Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Bos congor bebek

Kilas balik berputar di otaknya. Pria yang ada di hadapannya, yang ditabrak tadi, yang ia cibir tadi, bahkan yang ia sumpahi bakal jomblo seumur itu adalah bosnya?

Siena memalingkan wajah sambil bergumam dalam hati, "Gawat! Dia ingat aku nggak, ya?"

"Hei!" bentak pria itu. "Sedang apa kau? Masuk!"

"E...eh iya, Pak!" sahut Siena gugup.

Pria itu kembali masuk ke dalam ruangannya, yang diikuti oleh Seina sembari mengoceh.

"Kalau saya panggil, seharusnya langsung masuk? Kau pikir saya merekrut orang untuk bermalas-malasan? Saya butuh orang yang sigap. Kalau kau seperti itu, saya tidak yakin kalau apa kau bisa bertahan jadi sekretaris saya."

Menyebalkan! Pagi-pagi sudah bikin telinga panas, hati dongkol, dan rasanya pengin nonjok muka orang.

Namun, demi pekerjaan, Siena menahan semua ucapan pria yang mulutnya seperti congor bebek itu.

"Maaf, Pak," gumam Siena, seolah menyesal.

"Dan saya dengar," kata bosnya sambil membaca berkas, "kau terlambat."

Cih! Tahu juga bos congor bebek ini! "Maaf juga soal itu, Pak."

"Ini hari pertama lho? Bisa-bisanya terlambat! Kau tahu tidak? Di luar sana masih banyak karyawan yang lebih kompeten darimu." Dan pria itu kemudian bergumam, yang membuat Siena mengepalkan tangannya. "Heran, kok bisa orang kayak gini dipilih jadi sekretaris saya?"

Jika Siena mau, dia akan mencak-mencak seperti ini: "Heh, congor bebek! Dikira gue mau kerja sama situ? Kalau gue nggak butuh duit, dengan senang hati gue keluar dari kantor ini sekarang juga!"

Di saat seperti itu, Siena menatapnya tajam sambil menggerakkan tangan seolah ingin memukul pria menyebalkan itu.

Entah mungkin menyadarinya, pria itu mendongak menatap Siena. Dengan sigap, Siena menegak. Hampir saja. Batin Siena.

"Kau sedang apa?" tanya pria itu.

Siena terdiam sambil berpikir. "Em ... saya boleh kembali ke meja kerja saya?"

Pria itu menghela napas. "Kau ini kurang sigap, ya? Seharusnya, kau tanya: 'apa ada tugas buat saya, Pak?' Begitu!"

Bibir Siena digerakkan seperti berkata dengan sangat pelan. "Salah lagi, salah lagi. Suka banget salahin orang."

"Apa katamu?" Tiba-tiba pria itu menyahut tanpa menatapnya.

Siena terkesiap. "Eh, enggak. I... iya, Pak! Apa ada yang harus saya kerjakan?"

"Atur jadwal saya hari ini. Dan, periksa file yang nanti saya kirimkan ke surel kamu."

"Siap, Pak," sahut Siena sambil menunduk sedikit. "Saya permisi."

Siena menutup pintunya perlahan. Di balik pintu, ia menumpahkan rasa kesalnya. Tangannya terkepal, gemas.

"Kok bisa gue dapat bos kayak gitu?" Ia berjalan ke arah meja kerjanya, lalu duduk di kursi. "Ganteng sih, tapi nyebelin. Mentang-mentang bos, sukanya mengkritik dan menyalahkan orang."

Jemarinya menekan tombol yang ada di mouse. File yang dikirim oleh bosnya sudah masuk. Diperiksanya file itu. Namun, otaknya kembali memikirkan sikap bosnya.

Ia menghela napas sambil bersandar di punggung kursi. "Pantas! Sekretaris yang dulu pasti resign karena stress sama kelakuan tuh orang!"

Suka tidak suka, Siena harus bekerja dengan orang itu. Di dalam hati, ia bertekad untuk terus bertahan, asal jangan sampai stress.

"Nikmati saja hidup ini," gumamnya sambil mengetik di papan keyboard komputer.

Ting! Notifikasi pesan masuk, membuatnya mengalihkan perhatiannya untuk sementara.

Diraihnya ponsel itu, membaca sebuah pesan dari Gwen, yang ingin mengajaknya makan siang di O Cafe.

Ofcourse! Chicken sandwich, makanan yang sangat dibutuhkan untuk menaikkan mood booster. Ditambah lagi, pertemuan dengan kedua sahabatnya. Bete langsung hilang karena ia akan curhat seenak jidatnya.

Ibu jarinya akan menekan tombol "kirim", setelah mengetik pesan balasan pada Gwen. Namun, pesan itu terlupakan oleh dering telepon di mejanya. Lantas, diangkatnya telepon itu.

"Halo?"

"Siena."

Ia mendelik. Suara si bos! Lalu, ia melirik pada pria itu, yang terlihat dari jendela besar di samping pintu ruangannya.

Ck! "Ada apa, Pak?" tanya Siena.

"Berkas yang saya suruh buat sudah selesai?"

"Sudah, Pak." Dengan cepat, Siena menjawab.

"Bagus. Siang ini, kita akan bertemu dengan investor di restoran Risoto."

Jadwal rapat? Cepat-cepat Siena meraih tablet, memeriksa catatan yang telah disusunnya. Benar! Jadwal itu memang siang ini!

Tubuhnya melemas. Yah! Padahal, air liurnya meleleh membayangkan makanan kesukaannya akan disantap siang ini. Apa daya, ia harus makan siang dengan menu lain bersama dengan pria itu.

"Baik, Pak," katanya dengan suara pelan. "Saya akan siapkan semua keperluan rapat."

"Bagus."

Siena menghela napas. Setelah menutup teleponnya, pesan yang tadi dihapus. Ia kembali menggetikkan kata baru, lalu dikirimnya.

Semantara itu, Gwen dan Gibran sedang berada di jalan dengan mengendarai mobil Gwen.

Gadis itu menghela napas, kecewa, begitu membaca pesan dari Siena.

"Sisi balas apaan, Gwen?" tanya Gibran.

"Dia ada rapat sama bosnya," jawab Gwen sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku blezer-nya.

Gibran juga sama kecewanya. Sambil bersandar di jok mobil, ia berseru, "Kalau nggak ada Sisi nggak seru nih!"

"Jadi, kita putar balik?"

"Nggak usahlah. Kita tetap makan di sana."

-;-;-;-

Siena menatap punggung tegap pria itu ketika sedang berjalan. Begitu sempurna; kekar, dan sensual.

Karena hanyut dalam pesonanya, Siena sampai menabrak pria itu.

"Aduh...."

Pria itu menoleh perlahan. Siena mendelik, wajah dingin bosnya terlihat menyeramkan. Apa kali ini dia mau memarahinya lagi?

"Kenapa kau menabrak saya?"

"Harusnya, saya yang tanya. Kenapa Bapak berhenti tiba-tiba?"

"Apa?" dengus pria itu. "Kau sendiri yang tidak jaga jarak, jalan sampai menabrak saya."

Kemudian, mata tajamnya menyipit, mulai menduga-duga. "Apa yang sedang kau lamunkan, hah?"

Siena bukan main terkejutnya. Kok pria itu bisa tahu? Apa dia paranormal? Atau mungkin, dia punya spion di kedua bahunya?

"Eng ... nggak, Pak,"dalih Siena. "Oh iya, Pak! Pak Jason pasti sudah menunggu kita. Bapak nggak mau, 'kan reputasinya ambruk di depan pak Jason?"

Pria itu perlahan berbalik, berkacak pinggang, dan entah mengapa memajukan wajah ke hadapan Siena.

Tentu saja, Siena spontan menjauhkan wajahnya. Namun, jantung sialannya berdetak tak keruan begini. Semoga saja, pipinya yang memerah tak disadari oleh pria itu.

"Kau ini siapa, beraninya memerintahkan saya?" katanya sinis.

"Bu ... bukan perintah, ta ... tapi saran, Pak. Maaf, kalau Bapak berpikir seperti itu. Saya tidak ada maksud. Tapi, bukannya seorang sekretaris boleh menyampaikan sarannya, 'kan?"

Pria itu tampak sedang berpikir sejenak sembari melirik. Lantas, pelan-pelan kembali menegak, dan tanpa mengatakan apa pun, dia melangkah pergi.

Siena menghela napas lega sambil mengelus dadanya. Hal mendebarkan tadi sudah reda. Sekarang, ia kembali mengikuti pria itu.

Mereka sampai di restoran itu. Dasar pria aneh, tiba-tiba main berhenti saja, hampir saja Siena menabrak punggung indah itu.

Pria itu menatap sekeliling. Dan ketika pandangannya mengarah pada suatu tempat, langkah kakinya kembali diayunkan.

Di meja itu, terdapat seorang sepasang suami-istri yang dikenal pria itu sebagai orangtuanya. Namun, wanita cantik bergaun merah yang duduk di samping ibunya, sangatlah asing baginya.

"Nathan," panggil sang ayah, menyuruhnya duduk di sampingnya.

"Mana Pak Jason? Saya ada rapat dengannya," ujar Nathan.

Siena kembali mencibir di dalam hati: "Oh, makan siangnya berantakan hanya untuk melihat pertemuan keluarganya? Heh! Dan wanita itu. Bisa ditebak. Pasti di calon istrinya."

Benar sekali! Orangtua bosnya mengatur pertemuan perjodohan bosnya.

"Nathan, soal tuan Jason, kau tidak perlu khawatir. Tuan Jason bersedia bekerja sama dengan perusahaan kita," jawab papanya Nathan. "Nah, Nak. Kenalkan, dia anaknya om Billy. Kau tahu, 'kan? Namanya Renata."[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel