Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Di Balik Sikap Manis

Mengira menaklukkan hati Olivia bukan hal sulit, membuat Yudha sempat melambung tinggi. Malam pertama yang tertunda dibayangkan segera terjadi dengan lancar jaya. Baginya, tanpa cinta pun hubungan ‘itu’ bisa ia lakukan. Gampang saja. Tinggal membayangkan sosok lain dalam benak, pasti hayuk!

Bukankah kalau berhasil dapat cucu, mamanya tak akan berpikir duakali mendukung apa pun maunya.

Namun, angan itu sekejap terhempas. Gagal total. Sebab tak seberapa lama ia memeluk, saat pikiran mulai bergerak liar, Olivia melepaskan diri.

“Hei, ke mana?” Ia menahan lengan yang terasa kurus dalam genggaman, menampakkan wajah setengah memelas. Matanya menuntut hak.

"Ol-Ol-Olive. Ma-mau ti-dur …."

Kemudian hanya bisa melongo. Menatap pemilik tubuh ramping itu menjauh, mengambil bantal dan selimut, lalu menuju sofa.

Kok, dia? Arrg!

Penolakan yang cukup menyinggung ego. Hampir saja emosinya naik, kalau tidak ingat kejadian fatal itu, bisa saja ia membuat Olivia pingsan lagi.

Gengsi memohon, pria ini pun berpura tak peduli. Mungkin Olivia belum siap, ataukah masih ketakutan. Akhirnya, ia terpaksa tidur dengan kepala berdenyut berat. Frustrasi atas hasrat yang terlanjur tumbuh, tapi tidak tersalurkan.

?

Subuh di Kota Hujan hawanya menusuk tulang. Olivia melapisi baju tidur dengan sweater tebal sebelum keluar kamar.

“Yudha masih di surau?”

“I-iya, Ma.”

Mariah merangkul erat pundak menantunya sejenak. Ada senyum cerah, teringat tadi Yudha yang ia bangunkan lewat telepon untuk ke surau. Lalu putranya itu keluar kamar dengan terburu-buru, tampak habis mandi keramas. Punggung baju sedikit basah, dari tetesan air di ujung rambutnya.

Pasti mereka sudah mulai produksi calon cucuku, pikirnya bahagia.

Kalau benar terjadi, itu berita baik. Artinya tidak ada trauma atas kekerasan Yudha waktu itu. Olivia hanya tinggal berdamai dengan tekanan lama saja untuk sembuh.

“Ayo, kita ke dapur.” Wanita berambut gelombang ini menggamit Olivia.

"Morning, Olive. Segar, ya pagi ini. Dinginnya brrr! Kena air wudu kayak es langsung melek. Kantuk hilang!" seru Andira merentang tangan, menyambutnya dengan pelukan sebentar sambil tersenyum lebar.

Wanita itu tadi terlihat sibuk bersama dua assisten di dapur. Aroma jahe bakar mulai menguar di udara.

Andira sudah bicara dengan Mariah, kalau ia akan menginap dua malam saja di sini. Setelah lebih mengenal sosok Olivia, baru menentukan terapi apa yang tepat. Selanjutnya ia akan pulang pergi dari rumahnya di Cianjur. Jika lewat tol satu jam lebih sedikit sudah sampai.

“Kalau mandi keramas, lebih dingin lagi. Ya ‘kan, Liv?” Mariah menimpal ucapan Andira, bermaksud menggoda Olivia yang langsung kikuk.

“Ng ….” Wanita muda itu refleks mengusap rambut yang kering. Hanya sedikit basah bagian depan bekas wudu tadi. Pipinya bersemu. Gerik yang membuat orang di sekitar tersenyum-senyum melihatnya. Lucu.

Mereka mengira ia sama seperti Yudha, mandi keramas pagi ini. Lalu, sigap sudah mengeringkannya karena malu.

Kepala Olivia spontan menggeleng, tanda mengelak sembari mendekati Andira.

"B-bi-kin ap-a?"

"Susu jahe sama teh jahe. Olive bantu, ya." Andira menyiapkan bahan di meja. Mariah memperlakukannya seperti keluarga. Karena itu, ia merasa nyaman, dan tempat ini sudah seperti rumah sendiri untuknya.

Olivia pilih bantu menyeduh teh, Andira membuatkan susu di wadah lain. Sementara Bi Irah baru selesai membakar jahe.

"Pagi-pagi kita biasa makan makanan kecil sebelum sarapan. Apalagi Yudha tuh sebelum olahraga pagi pasti ngisi perut dulu.” Mariah bicara, sembari memandu Elis memanggang martabak mini. Bi irah bergerak menyiapkan aneka bahan toping martabak di sisi kompor.

“Membuat penganan kecil begini termasuk menyenangkan suami, ya, Tan. Biar lebih jinak,” celetuk Andira melucu. Ucapannya segera diiyakan Mariah.

“Betul. Apalagi kalau dapat suami jenis Yudha.” Mariah kemudian bicara pada Olivia, yang kebetulan menoleh padanya. “dia itu sedikit liar. Olive harus bisa ngikat hatinya, salah satunya dengan makanan."

Olivia dan Andira saling pandang lalu sama-sama tersenyum penuh arti. Wanita polos ini kemudian mengangguk kecil, mengaminkan ucapan ibu mertua dalam hati.

“Tante benar lho, Liv. Suami Dira dulu gitu. Dari awal nikah maunya makan makanan luaran, yang banyak micinnya itu. Tiap saya masak, enggak dimakan. Pokoknya sempat kesal ke ubun-ubun. Tapi terus aja coba saya cekokin masakan rumahan. Eh, pas habis sakit baru sadar. Kalau makanan bikinan saya yang bikin dia cepet sembuh. Amandelnya ‘kan dilarang banyak makan yang sedap-sedap itu.”

“Jadi, sekarang udah enggak?” Mariah penasaran.

“Alhamdulillah, sekarang bikinan Dira dikangenin terus, Tan. Tadi malam chat ‘Beb, kangen dimasakin’, padahal baru sehari ditinggal. Hii.” Andira tergelak, sambil menuangkan susu jahe ke gelas.

Olivia diam-diam menyimak. Hatinya mengatakan ia harus banyak belajar jadi istri, sebaik mertua dan Adira juga.

Sambil tangan bekerja, mereka saling bercakap ringan. Sampai Mariah sedikit cerita seru tentang Yudha, yang memang agak tengil sejak kecil.

Hawa boleh dingin, tapi suasana di dapur ini terasa hangat dan akrab. Dengan assisten pun hubungan seperti setara. Kekakuan Olivia sedikit lebur. Sikap orang-orang baik di sekitar berhasil menggerakkannya terbawa ceria.

Yudha mengucap salam saat masuk rumah. Mendengar jawaban dari ruang belakang, lelaki berkoko coklat itu langsung ke dapur. Tadi ada kajian cukup panjang dari ustaz. Mungkin itu yang membuat wajahnya nampak semringah sekarang.

“Wah, wah, kumpul semua. Kayaknya lagi seru, nih,” ucapnya basa-basi sambil melirik sekilas Olivia.

“Iya, dong. Ayo, gabung, Yudh.” Andira menunjuk kursi sebelah Olivia.

Menowel lengan menantu, Mariah memberi kode mata. Segera paham, Olivia beranjak dari duduk, mendekati Yudha. Dengan kaku ia meraih telapak lelaki itu, menempelkan ke dahinya.

“Morning, Sayang.” Ide nakal Yudha refleks muncul.

Salim Olivia dibalasnya dengan kecupan kilat di pelipis. Kaget, kulit muka Olivia sontak sepanas terkena cabai. Tubuhnya juga terlihat sedikit tak seimbang. Tersenyum puas Yudha lantas merangkul bahu sang istri.

“Ayo kita duduk.” Dengan manis ia menggiring Olivia ke kursi makan.

Alis Mariah menaik penuh, melihat Yudha cepat menarik kursi, bergaya ala pangeran perlakukan sang putri untuk duduk. Bahkan, untuk pertama kalinya, ia melihat putranya minum teh jahe segelas berdua dengan istrinya.

Kajian ilmu rumah tangga ala Rasulullah tadi memang mau langsung Yudha praktikkan. Siapa tahu istri jadi bucin, dan membantunya cepat kembali beraktifitas normal. Baru sehari wajib menyenangkan Olivia sudah membosankannya. Apalagi kalau harus berhari-hari atau berbulan. Otaknya bisa meletus.

Kalau Olivia yang minta pulang kan pasti Mariah kabulkan. Semua tahu, kuasa mamanya di sini tidak bisa ia lawan.

?

"Senang lihat Yudha, ternyata bisa manis juga sama istri," gumam Mariah.

Tersipu hati Olivia mengiyakan. Hingga hari ini Yudha tampak berusaha keras mencuri perhatiannya. Hadiah bertubi-tubi. Kadang mencuri cium pipinya tiba-tiba. Siapa wanita yang tak melambung diperlakukan begitu. Apalagi mereka pasangan halal.

Tak ingin membiarkan trauma larut memerangkapnya dalam rasa takut. Olivia yang sudah tahu Andira adalah seorang psikolog, dan akan mulai terapi wicara untuknya besok, langsung berniat cepat sembuh.

Mengetahui gagapnya bisa hilang, ia jadi sangat ingin bisa bicara normal. Yudha mengharapkan pendamping sempurna. Jika bisa, ia akan perjuangkan memenuhinya.

?

“Ol-live. Ma-mau latih-latihan lagi.”

"Oke, kita coba lagi, ya, Liv. Santai aja. Ambil napas dulu ... tariiik. Tahan sebentar ... embuskan perlahan ...." Andira menyukai Olivia. Perempuan yang khas sering memerah pipinya itu punya semangat luar biasa.

Hari ini, kali keempat terapi, kalimat Olivia mulai lancar dari sebelumnya. Latihan mengucapkan kata perlahan-lahan, sampai tidak terputus dan terulang kata yang sama.

Perubahan Olivia menggembirakan Mariah. Setelah cukup lama libur, sejak Olivia sakit. Sekarang ia berniat aktif lagi mendukung kegiatan suami, juga menengok bisnisnya. Hubungan anak dan menantu di matanya tampak semakin membaik.

“Lagi apa ini? Tumben di dapur.”

Mariah mendekati putra bungsunya berdiri di sisi meja makan. Nampak tengah menyendokkan sesuatu ke dalam gelas, lalu menyeduhnya dengan air panas.

“Coklat, Ma,” sahut pria dengan tinggi 180 sentimeter ini, seraya menuangkan susu skim pada minuman buatannya.

“Dua?”

“Hemm. Buat Oliv satu.” Sebelah alis Yudha terangkat.

“Ohh.” Senyum simpul mencuat pada bibir Mariah.

Satu lagi perubahan Yudha cukup membuat kagum. Sebelumnya biasa hanya meminta ini dan itu dari assisten, sekarang tumben mau membuatkan sesuatu di dapur. Mulai memikirkan istrinya juga kemajuan super menurutnya.

Nada panggilan dari ponsel Yudha, yang ada di meja memancing Mariah melihat layar.

“Ups! Sebentar, Ma.” Yudha cepat menyambar handphone, segera menjauh menerima panggilan.

Mariah membeku sejenak di tempat. Nama, dan foto perempuan di layar tadi sempat tertangkap. Sosok tidak asing di matanya.

Memutar badan perlahan, wanita anggun ini menarik napas panjang. Tatapannya terhenti pada seseorang yang terlihat dari jendela.

Olivia.

Menantunya itu tampak tertawa lepas, memandangi Elis di sebelahnya. Apa yang tengah dikatakan assisten itu, sampai terlihat begitu lucu.

Ya Allah ... jangan biarkan putraku mempermainkan pernikahannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel