Bab 5 Sepasang sepatu
Nathan melepaskan genggaman tangannya, berhenti di tengah toko.
Siena memandang takjub begitu melihat rak-rak sepatu di setiap sudut. Ia menghampiri sebuah rak, jejeran sepatu disusuri sambil terpana.
Seakan terkena pancaran sinar, Siena menoleh pada sepatu yang sangat diinginkannya. Dihampiri pajangan yang ada di dekat etalase, memperhatikan sepatu itu dengan hasrat memiliki yang membuncah.
Namun, ia sadar. Mana mungkin memiliki benda ini sekarang. Kecuali bosnya ingin membelikannya.
Tiba-tiba ia menyadari. Apa mungkin Nathan mengajaknya ke sini untuk memenuhi permintaannya? Tanggap juga pria ini.
Nathan yang mengikuti Siena, berdiri di belakangnya, lalu melihat sepatu yang sedang diperhatikan oleh gadis itu.
Apakah ini yang disukai oleh wanita? Nathan berpikir bahwa wanita sangat memperhatikan penampilan, dan sepatu adalah hal terpenting dalam penampilan. Jadi, ia berniat membeli barang ini.
"Mbak!" serunya, begitu menemukan seorang pelayan toko yang sedang berdiri di belakang meja kasir.
Telinga Siena menegak, tersenyum penuh harap. Tapi ia tak memperlihatkan ekspresi itu, masih bergeming seolah tak menyadari bahwa pria itu sedang berbicara dengan pelayan toko.
"Saya pilih sepatu itu," kata Nathan, menunjuk.
"Baik, Pak. Berapa ukurannya, Pak?" tanya si pelayan ramah.
Nathan terlihat bingung. Pasalnya, ia sendiri tak tahu ukuran kaki wanita itu. Kemudian, diliriknya Siena.
"Siena."
Di saat itulah waktu yang tepat untuk menegakkan badan dan berakting sok polos. Ia berbalik, lalu bertanya, "Ada apa, Pak."
"Mbak, pakai ukuran dia," kata Nathan pada si pelayan.
Sebelum pelayan bertanya, Siena menjawab dengan bersemangat. "Tigapuluh delapan."
Si pelayan terkejut sejenak mendengar seruannya. Kemudian, ia tersenyum dan berkata, "Silakan duduk dulu, saya akan ambilkan sepatunya."
Siena menuju kursi dengan senandung riang yang sangat pelan. Si pelayan membawakan sepatu ukuran kakinya.
"Maaf, ya, Mbak," kata si pelayan, berjongkok lalu memasangkan sepatu itu.
Sangat pas dan cantik di kakinya. Siena memperhatikan sepatunya sambil tersenyum. Ia mendongak, ingin mengucapkan rasa terima kasihnya.
"Bungkus sepatunya, Mbak," perintah Nathan.
Si pelayan mengarahkannya ke arah kasir pada Nathan. Siena memperhatikan pria itu sambil mengikutinya.
Tadinya, ia akan mengucapkan terima kasih berkali-kali pada bosnya itu, dan mengubah pandangan buruk terhadapnya. Akan tetapi....
Wajah Siena cemberut selama di dalam mobil. Pria itu benar-benar mengesalkan. Dikira sepatu itu untuknya, tapi malah untuk Renata!
Siena melirik dengan mata menyipit, rahang mengeras, dan mulut yang terus menggerutu. Pria ini, seperti inikah caranya mem-PHP-in orang?
"Ayo, kita makan. Kita cari restoran enak karena kau telah bekerja dengan baik," kata Nathan.
Satu lagi, ternyata pria ini pintar juga membujuknya. Mendengar kata makanan, kekesalan Siena berkurang sedikit.
"Aku pikir, gadis lamban sepertimu selalu mengerjakan pekerjaan dengan tidak becus," kata Nathan lagi.
Lamban?! Ucapannya membuat kemarahan Siena bertambah berkali-kali lipat. Pria ini memiliki kebiasaan meledek orang sejak lahir sepertinya.
Nathan melirik dan mengernyit. "Kenapa wajahmu seperti itu? Kau kesal padaku?"
Siena menoleh. Kedua tangan yang tadinya terlipat di dada dilepaskan. "Ya! Saya sangaaaaaat k-e-s-a-l" sahutnya geram tertahan. "Tapi ... bukan pada Anda. Tenang saja."
"Oh, bagus itu. Tapi seharusnya kau lebih profesional. Jangan mencampur adukan masalah pribadi dengan pekerjaan," sahut Nathan.
Siena memutar bola matanya. Masa bodo! Terserah pria itu bilang apa. Ia sudah muak melihat wajahnya. Lantas, dipalingkan wajahnya ke jendela mobil.
-;-;-;-
Pada sore hari, biasanya Nathan pulang ke rumahnya yang terletak di pinggir kota yang udaranya cukup sejuk.
Rumah itu begitu megah, tapi asri karena terdapat banyak tanaman dan taman bunga di halaman belakang.
Seorang pelayan menghampiri, akan mengambil tas kerja dan sebuah bawaan lain yang ada di tangan kanannya.
"Tuan, Tuan dan nyonya besar berkunjung," lapor si pelayan setengah baya itu.
"Hmm ... Di mana mereka sekarang?"
"Di teras taman belakang, Tuan."
Yang tadinya ingin ke kamar untuk berganti pakaian, Nathan langsung menemui orangtuanya dulu.
Ibunya, Elina, sedang melihat-lihat bunga mawar merah yang mekar sehabis disiramnya. Sementara suaminya, Matthew, duduk memperhatikannya sambil menyeruput secangkir teh hangat.
"Pa, Ma," panggil Nathan sambil menghampiri papanya.
Elina mengalihkan perhatiannya pada anak semata wayangnya itu sambil tersenyum, perlahan menghampirinya.
Nathan meraih tangan ibunya yang telah berkeriput, lalu meletakkannya di atas tangannya. Ia membimbingnya sampai ke kursi kosong di samping papanya duduk.
"Pa, Ma. Kalau kangen sama aku, biar aku saja yang ke rumah Papa dan Mama," kata Nathan, setelah Elina duduk.
"Apa kau tidak memperbolehkan kami mengunjungimu?" timpal Matthew.
"Bukan gitu, Pa. Aku sangat senang Papa dan Mama ke sini. Tapi rumahku ini cukup jauh."
"Kalau jauh kenapa?" tanya Elina, tersenyum. "Kalau orangtua sudah melihat anaknya, mau dalam keadaan lelah sekalipun, tetap akan senang."
Nathan tahu mamanya ini cukup keras kepala jika ingin bertemu dengannya. Bukannya apa-apa, ia hanya mengkhawatirkan kesehatan mamanya. Beberapa tahun belakangan ini, Elina sering sakit-sakitan.
"Bagaimana hubunganmu dengan Renata? Apa kau sudah memberikan sebuah hadiah untuknya?" tanya Elina tiba-tiba. Sinar rasa penasaran terpancar di matanya.
Lalu, Matthew ikut-ikutan memberondongnya dengan sebuah saran, "Sebaiknya, sering-sering kau hubungi dia."
"Aku tidak sempat, Pa," sahut Nathan. "Tapi aku sudah membelikannya sepatu, atas saran dari sekertarisku."
"Oh, ya!" seru Elina, wajahnya langsung cerah. "Lalu, kapan hadiah itu akan kau berikan?"
"Malam ini. Aku akan mengajaknya makan malam."
Wajah kedua orangtuanya langsung cerah mendengarnya.
Nathan beranjak ke kamarnya, lalu mengirim pesan pada Renata sebelum mandi.
Nathan: Ada waktu? Aku mau mengajakmu makan malam.
Renata: Em ... oke.
Ponselnya dilemparkan ke atas ranjang. Diambilnya handuk, lalu berjalan ke kamar mandi. Dalam waktu setengah jam, ia sudah rapi dengan memakai tuxedo warna krem.
Ia sudah bersiap menjemput Renata ke rumahnya. Jangan lupa membawa hadiah yang akan diberikan pada gadis itu.
Pada malam rabu itu, jalanan cukup ramai oleh kendaraan. Dengan ketepatan waktu yang telah diperkirakan olehnya, ia sampai di rumah gadis itu tanpa terlambat barang sedetik pun.
Kedatangan Nathan telah diberitahukan oleh Renata sebelumnya. Makanya, ia disambut oleh orangtua Renata, sebelum gadis itu keluar dari kamarnya.
Sama halnya dengan orangtuanya, orangtua Renata sangat senang atas kedatangannya, yang menandakan peningkatan hubungan perjodohan ini.
Pak Helmi merangkul Nathan sambil membimbingnya ke ruang tamu. "Bagaimana kabar orangtuamu?"
"Baik, Om. Sekarang, papa dan mama lagi ada di rumah," jawab Nathan.
"Nak Nathan, mau minum apa sembari nunggu Renata?" tanya ibunya Renata yang bernama Tamara.
Kebetulan, ia merasakan tenggorokannya kering. Namun, saat tak sengaja melihat Renata sedang menuruni tangga, ia menolaknya.
Nathan beranjak dari kursi. "Nggak usah, Tante. Kami langsung pergi saja."
Pasangan setengah baya itu menyadari keberadaan Renata. Gadis itu berdiri di hadapan Nathan, tersenyum cantik dan menawan dengan dress merah hati sepanjang lutut yang menampilkan bahu indahnya.
Nathan memperhatikan penampilan gadis itu dari atas ke bawah. Namun, saat melihat ke arah sepatu yang dipakainya, ia tertegun.
-;-;-;-
Siena ke kantor seperti biasanya. Ketika ia akan menuju ke mejanya, dari kejauhan tampak sosok bosnya sedang masuk ke dalam ruangannya.
"Nggak telat," gumamnya, melirik arlojinya. "Rajin sekali sudah datang sepagi ini?"
Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju meja kerjanya. Sesampainya di sana, ia tertegun melihat sebuah paper back, yang tercantum sebuah merk sepatu yang tampak tak asing, diletakkan di mejanya.
"Punya siapa ini?"
Diraihnya paper back itu. Sebenarnya, penasaran pengin lihat isinya, tapi ia tak ingin dianggap lancang karena benda ini bukan miliknya.
Maka, ia biarkan benda itu di sana, sementara ia duduk di kursinya. Tapi ... benda itu menggoda rasa penasarannya, sehingga akhirnya ia mengintip isi paper back itu.
Ia terkejut begitu melihat sepasang sepatu yang sangat diinginkannya ada di dalam paper back itu.
"Ini bukannya sepatu yang dibeli sama si bos? Kok bisa ada di sini?"[]