Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Kasih Ibu Mertua

“Sayang, kenalkan ini Andira. Dia akan jadi temanmu di sini. Siapa tau kalau mama pas tiba-tiba ikut kegiatan Papa, jangan sampai menantu kesayangan mama ini kesepian." Mariah bicara begitu sambil merangkul pundaknya, sesampai mereka di halaman Villa.

Wanita tinggi, berkacamata dengan ramah mengulurkan tangan pada Olivia. “Senang kenalan denganmu, Olive. Panggil aku Dira aja,” sambutnya ramah.

Pelukan hangat sejenak tak lupa ia berikan. Wajahnya sangat bersahabat, bertambah sempurna dengan suara lembut dari bibirnya. Olivia langsung merasa nyaman. Senyum kecil refleks terkulas.

Setelah berkena, mereka bersama-sama masuk ke Villa nuansa warna kayu tersebut. "Lihat, banyak yang tinggal di sini. Ini Mang Jajang, Bi Irah, trus ada Neng Elis juga”

Yudha memutar mata, jengah. Sikap Mariah mengenalkan tiga assisten yang menyambut kedatangan Olivia, menurutnya amat berlebihan. Lebay. Ia memutuskan masuk lebih dulu, menuju kamar. Siap-siap membagi ruang pribadinya itu, pada wanita yang belum ikhlas ia anggap istri.

Bersebalik dengannya, Olivia langsung suka dengan tempat ini. Desain villa unik, atapnya menjulang dan terasa lega. Warna kayu menenangkan, letaknya juga tinggi sehingga pemandangan di sekitar seperti hamparan karpet hijau hingga ke bawah sana.

Di sisi yang lain tampak ada puluhan rumah penduduk. Kata Andira, pemandangan lampu rumah-rumah itu saat malam sangat bagus. Sengaja dibuat warna-warni di atapnya.

Olivia langsung menyukai Andira, ia mengira wanita super ramah ini saudara Yudha. Tanpa sedikitpun tahu, sejak mengetahui keadaan psikisnya hari itu Mariah langsung mencari psikoterapi yang cocok untuk Olivia. Profesional, tapi tidak terlihat serius dan membuat Olivia malah merasa dirinya sakit. Mariah ingin Olivia nyaman, membuka diri dengan natural.

Terpilihlah Andira--anak salah satu teman dokter di klinik--usianya 36 tahun, tapi style dan wajahnya awet muda. Sangat humble dengan siapapun, dan yang terpenting ia rela tinggal sementara di sini.

Keinginan Mariah untuk fokus membantunya mendampingi Olivia. Harga tak masalah, asal hasil maksimal. Sang menantu segera sehat fisik dan mental itu yang ia harapkan.

?

“Siapa itu tadi, Ma? Perasaan nggak pernah lihat.” Yudha bertanya saat Andira mengajak Olivia berkeliling ke sekitar.

“Dia yang akan bantu kita semangatin Olive.”

Mengangkat kedua alis, lelaki ini belum paham apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya.

“Olivia?"

“Ya. Olive trauma!” sela Mariah cepat. Setelah meminta assisten membereskan barang bawaan berupa bahan makanan di dapur, ia menarik Yudha bicara serius di kamarnya.

What?! Maksudnya ... gue harus jaga perasaannya? Sial*n!

Kulit dahi Yudha mengkerut sempurna, usai mamanya menjelaskan keadaan Olivia.

"Pokoknya, jangan bikin menantu mama takut gara-gara kelakuan kamu."

Dasar lemah! Ribet banget hidup! Keluh Yudha hanya di hati.

“Andira cuma sementara, sampai Olivia menemukan masalahnya, trus dibantu perlahan selesaikan. Kalau kita keluarga, ya harus konsisten menyemangati. Mama sih yakin Olive itu kuat, cuma dia belum mau berbagi."

“Jadi, masalahnya bukan cuma dia sulit bicara?”

“Itu cuma karena Olivia gugupan orangnya, Yudha. Nggak pedean. Pencemas. Dari riwayat dulunya, dia SD lancar ngomong. Nah, makanya itu mama bawa ke sini, kenapa? Biar kamu serius kembalikan lagi istrimu seperti semula." Telunjuk Mariah menekan tahi lalat kecil di tengah pipi Yudha.

“Bahkan mama mau, kamu jadikan dia lebih baik dari sebelumnya. Buktikan kamu itu anak mama papa yang bisa diandalkan. Mimpin perusahaan bisa, masa mimpin istri satu enggak becus?”

“Ish! Mama ngeledek? Yudha pasti mampu. Bisa. Tapi dianya itu beneran bisa sembuh?”

“Insyaallah bisa, Yudha.”

“Kalau enggak?”

Mariah mendelik, mengatup mulut dengan sedikit dikerucutkan.

“Itu artinya kamu gagal. Hukumannya, kalian … akan tetap di rumah mama. Di bawah pengawasan mama!”

“Kok gitu?” Yudha menegakkan badan merasa tak setuju. Jika ada mamanya ia kurang bebas bergerak. Apalagi kalau ada acara malam mamanya akan cerewet ia tak boleh pulang lewat dari jam 11 malam. Benar-benar dianggap seperti bocah.

Celine saja dulu memberi syarat, setelah nikah harus langsung tinggal di rumah sendiri. Mariah dikenal cerewet dengan dunia malam mereka. Kerap membuat telinga panas.

“Buktikan sama Olive kalau kamu itu suami baik. Bukan pria pengecut yang ringan tangan menyakiti perempuan. Cara kamu memperlakukannya di awal itu mengerikan, sadar nggak? Jujur, ya, mama masih kecewa. Kecewa parah sampe hati." Mariah menekan dadanya.

"Mama susah maafin kamu. Coba kamu bayangkan kalau itu terjadi sama mama? Adikmu? Maksudnya kalau kamu punya adik perempuan.”

Tersenyum tipis Yudha mengusap dahi. “Itu kan karena Yudha mabuk, Ma.”

“Bukannya kamu tahu sendiri, kalau mabuk jadi nggak karuan? Papa sudah keras menegur itu dulu! Ck! Mama sampe bingung kenapa kamu ulangi. Pokoknya ingat! Nggak ada minum-minum lagi. Lurusin jalan. Luruuus aja. Fokus jadi suami yang baik, pikirin anak turunan kamu nanti.”

Lagi, Yudha tersenyum, merasa ucapan mamanya lucu dan berlebihan.

“Baik, baik. Mama tenang aja." Ia menyatukan ujung jempol dan telunjuk membentuk O.

Ia yakin akan mudah menaklukkan Olivia. Begitu istrinya tampak bahagia, berbunga-bunga, sang mama pasti akan bangga.

Cewek minim pengalaman gitu mah gampang!

Bukan bermaksud sombong. Seusia sekarang tak terhitung berapa gadis yang jatuh di pelukannya. Mana yang ia suka, cukup dengan perhatian kecil, uang atau hadiah. Pasti dapat.

“Mama ini cuma bisa bilangin, lho, Yudh. Ke depannya hidup kamu itu di tanganmu sendiri. Biar mulut mama berbusa nasehatin, kalau cuma dianggap angin lalu. Ya, percuma!”

Mariah tersinggung melihat senyum geli di wajah putranya. Si bungsu yang kadang ‘ajaib’ dengan kenakalannya sejak kecil.

“I’m promise, Mama. Kalau Olive sudah baik, kami boleh tinggal di Cinere 'kan?"

“Itu kita lihat aja nanti.”

Mariah lekas menyudahi, begitu terdengar suara Andira mengajak Olivia melihat kamarnya.

?

Sebelum tidur Olivia berdiri di dekat jendela kaca kamar. Menarik napas dalam-dalam, mengisi kalimat positif tentang dirinya dalam benak. Lalu, embuskan napas perlahan.

Andira tadi secara tak langsung mengajari demikian. Bermula dari cerita kalau dulu Andira ternyata pernah sangat pemalu. Bagaimana bisa seceriwis sekarang, ia pun membagi tips.

Olivia segera mencatat di benaknya. Sebab, menjadi wanita anggun, dan penuh percaya diri adalah sikap yang diimpikan ada pada dirinya.

Dulu, sejak orangtuanya putuskan ia homeschooling, hidupnya kian terasing. Hubungan hangat saling bersenda gurau sangat langka. Olivia terbiasa bicara dalam hati, untuk diri sendiri.

Kehadiran Andira seperti membawa energi baru. Serasa mendapat teman terbaik. Meski ia belum tahu kalau Andira adalah psikoterapis-nya, yang sudah memiliki dua anak.

Ketukan pintu menyentak Olivia, bahunya menegang tak berani berbalik. Pemandangan warna-warni lampu rumah penduduk di bawah tak lagi menarik, pikirannya sibuk mencari cara bagaimana agar terlihat biasa di depan Yudha. Mereka sekamar lagi. Mariah sudah memastikan ia akan baik-baik saja, karena saat itu Yudha tidak sadar.

“Assalamualaikum.” Salam dengan suara lembut itu membuat Olive menelan air liur yang terasa tercekat.

Ia menjawab dengan terbata, hanya terdengar untuk dirinya sendiri. Gugup bercampur takut muncul lagi, matanya bergerak tak tenang.

Aroma woody terasa segar di penciuman, makin dekat karena berasal dari seseorang yang kini berdiri tepat di sampingnya.

“Terimalah. Ini … tanda maafku ke kamu.” Yudha mengulurkan setangkai mawar putih ke depan wajah Olivia.

“Aku mengaku salah. Mabuk adalah hal terbodoh yang aku lakukan. Sebenarnya seumur hidup cuma beberapakali, dan ... aku sungguh menyesal atas malam itu. Maaf, ya ….” Kalimat itu Yudha katakan lancar, sambil menatapnya lekat.

Kata yang diperlembut, bahasa dibuat lebih santun dan bersungguh-sungguh. Demi mencuri hati wanita yang disayangi mamanya itu. Awalnya, terdengar aneh di telinga Yudha sendiri. Seolah ia menjelma jadi lelaki bucin. Sukses merindingkan kuduknya.

Olivia menerima bunga itu, menjatuhkan pandang pada kelopak yang basah.

“Kamu maafin aku, kan, Olivia? Aku janji nggak akan minum lagi.” Dua jarinya terangkat membentuk V.

Olivia menatap tangannya dengan tatapan sulit diartikan. Antara gemas, dan kesal, orang yang diajak bicara masih diam, Yudha cepat mengambil tangan Olivia. Menempelkan ke pipinya.

“Pukul aku! Hukum aku, Olive!"

Mata Olivia mengerjap.

“Pukul. Pukul. Ayo, pukul aku! Biar rasa bersalah ini hilang.” Telapak tangan ringkih itu dipegang, diarahkan kuat memukul pipinya. Dua kali cukup membuat panas telapak Olivia yang menganga akan bicara itu.

“Kamu masih marah, ’kan sama aku? Ayo, pukul lagi!” Yudha penuh emosi memintanya bereaksi.

Sampai Olivia kemudian menarik tangannya.

“Su-su-dah!” Olivia menggeleng dengan mata berkaca.

“... aku berhak dihukum lebih dari ini, Olive. Kapan perlu kamu gigit aku lagi!”

Belum usai, Yudha menyibak lengan kaus, menampakkan bekas gigitan Olivia di sana. Sekejap gadis ini menjadi gugup dan gemetar. Bekas giginya membuat luka cukup dalam.

“Aku lelaki bodoh, Olive … aku sudah menyakitimu ….” Kalimat penuh sesal berulang Yudha katakan sambil tertunduk. Lama-lama bahunya turun, akan menjatuhkan diri mencium kaki wanita yang tampak makin bingung menghadapinya.

“Kalau kamu nggak maafin. Aku akan jadi lelaki paling berdosa ....”

Olivia terus menggeleng, air matanya sudah luruh. Ia menahan tangan Yudha untuk tetap berdiri.

Yudha terus melorotkan badan, hingga kepalanya hampir menyentuh lutut Olivia.

“Jang-an. Su-sud-ah. Ol-live. Ma-ma-maaf-in, Yud-dha ….”

Lelaki itu segera mengangkat kepala. Wajahnya menampakkan raut tak percaya.

“Benarkah aku dimaafkan?” Ia satukan kedua tangan Olivia dalam telapak lebarnya.

"I-iya ...!" Olivia mengangguk cepat. Memaksakan senyum terukir dari wajahnya yang pasi.

“Alhamdulillah. Terimakasih, Sayang. Terima kasih istriku ….” Yudha menangkup kedua pipi Olivia, yang tampak kesulitan bernapas karena sangat tegang diperlakukan begitu.

Kemudian, dengan cepat ia menarik Olivia merapat pada dada bidangnya. Tersungging senyum saat ia merasa raga gadis itu menegang.

Jatuh cintalah padaku, semuanya akan mudah, Olivia.

Di balik punggung wanita itu, ia memejamkan mata. Sementara benaknya riuh membayangkan wajah lain.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel