steak daging dan jus jambu, sedangkan Gibran memilih sup iga sapi, nasi, dan thai tea.

Dalam sekejab, pesanan mereka datang ke meja. Saat itu, mereka sedang membicarakan soal pemesanan gaun mereka dan rencana rancangan baju terbaru Gwen.

Obrolan yang menyenangkan dirusak oleh telepon dari bosnya. Siena mendecak, meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Kenapa, Si? Kok nggak diangkat?" tanya Gwen heran.

"Dari bos gue," jawab Siena ketus.

"Lha? Diangkat dong," kata Gibran. "Siapa tahu penting."

"Bodo amat!" sergah Siena, menancapkan garpu ke permukaan daging steak dengan geram. "Gue nggak takut dipecat."

Yang dilakukannya membuat Gwen dan Gibran bergidik. Siena, semarah itukah pada bosnya?

Suara dering ponsel berhenti, ada perasaan lega sesaat meredakan amarahnya. Namun rupanya, jika pria itu semakin diabaikan, semakin menjadi kelakuannya.

Nathan menghubungi nomornya sampai tiga kali, membuat kekesalan Siena naik sampai ke ubun-ubun.

Diambilnya ponselnya dari dalam tas, lalu telepon itu diangkatnya dengan geram tertahan.

"Halo, Pak? Kenapa telepon saya? Ini masih jam makan siang. Kalau mau ngomongin soal kerjaan, nanti aja di kantor, ya?"

Tidak ada sahutan dalam beberapa saat di ujung sana. Tak lama kemudian, suara seorang pria yang tak asing baginya terdengar.

"Halo, Si?"

Siena mendadak mematung. Suara lembut yang sudah lama tak didengarnya memantul di telinganya.

Gibran mengernyit, melirik Gwen penuh arti. Namun, Gwen hanya menaikkan kedua bahunya sebagai jawaban.

"Si, siapa yang menelepon?" tanya Gibran kemudian.

Sambil masih tercengang, Siena menjawab, "Rayan."

-;-;-;-

Renata terhuyung lemas saat memasuki kamar. Pekerjaan hari ini di kantor sangat melelahkan. Ia melempar tas di ranjang, lalu membaringkan wajahnya.

Langit-langit kamar yang berwarna kuning cerah ditatapnya lama, hingga lamunan mengarah pada sosok wajah yang perlahan muncul.

Wajahnya berubah muram. Lantas, dikeluarkan ponselnya dari saku blezernya. Jari telunjuknya menggeser-geser layar ponsel, mencari sebuah kontak.

Hanya saja, nomor itu dipandanginya sambil berpikir ragu. Karena hasratnya yang kalah oleh keraguan itu, Renata lebih memilih meletakkan ponsel itu.

Hanya beberapa saat, ponsel itu kembali diraihnya. Nomor tadi segera dihubunginya tanpa ragu. Ia berguling, menumpukan dagunya dengan bantal, menunggu nada panggil yang berbunyi lima kali itu lenyap lalu tergantikan oleh suara dari seseorang.

"Halo."

Renata menelan air lidahnya, seakan tenggorokannya kering hanya untuk sekadar menjawab "halo."

"Re? Ada apa?" tanya seseorang di sebelah sana.

"Aku ingin bertemu denganmu," jawab Renata. "Kapan kau balik ke Jakarta?"

"Belum tahu, Re."

Seseorang itu menjawab dengan nada pelan dan memelas, membuat Renata kecewa mendengarnya.

"Oke. Tapi jangan menyesal, karena kita mungkin tidak akan bertemu lagi."

Renata menutup teleponnya, lalu menenggelamkan wajahnya ke bantal.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel