Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Ciuman tidak langsung

Gibran dan Gwen terkejut saat Siena meletakkan tasnya dan duduk di kursi yang ada di antara mereka.

Mereka menoleh, melihat wajah cemberut gadis itu. Lalu, Gwen meledeknya:

"Apaan nih? Biasanya hari pertama itu wajah kita berseri, kelihatan semangat. Lah, ini kusut kayak rambut nggak disisir seminggu."

"Bukan! Nggak disisir selama setahun!" sembur Siena dongkol. "Gimana nggak kesel coba? Punya bos yang kayak ... iiihh!"

"Maksud lo?" tanya Gwen, alisnya naik sebelah. "Bos lo jelek, botak, bau, atau ... genit?"

Waktunya curhat! Siena mengubah posisi duduknya dan menggeser kursinya ke dekat Gwen. "Kalau lo lihat pertama kali, tanpa sadar lo bakal ngomong 'saranghae'. Tapi, pas lo tahu gimana sifatnya, gue yakin di dalam hati lo pengin injak-injak dia."

"Sampai segitunya?" timpal Gibran, menggelengkan kepala. "Gue khawatir, nanti rasa benci lo berubah jadi cinta lho."

"Idiiiih!" seru Siena, mengetuk-ketuk kepala lalu mengetuk meja beberapa kali. "Amit-amit cabang baby! Meskipun dia cowok terakhir di bumi, gue nggak bakal mau nikah sama dia!"

Suara petir menyahuti sumpah Siena, membuat ketiga orang itu terkejut, lalu spontan melihat keluar kafe.

"Waduh, doa lo didengar tuh, Si," celetuk Gibran, terkekeh.

"Semprul!" tegur Gwen. "Sekarang, 'kan emang musim hujan. Wajar kali kalau ada petir. Sebentar lagi pasti hujan."

Prediksi Gwen tepat. Tak lama kemudian, rintik air turun dari langit, membasahi tanah Jakarta. Gibran memandang takjub padanya, lalu memuji:

"Wah, Gwen. Lo lebih cocok jadi peramal daripada designer."

Gwen yang merasa itu sebuah ejekan, menepuk pundak Gibran dengan keras. "Sembarangan! Gue lihat di Google tahu!"

Namun hujan yang membawa berkah ini, dianggap kesialan Siena selanjutnya. Pasalnya, ia tak membawa payung.

"Eh, udah selesai jam makan siang nih!" seru Gwen sambil melirik arlojinya. "Balik yuk, gaes!"

"Yuk!" Gibran beranjak dari kursi sambil memakai tasnya. "Sisi, bareng kita yuk!"

"Gue belum makan nih," keluh Siena.

"Ya udah, pesan sana! Makan di jalan aja," saran Gwen.

Setengah berlari Siena ke meja pemesanan. Seperti keinginannya, Chicken Sandwich yang dipesannya. Setelah pesanannya selesai, teleponnya berdering.

"Huft! Si congor bebek! Ngapain sih nelepon?" Siena menggerutu, tapi akhirnya dijawabnya juga telepon itu.

"Iya, Pak."

"Kau di mana?"

Untuk apa dia bertanya? Jawab tidak ya? Siena membatin.

"Di O Resto. Kenapa, Pak?"

"Tunggu saya di sana."

Sudah, begitu saja. Habis itu, sambungan terputus.

"Hah? Halo. Halo, Pak!" Siena tercengang sambil menatap ponselnya. "Main dimatiin aja! Dasar bos aneh!" katanya sambil memasukkan ponselnya ke tas.

Pria itu menggerecoki harinya lagi. Padahal, kesempatan nebeng sambil ngobrol sama sahabat cuma sekarang. Dihampirinya kedua temannya itu dengan badan lemas.

"Lo berdua pulang duluan aja," kata Siena sesampainya di tempat kedua sahabatnya menungguinya.

"Kenapa?" tanya Gwen heran.

Lalu, Gibran menimpali, "Nanti lo pulang sama siapa?"

Siena mendekati wajahnya pada mereka berdua, lalu berkata agak berbisik, "My bos!"

"Ooohh." Gibran dan Gwen menimpali berbarengan sembari mengangguk.

"Terus, kenapa pakai berbisik segala?" tanya Gibran, terdengar mengejek.

"Suka-suka gue dong!" Siena berusaha menepuk lengan Gibran, tapi cowok itu berhasil mengelak.

"Eh, udah! Yuk, balik, Gib," seru Gwen.

"Gib? Emang nama gue gibah?"

"Berisik! Nggak penting banget sih topik yang lo bahas!"

Gwen meraih telinga cowok itu. Entah kenapa, kalau Gwen melakukan hal yang barbar terhadap Gibran, pasti cowok itu tidak menghindar.

Siena terkekeh melihat Gwen menjewer telinga sambil menyeret Gibran pergi. Dan di saat seperti itu, Gibran masih sempat-sempatnya melambaikan tangan padanya sambil mengucapkan "see you, Sisi!"

Siena menghela napas. Kedua temannya telah berlalu, sementara hujan semakin lebat. Ia bersidekap, udara dingin menghembus.

"Mana sih, bos congor bebek? Nggak tahu apa, kalau gue kedinginan?" keluhnya, menggosok-gosokkan telapak tangannya.

Dua puluh menit berlalu, Siena memilih masuk ke dalam restoran. Namun, baru akan melangkah masuk, terdengar suara seruan.

Siena menoleh pada seorang pria yang berteduh di bawah payung kuning, menghampirinya perlahan seperti adegan yang ada di drama Korea.

Ia menghampiri, menatap dengan jelas wajah tampan itu, dan ikut berteduh di bawah payung.

"Ayo, pergi," kata Nathan.

Namun, suasana romantis yang hanya terbayangkan di dalam pikiran Siena sirna. Pria itu pergi begitu saja meninggalkannya, tak berpikir bahwa gadis itu kehujanan mengikutinya sampai ke mobil.

Yang lebih mengesalkan, Nathan malah bertanya heran, "Kok, kamu basah? Keluar sana! Mobilku bisa basah."

Rahang Siena mengeras. "Bapaaaak. Saya nggak bawa payung," katanya dengan geram tertahan. "Dan Bapak malah ninggalin saya."

Entah mengerti atau tidak, Nathan hanya menatapnya beberapa saat, lalu menghidupkan mesin mobil.

Perjalanan yang membosankan dan bikin canggung, Siena saja sampai bingung mau melakukan apa.

Kruyuk.

Siena sontak memegang perutnya. Ia lupa belum makan siang. Memalukan sekali! Mana Nathan melirik ke arahnya.

"Kau lapar?" tanya Nathan datar.

"Ya, gara-gara lo, gue belum sempat makan Chicken sandwich gue!" gumam Siena dalam hati.

"Kenapa belum makan?" kata Nathan lagi, karena Siena tidak menjawabnya. "Kau bisa sakit. Kalau kau sakit, saya yang repot. Saya butuh sekretaris yang sehat, supaya pekerjaan saya lancar."

Egois banget! Siena merapatkan matanya. Dia lebih memikirkan pekerjaannya daripada dirinya? Emang dikira manusia apa? Kelapa parut yang hanya diambil santannya, lalu dibuang ketika sudah menjadi ampas?

"Saya cukup kuat buat bekerja, sekalipun saya tidak makan seharian," sahut Siena, sedikit ketus. "Lagipula, saya sudah membeli makanan, tapi belum sempat dimakan karena Bapak menelepon saya tadi."

"Oh, bagus kalau begitu. Makan saja sekarang," kata Nathan.

Sedikit terkejut, tapi mengherankan. Dikira rasa manusiawi bosnya itu sudah tidak ada. Maka tanpa ragu, Siena mengeluarkan Chicken Sandwich-nya dari bungkusan, lalu menyantapnya.

Nathan meliriknya beberapa kali ketika menyetir. Awalnya, Siena tak menyadarinya, tapi tanpa sengaja, Nathan terciduk sedang melakukan itu.

Siena tertunduk, sesekali melirik sambil terus mengunyah. Di dalam hati, ia bergumam: "Ngapain sih dia melihat ke arah gue terus? Apa sifat anehnya kumat lagi?"

"Hei, Siena!"

Ia langsung menoleh. "Ya, Pak?"

"Suapi saya itu," kata Nathan, melirik pada sesuatu.

Siena melihat ke arah lirikan Nathan, yang mengarah ke dadanya. Wajahnya berubah merah padam.

"Kurang ajar betul pria itu!" umpatnya dalam hati.

"Eh, dengar kata saya tidak?" sergah Nathan hingga Siena tersentak.

"Bapak jangan aneh-aneh deh!" sahut Siena marah, bermaksud menggertak. "Bapak bisa saya laporkan polisi atas kasus pelecehan!"

"Apa? Saya cuma mau kamu suapi saya makanan itu!"

Siena melirik ke arah makanannya, ternganga. Aduh, salah paham! Ia jadi gugup, kalau-kalau bosnya sampai tersinggung atas ucapannya.

Apa dia akan bilang: "Kau dipecat!". Jika iya, matilah dia!

"Ini, Pak," Dengan segan, Siena mengulurkan makanan itu hingga masuk ke dalam mulut Nathan.

"Enak. Besok aku akan pesan makanan itu di sana," komentar Nathan sembari mengunyah.

"Enak sih enak. Tapi ini kan punya saya," gumam Siena, merengut.

"Tadi kau bilang apa?" tanya Nathan, sepertinya mendengar gumaman Siena samar.

Siena langsung mendongak, tersenyum paksa sambil menyodorkan lagi sandwich itu. "Bapak mau lagi?"

"Iya, satu suap ... ah, tidak! Dua suap lagi."

Siena menangis di dalam hati. Perutnya lapar, tapi yang menyantap makanannya malah bosnya. Malang sekali nasibnya!

"Aku tidak sempat makan tadi," kata Nathan, setelah suapan terakhir.

Tidak peduli! Mau makan atau tidak, itu terserah dia. Hati Siena teriris melihat sandwich-nya tinggal sedikit, dan di sana tertinggal bekas gigitan pria itu.

"Malang sekali nasibku," keluhnya di dalam hati. "Ini bisa dimakan atau nggak ya? Kan bekas gigitan si congor bebek. Kalau aku makan, aku ketularan penyakit anehnya tidak? Tapi ... dia makan bekas gigitanku tadi. Kok dia nggak jijik?"

Siena melirik Nathan. Sekejab kemudian, keterpanaannya muncul karena melihat keseriusan Nathan ketika sedang menyetir. Pria itu terlihat ... lebih tampan.

"Ah, apaan sih!" Gusar Siena di dalam hati sambil menepuk pipinya agar sadar dari halusinasinya. "Tapi ngomong-ngomong. Kalau si bos makan bekas gigitan gue, berarti secara nggak langsung kita...."

Siena mendelik, sontak menoleh pada Nathan sambil memegang bibirnya. Sebuah teori ngaco yang terpikirkan akibat kebanyakan nonton drama.

Ciuman.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel