Bab 4 Virus Halu
Ketika virus halu mengusai, pria itu tiba-tiba memanggil namanya. Siena menoleh, melihat pria itu mendekatkan wajahnya ke arahnya.
Bussh! Pipinya seketika memerah. Ia tak mengelak, menutup matanya kala jarak wajah mereka kurang dari sejengkal.
Jika memang pria ini ingin menciumnya, tak apalah. Siena sudah pernah ciuman, jadi nggak rugi. Syukur-syukur kalau pria itu menyatakan cinta dan mereka pacaran.
"Ah, pacaran sama bos ganteng," batin Siena. "Biarin deh mulutnya sadis, nanti sikapnya berubah juga."
Namun....
"Hei, Siena!"
Seina tersentak oleh suara seruan itu. Ia menghela napas. Lagi-lagi halu! Sepertinya, ia mulai berpikir untuk berhenti nonton drama kalau begini terus.
"Kau kenapa? Habis kesurupan? Senyum-senyum nggak jelas!" cibir Nathan.
Siena mendengus. Oh, ya ampun. Apa pria ini tidak mengoceh yang membuat telinganya sakit.
"Nggak, Pak. Saya cuma ingat hal yang lucu aja," sahut Siena, lama-lama suaranya memelan. Sumpah, konyol sekali alasannya tadi!
"Hal lucu? Maksudnya, kamu menertawakan saya, gitu?" tuding Nathan.
Siena terhenyak. Apa lagi ini? Selain menyebalkan, bosnya itu juga sensitif?
"Bukan gitu, Pak," sanggahnya, menahan kesal.
"Ya habis kamu melihatnya ke arah saya tadi. Dan nada bicara kamu itu, kamu sebel sama saya?"
Seandainya, seandainya, seandainyaaaaa! Siena akan berkata: "S-A-N-G-A-T B-E-N-C-I! Sampai tujuh turunan!"
"Itu hanya perasaan Bapak saja kali." Siena terpaksa tergelak.
"Saya tahu, kamu pasti benci sama saya, sama seperti karyawan yang lainnya."
Siena tersenyum mencemooh, memalingkan wajah sambil bergumam sangat pelan, "Oh, merasa ya?"
Kali ini, Nathan tak mendengarnya. Ia hanya melirik heran dan kembali fokus pada jalanan. Lagipula, apalagi yang mau dikatakan? Kecuali, jika tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Siena," serunya mengagetkan Siena. "Besok siang, kau temani aku."
-;-;-;-
"Pergi?" seru Gwen.
Siena melempar sebuah blues di ranjang. Di telinganya tertempel ponsel.
"Iya," jawabnya kemudian.
"Ke mana?" tanya Gwen di ujung sana, penasaran.
"Entahlah." Tanpa sadar, Siena menaikkan kedua bahunya.
Gelak Gwen menyinggung Siena, apalagi saat ia berseloroh sembarangan, "Mau ngajak kencan kali."
"Ngaco lo!" tukas Siena cepat. "Kalaupun iya, gue ogah! Yang ada di sepanjang jalan gue kena semprot mulu sama dia."
"Masa? Gue rasa, dia mana mau bikin orang yang disukainya malu."
Siena mendecak. "Cinta nggak akan mengubah sifat dasar manusia."
"Oooh! Makjleb! Quote lo tembus ke jantung gue."
"Lebay bin alay banget sih lo!" Siena berseru, duduk di atas ranjang.
Dilihatnya blues dan celana jins putih yang telah dipilihnya dari dalam lemari kayu jati usangnya. Kemudian, direntangkan ke hadapannya sembari berpikir.
"Bagus nggak, ya?" gumamnya.
"Apanya yang bagus?" Gwen malah menyahut.
"Blous merah lengan tiga perempat sama celan jins putih."
Gwen heran dengan Siena. Dia punya sahabat yang merupakan pemilik butik dan juga desainer. Kalau butuh baju, tinggal minta. Dibuatkan baju Gwen juga tidak segan. Tapi Siena enggan melakukannya.
"Tadi harusnya, lo mampir ke butik. Paling nggak, telepon gue," ujarnya setelah mendecakkan lidah. "Gue bakal bawain baju buat lo."
Dan sama seperti sebelumnya, Siena akan menjawab, "Nggak usah. Gue kan udah minta baju sama lo kemarin."
"Mau lo minta berapa pun, gue tetap kasih," sahut Gwen, gemas. "Sebentar, gue bakal ke rumah lo, bawa dua baju kerja yang keren buat lo. Kebetulan, gue masih di butik. Tunggu, ya? Oh, iya! Jangan lupa bawa camilan!"
"Tapi, Gwen...."
Teleponnya sudah dimatikan oleh wanita itu. Pasti, Gwen sudah bosan mendengar penolakannya. Siena menghela napas panjang sambil menatap ponselnya, lalu diletakkan di atas nakas.
-;-;-;-
Jika ia punya uang, ia akan merekrut Gwen sebagai penata busananya. Hari ini, Siena terlihat cantik dengan setelan jumpsuit biru dongker, dipadukan dengan blazer berwarna senada—tampilan sempurna untuk rapat di kantor siang ini.
Waktu rapat tiba, bosnya keluar dari ruangan tepat waktu. Begitu mendengar suara pintu dibuka, spontan Siena berdiri sembari tersenyum, mendekap dua berkas di dadanya.
Nathan menaikkan alis sebelah, heran. "Kamu ngapain bawa berkas?"
Siena melongo. "Sekarang waktunya rapat, Pak."
Ia tambah tak mengerti melihat ekspresi bingung pria itu. Kemudian, dia berkata sambil lalu:
"Batalkan!"
"Hah?" Siena buru-buru meletakkan berkas di meja, meraih tas dan ponsel, dan bergegas menghampiri Nathan yang jalannya cepat.
"Pak, nggak bisa gitu dong? Kan saya sudah atur jadwalnya," cecar Siena memprotes.
Nathan berhenti, menoleh ke hadapan Siena yang sedang mengatur napas. "Apa kau lupa? Saya sudah bilang kemarin, kau harus ikut denganku."
Pria itu pergi lagi, dan Siena mengadang. "Ke mana?"
"Ke jurang!" sahut Nathan ketus, memajukan wajahnya sedikit. Lalu, dengan gerakan cepat, Nathan meraih dan menari tangan Siena.
Siena tercengang. Pandangan semua orang mengarah padanya, ketika mereka melewati lorong kantor ini. Dalam sekejab, beberapa orang mulai berbisik dan bergosip.
Siena menyadari itu. Makanya, ia berhenti dan menghela tangan Nathan. Hanya saja, pria itu kembali menggenggam tangannya dan membawanya sampai ke tempat parkir.
Ya sudah, Siena pasrah saja sama kemauan bos anehnya ini. Meski dongkol, Siena duduk manis di dalam mobil, menutup rapat mulutnya, enggan menatap wajah tampan si bos congor bebek.
Mau dibawa ke manapun, terserah! Siena tidak akan bertanya. Namun, ketika mobil ini tiba di depan sebuah mal, pikirannya menggelitik.
Mulut mengkhianati niat. Akhirnya, ia bertanya pada Nathan, "Kenapa Bapak mengajak saya ke sini?"
Entah karena sibuk dengan pikiran sendiri, pria itu tidak langsung menjawab. Malah, dia bertanya:
"Menurutmu, wanita sukanya dikasih apa?"
Astaga! Jangan bilang, dia mau jadikan Siena sebagai penasihat percintaannya? Bos, apa Anda tidak lihat bibir Siena tambah manyun?
"Mana saya tahu, Pak."
"Kan kamu wanita."
"Wanita itu isi pikirannya beda, Paaaak!" sahut Siena mulai geram.
"Oke. Tapi yang umumnya apa?"
Oh ya, Tuhan! Siena melamar kerja di perusahaan ternama, kuliah dengan nilai bagus, tapi pekerjaan yang harus dilakukan adalah mencari hadiah untuk seorang wanita?
"Oke, saya kasih tahu." Tiba-tiba, pikiran jailnya muncul. "Tapi ... ehem! Ada tambahannya nggak?"
"Ada. Makan siang sama saya!"
Tubuh Siena melemas sambil mendengus. Lalu, ia berbalik sembari menggertak. "Kalau begitu, saya balik ya, Pak. Bye...."
"Oke, oke!" Buru-buru Nathan menahannya. "Kau mau apa?"
Yes! Lanjut terus! Ternyata bos congor bebek ini mudah sekali ditipu. Siena menyeringai, melipat dadanya sambil berpura-pura berpikir.
"Em ... mungkin suatu hal yang berharga dan dibutuhkan oleh semua wanita." Siena menaikkan kedua alisnya.
Yang diinginkan wanita? Nathan saja tidak punya pengalaman soal wanita. Belajar dan bekerja adalah waktu yang dihabiskan seumur hidupnya.
Tapi ia memiliki jawaban standar yang diketahui dari sepupunya. "Bunga?"
Siena mendecak. Hari gini dikasih bunga? Halooo! Mana mau cewek makan bunga? Cuma cewek lugu dan bucin aja yang suka bunga. Tapi ... tunggu dulu!
"Memangnya, perempuan seperti apa yang Bapak suka?" selidiknya sambil menaiki eskalator.
Namun, pria itu buru-buru menyanggahnya ketika Siena menyebut "perempuan disuka". "Bukan! Tapi perempuan yang dijodohkan buatku."
Oh, Renata? Siena mengangguk. "Dia perempuan cantik dan glamor. Cocok buat Bapak—"
"Siapa yang menyuruhmu berkomentar?" sergah Nathan.
Ah, salah lagi! Siena jadi bad mood. Dipalingkan wajahnya ketika mereka menyusuri toko-toko yang ada di lantai 2, walaupun banyak hal-hal menarik yang dipajang di etalase.
"Biarin aja, aku nggak mau bantuin dia!" gumam Siena di dalam hati.
Akan tetapi, ia berhenti disebuah toko sepatu. Ia terpana pada sebuah sepatu model terbaru Ruffle platform loafers berwarna putih. Sayangnya, gajinya belum turun.
Nathan menyadari bahwa Siena tidak lagi mengikutinya. Dicarinya gadis itu, hingga pandangannya menemukan Siena di depan toko sepatu.
"Yang diinginkan wanita?" batinnya. "Apa ini yang dimaksud?"
Puas hanya melihat sepatu itu, Siena menoleh, akan kembali menghampiri bosnya. Namun, Nathan malah menghampirinya, meraih tangannya dan menariknya masuk ke dalam toko sepatu.
Lagi, pria itu mengenggam tangannya. Perasaan aneh ini menggelitik hatinya. Apa karena virus halu lagi?[]