Bab 11 Pangeran (menyebalkan) pujaan hati
Apa Pria ini punya fetish yang aneh, menyuruhnya mengganti bajunya?
HEH! KAU ITU SEORANG PRIA!
"Cepat buka bajuku!" Nathan mengulang perintah.
"Se ... sekarang, Pak?" tanya Seina, pipinya tambah merah.
"Ya, sekarang lah," decak Nathan.
Perlahan, Siena mengangkat tangannya mengarah pada jas Nathan, lalu membukanya. Tangannya bergetar saat membuka setiap kancing baju pria itu.
Bukannya berlebihan, tapi memang nyatanya memang begitu.
Dada bidang nan kekar mengintip dari celah kemeja. Siena menelan ludah, semakin tersipu, lalu menoleh sambil terus melepas kancing bajunya.
Siena terpana saat tanpa sengaja melihat pemandangan indah di depannya. Dada kekar dan perut kotak-kotak itu, hampir saja membuat air liurnya menetes.
Oh, astaga!
Klik!
Suara jentikan jari membuat Siena tersentak. Ia tersadar dalam lamunan mesum. Lantas, ia tercengang, menatap Nathan yang keheranan.
"Kenapa kau melamun, hah?" tanyanya.
Siena tercengang. Kenapa ia ada di sini? Oh, ya Tuhan! Pasti pengaruh novel dan komik yang dibacanya menguasai pikiran lagi.
"Ma ... maaf, Pak. Saya tadi—"
"Sudahlah." Nathan mengibaskan tangannya. "Cepat, ikut aku!"
Siena mengikuti Nathan sambil memonyongkan mulut. Saat ia sampai di ruang ganti, ia tercekat. Khayalannya kembali muncul. Pipinya langsung bersemu merah.
"Pak, saya ikut masuk?" tanyanya ketika Nathan akan membuka pintu ruangan sempit itu.
Nathan menatapnya tanpa ekspresi, lalu mengulurkan tangan ke arah kening Siena.
"Tidak panas, tapi kenapa mengigau seperti itu?" gumamnya kemudian.
Kedua pipi Siena menggembung karena kesal. Dikira ia sedang sakit apa?
"Nih!" Ia meletakkan pakaian yang dibawanya ke tangan Nathan dengan jengkel, kemudian pergi dari sana.
"Mengesalkan!" gerutunya, men-scroll layar ponsel.
Jika sedang senggang, ia senang membaca komik atau novel disebuah platform. Salah satu judul komik bertema bos dengan sekretarisnya sedang update hari ini.
Kisah romantis dan lucu menghiburnya dan membuat khayalannya melayang. Pemeran prianya, seorang bos dingin tapi penyayang seiring berjalannya waktu karena cintanya pada sang sekretaris.
Ia menghela napas, terbawa perasaan sehabis membaca komik. Seandainya, pangeran berkuda besinya datang, dengan memakai tuxedo mahal, dan rupanya yang menawan.
Gerbang halusinasi terbuka, dan Siena masuk ke dalamnya. Sambil memangku dagu, ia menoleh pada pintu ruang ganti yang terbuka.
Sesosok pangeran tampan muncul di hadapannya sambil tersenyum bak bunga yang mekar di pagi hari.
Tanpa sadar, Siena tersenyum. Harapannya melambung, menanti uluran tangan sang pangeran untuk membawanya ke dalam pelukan.
Namun suara jentikan kembali membawanya ke dunia nyata. Pangeran pemilik senyum matahari, berubah jadi pria tampan sedingin es dan super menyebalkan.
"Hei! Kamu kesurupan lagi?" tanya Nathan. "Senyum-senyum sendiri. Apa jangan-jangan kamu terpesona dengan ketampananku?"
Siena menoleh dengan ekspresi jengkel. "PeDe banget sih jadi orang."
"Kamu ngapain lagi kayak gitu? Sedang menjelek-jelekkan saya?"
Siena terhenyak, lalu menoleh secepatnya sambil meringis. "Ih, Bapak. Jangan suudzon gitu. Nanti cepat tumbuh uban lho."
"Mitos darimana itu?" gumam Nathan. "Eh, jadi bagaimana dengan penampilan saya? Cocok tidak?"
Siena memandang pria itu dari sudut kacamata fashion yang diajarkan oleh Gwen, meski hanya dasarnya saja.
Harus ia akui, wajah bule Nathan sangat menarik. Kulit putih, perawakan tinggi dan kekar, seperti model. Tentu saja, pakai baju apa pun terlihat cocok untuknya.
"Bagus, Pak." Siena memaksakan senyum sambil menunjukkan kedua ibu jarinya.
Pasti bagus dong. Pokoknya, apa pun yang Siena pilih, tentu saja bagus dan cocok. Kecuali pasangan.
Nathan tersenyum puas sambil berkata, "Kalau begitu, tunggu saja bonus dari saya." Lantas, ia memanggil seorang pelayan. "Mbak, tolong kamu pilihkan gaun yang bagus buat sekretaris saya."
Gaun? Buat Siena? Oh, sungguh bonus yang luar biasa. Siena sampai bingung harus terkejut atau senang.
Akan tetapi, di balik itu semua ada syarat yang harus dilakukannya. Firasatnya, ia akan pulang terlambat malam ini. Karena....
"Kau harus ikut makan malam denganku," kata Nathan.
"Makan malam sama Bapak?" Lalu, Seina mendecak. "Masa begitu? Bapak kan mau melamar nona Renata."
"Memang," timpal Nathan. "Tapi saya ingin kamu menjadi saksinya."
Bilang saja gugup! Kelakuan bosnya ini membuat Siena menepuk jidatnya.
"Kalau Bapak mau pakai saksi, melamar secara resmi aja," sarannya, gemas. "Undang orangtua Bapak dan nona Renata ke acara makan malam itu."
"Kamu itu diajarkan sama siapa sih? Membantah atasan terus! Sudah, kerjakan saja perintah saya. Nanti, kamu ke rumah saya untuk bersih-bersih dan berganti pakaian. Sekarang, kamu ikuti pelayan itu, carilah gaun yang cocok untukmu."
Nathan menunjuk pada pelayan yang sedang tersenyum ke arah Siena. Ia menghela napas, menuruti perintah itu.
Benar, 'kan firasatnya. Sepertinya, harapannya untuk pulang cepat hanya angan-angannya saja.
-;-;-;-
Renata melangkah masuk ke dalam rumah dengan pikiran kalut. Suara tawa orangtuanya menggema di dalam ruang tamu, yang saat itu tengah menonton televisi.
"Sudah pulang, Sayang?" sapa sang ibu, menoleh pada Renata, saat menyadari keberadaannya.
Renata hanya tersenyum tipis, lalu kembali melangkahkan kakinya menaiki anak tangga pertama.
"Renata," panggil sang papa, membuat langkahnya terhenti. "Kata Elina, kamu mau makan malam dengan Nathan."
Genggaman tangan Renata pada besi pegangan tangga mengerat.
"Iya, Pa," jawabnya pelan sambil menunduk.
Senyum papa dan mamanya terulas lebar. Papa menyuruhnya untuk bersiap-siap untuk makan malam.
Namun, Renata tetap bergeming di tempatnya. Rasa ingin memberontak mengalahkan ketidakberdayaannya yang selama ini mengakar dalam dirinya.
"Aku tidak mau menikah dengan Nathan," gumamnya, perlahan memberanikan diri untuk menantang sang papa.
Kedua alis pria tua itu bertaut. Bara api kemurkaan telah membara, jika kesabaran tidak menghalanginya.
"Kenapa kamu bilang begitu?" tanyanya berusaha sebijaksana mungkin.
"Karena aku mencintai orang lain."
Plak!
Sebelum kata itu habis terucap, papa melayangkan sebuah tamparan ke pipinya dengan mata melotot marah dan napas yang terengah-engah.
Renata hanya terkejut sekejab karena tahu bahwa kemarahan papanya akan meledak. Ia memegangi pipinya yang merah, menunduk dalam sambil terisak pelan.
Mamanya begitu terkejut, menghampiri mereka dan menegur suaminya.
Lantas, apa yang dikatakan oleh suaminya?
"Biar, Ma! Anak tak tahu diri ini harus sadar dengan apa yang dikatakannya. Bukannya aku sudah bilang bertahun-tahun yang lalu: jauhi pria itu! Putuskan dia! Tapi kamu masih saja berhubungan dengannya! Di mana otak kamu, Renata!"
"Aku hanya bahagia dengan cintaku, Pa."
Jawaban Renata menyulutkan api yang semakin membara. Hampir saja, papa akan mengayunkan tangannya lagi ke pipinya, jika mama tidak menghentikannya.
"Sudah, Pa. Sudah!" jerit wanita itu. "Biar, Mama yang bujuk dia."
"Tidak, Ma," tukas Renata. Sepertinya, hatinya telah ditutup agar ucapan lembut yang membuai dari mama tak lagi mempengaruhinya. "Aku tetap pada keputusanku."
"DASAR KAU...."
Bentakan papa tidak dihiraukannya. Renata berjalan menaikki tangga dengan hati rapuhnya tapi ada sepercik rasa lega.
Meski ia tahu bahwa melawan orangtuanya tidaklah pantas, tapi demi mencapai kebahagiaan, ia tidak akan ragu mengambil keputusan ini.
Mama menatap papa dengan cemas, seolah berkata: "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Papa terdiam, mengendalikan kemarahan itu supaya penyakit darah tingginya tidak lagi kumat.
Dengan dibimbing istrinya, ia menghampiri sofa, lalu duduk.
Napasnya terhela panjang dan berat. Setelah itu, ia bergumam, "Sihir apa yang diberikan pria itu, sehingga Renata melawan kita."
"Sudahlah, Pa," kata istrinya. "Papa istirahat saja dulu."
"Tidak bisa! Kalau kita tidak bertindak sekarang, rencana kita akan gagal."
Wanita itu menghela napas. Berbesanan dengan keluarga Jonathan adalah keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan mereka.
Papa memijat batang hidungnya sembari mencari sebuah ide. Dalam waktu singkat, ide itu muncul, bersamaan dengan senyuman.
"Papa tahu apa yang harus kita lakukan."[]