Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Hadirnya Masa Lalu

“Andira hari ini libur. Besok pagi datang kayak biasa, baliknya sore. Pokoknya kalo nggak ada orang, jangan biarkan istrimu melamun sendiri.” Telunjuk Mariah menusuk pelan dada Yudha.

Sebelum bersiap pergi, wanita itu tidak tenang kalau tak meninggalkan nasihat.

“Oke, Ma. Oke.”

“Jangan oke oke aja. Pikirkan baik-baik. Fokus, Yudh. Kondisikan pikiranmu cukup ke istri. Enggak kemana-mana. Mama percaya 100 persen, lho. Karena itu jangan kecewakan mama, lagi!” Saat akan melangkah, tepukkan mantap telapaknya jatuh pada punggung Yudha.

Mereka kemudian beriringan menuju halaman. Nada dan mata Mariah kali ini tampak lebih serius. Menyimpan tanda peringatan keras. Bahkan kata ‘istrimu’ untuk telinga putranya ini sudah berulang diucap. Mencegah kesalahan tak terulang lebih baik, pikirnya.

“Tenang, Ma. Percaya Yudha.” Untuk lebih meyakinkan, Yudha menarik dan mencium punggung tangan mamanya beberapa detik, lantas mengecup pipi wanita yang tampak masih belum puas bicara itu.

“Lagi marah aja Mama cantik. Apalagi kalo senyum.”

“Ngerayu? Mama serius ini!” Mariah memelototi, berpura kesal.

Segera dua jari Yudha segera terangkat, mulutnya mengatup dengan alis menaik. “Yudha akan perlakukan Olivia sebaik mungkin. Janji!”

Mereka sudah sampai di sisi mobil. Perhatian Mariah teralih pada Olivia yang tengah ke sini menemuinya. Melebarkan tangan, ia memeluk sang menantu. Sudah jadi kebiasaan mereka suka peluk, lalu cipika cipiki. Kemudian bicara dalam jarak dekat, dengan mata saling bertatapan mesra.

Ck ck, layak dikasih penghargaan pasangan mertua menantu romantis, dengkus Yudha dalam hati sambil mengusap dahi.

Dengan istri dua kakaknya Mariah tak sebegini akrab.

Mata lelaki bermata belok ini menyipit, mencari apa yang spesial dari Olivia. Bicara panjang saja masih terputus-putus. Wajahnya juga standar. Hidung. Pipi. Bibir ... ah, biasa saja!

Sampai dua orang di depannya saling melepas peluk, otaknya tak menemukan nilai lebih Olivia dibanding Celine.

“Lusa mama ke sini sama Papa.”

“Mama, ha-hati-hati.” Olivia mencium punggung tangan Mariah takzim.

Yudha membukakan pintu mobil untuk mamanya.

“Bye, mama berangkat. Assalamualaikum.”

Dijawab oleh keduanya hampir serempak, mengiringi Mariah masuk mobil.

Sebelum berangkat wanita berbaju batik itu menurunkan kaca, melongok pada Yudha.

“Hem, cokelatnya di dapur kelupaan, tuh.” Mata Mariah mengerling, menggoda.

“Ups! Iya. Nanti diambil.” Yudha mengangkat jempolnya, lantas melirik Olivia.

Setelah mobil yang membawa Mariah berangkat, Yudha meminta Olivia menunggu sebentar, sementara ia ke belakang.

“Ehm, temani aku minum, ya?” Ia cepat kembali membawa dua cangkir di tangan.

Olivia melirik cangkir, lantas mengangguk. Ada senyum kecil tertahan di bibirnya.

“Kita ke bawah pohon itu?” Mata Yudha mengarah pada pohon manggis di halaman villa. Di sana teduh. Enak duduk santai sambil memandangi perkebunan sekitar. Tempat Olivia dan Neng Elis bersantai tadi.

Olivia mengekor lelaki itu. Sesampai di bawah pohon Yudha mengangsurkan satu gelas untuknya, lalu duduk di rerumputan. Olivia mengikuti gerakannya, duduk dengan jarak hampir dua meter. Yudha menggeser agar lebih dekat. Bibirnya tersenyum nakal saat melihat Olivia diam saja.

Hening sejenak.

Yudha menyeruput isi cangkirnya sambil melempar pandang ke kejauhan. Susunan rencana berputar di otak. Waktu terus berjalan, tapi mereka masih tidur terpisah. Olivia sudah lebih tenang, tapi tetap menjaga jarak darinya.

Terpikir akan lebih agresif, walau harus bertengkar dengan egonya.

“Enak, ‘kan?” Ia menoleh penuh. Olivia tampak mengangguk, sambil menatap gelas di tangannya.

Apa mulutnya nggak kaku diam terus?

“Ini cokelat bubuk buatan ibu-ibu di sekitar sini, termasuk istrinya Mang Jajang. Dari kebun cokelat organik. Rasanya beda ‘kan? Kamu suka?”

Capek. Yudha mencuri napas panjang.

Ada dekat orang ini mulutku yang banyak tanya.

“En-nak.”

“Sungguh?” Dua alis Yudha terangkat.

Olivia mengangguk lagi.

Masih posisi menoleh, Yudha tertegun sejenak. Tatapannya terhenti.

Wajah tanpa polesan bedak sedikit pun itu tengah mengarah pada isi cangkirnya. Seakan melihat dalam gerak lambat, manik Yudha tertuju pada bulu lentik. Olivia tengah terpejam, menghirup dalam-dalam aroma di ujung hidung. Lalu, meminum buatannya dengan begitu anggun.

Gerakan yang membuat darah Yudha terhenti sedetik. Tadi ia merasa wanita itu biasa saja, kenapa kini hatinya membiskkan kata lain.

Ish!

Tangannya menepis udara sambil berdecak. Membuat pemilik hidung mungil di sebelahnya sontak menoleh.

“Eh, ehm, ada lalat!” dusta Yudha sembari meringis.

Naas, saat jantungnya berdegup cepat, matanya malah terjatuh pada bibir ukuran ideal yang di tepinya ada sedikit gumpalan cokelat. Gerak refleks ia menjulur tangan, mengusap lembut bibir itu dengan jarinya.

Dulu, ia suka begini pada wanita tercintanya. Sikap sayang dan romantis yang melekat dalam diri tak bisa menahan.

Tertunduk sejenak, Olivia memalingkan muka. Membersihkan sendiri mulutnya. Gerakan kaku sembunyikan pipinya yang yang memanas.

Hening.

Saat dua insan itu merasakan kecanggungan sama sesaat.

“Ini seduhan cokelat pertamaku.” Yudha membuka suara. “Tadi tambah sesendok gula sama susu full cream, kalau kamu mau protes kurang apa, boleh.”

Olivia tersenyum. Basa-basinya berhasil. Canggung pun hilang saat wanita ini mengulang duakali kata ‘enak’.

Yudha mulai mengalihkan pembicaraan lain. Mengikuti pesan Andira dan mamanya. Kalau Olivia memang harus dipancing merasa nyaman. Merasa disayang. Merasa dianggap dengan mengajaknya bicara.

Kata mereka juga, dengan begitu Olivia terpancing berlatih mengungkapkan isi hati, dalam bentuk kalimat. Yudha hanya coba mengikuti saja.

“Olive, kamu suka main musik, ‘kan?”

“Mu-musik?”

“Oh, maksudku biola … kebetulan aku punya. Sayang nggak pernah terpakai lagi.”

“B-benar-kah?” Mata Olivia jadi lebih berbinar.

“Hemm, dulu aku pernah coba memainkan, tapi menyerah sebelum bisa. Sulit. Kalau mau boleh untukmu.”

“I-iya. Ol-live suka.”

“Aku ambil. Ini pegang dulu minumku.” Yudha mengambil tangan kiri Olivia untuk memegangkan cangkirnya. Lalu sedikit berlari ke pelataran Villa.

Olivia memandangi gelas lelaki itu, merasakan hangat di telapak menjalar sampai ke rongga dada.

Selalu ada perasaan lain atas perhatian Yudha, meski ia tahu itu dilakukan hanya karena rasa bersalah. Lelaki itu tidak menginginkannya. Hanya menuruti apa yang ibunya mau.

Pernah ia tak sengaja dengar, Yudha diperintah Mariah untuk berbaik-baik padanya.

Yudha kembali ke sini, lekas Olivia berpura melihat arah lain.

“Ini.” Pria berkaus hitam itu mendudukkan diri lebih dekat dari sebelumnya. Mengambil alih cangkir di kedua tangan Olivia, menukarkan dengan biola warna hitam.

“Coba mainkan. Aku suka suara musik alat ini."

Olivia tersenyum kecil.

Memegang kembali benda ini menghadirkan desir halus di hatinya. Dulu pernah punya, tapi karena suatu hal biolanya rusak.

Sudah berapa tahun tak memainkan, membuatnya sedikit meragu, apa masih bisa? Setelah kejadian waktu itu, kecintaannya pada benda ini sempat terpendam.

Mungkin sekarang saatnya mulai lagi.

Diawali tarikan napas panjang, Olivia mengatur degup jantung. Namun, ada Yudha di dekatnya sedikit sulit ia lakukan.

“Aku nyaris lupa kamu suka musik. Pas Andira bilang musik bisa membantumu baru aku kepikiran tawarin biola ini.”

Olivia terbata mengucapkan terima kasih.

“Semangat sehat, Olive. Kalau nggak, Mama akan nahan kita seumur hidup di sini,” goda Yudha terkekeh kaku.

“Aku antar gelas dulu,” ujar Yudha seraya beringsut, membawa dua cangkir kosong. Ia mungkin perlu memberi ruang untuk Olivia sendiri.

Sampai di selasar, gerak kakinya terhenti oleh suara instrument. Lelaki berotot padat ini berbalik, melihat di sana perempuan itu sudah bersimpuh. Bahunya tegap. Tangan kurus itu bergerak penuh penghayatan, menggesek busur pada senar.

Hebat juga. Dia bisa langsung mainkan.

Pujian refleks. Matanya beberapa detik tak berkedip memerhatikan.

?

Olah raga adalah pilihan lain Yudha untuk menghilangkan jenuh. Seperti sore ini. Saat Olivia ditemani Elis, ia berencana akan lari di sekitar perkebunan. Lumayan energi bosan nganggur akan luntur bersama keringat.

Namun, baru sampai di garis pintu ia terhenti, melihat seseorang memakai short skinny dress kuning gading berjalan ke sini.

“Celine …?” gumamnya hampir tak terdengar.

“Yudha?!” Begitu melihatnya, wanita muda itu sedikit histeris. Sontak berlari mendekat.

“Yudh! Ternyata benar kamu di sini ...!” Tubuh harum lembut itu menubruk dadanya. Bahunya terasa dirangkul kuat.

“Yudh …” Menengadah, air mata Celine tampak berderai. Tangan halus berkuteks putih itu merangkum kedua pipi Yudha. “kamu … kamu nggak mungkin lupain aku ‘kan, Beb?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel