Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Tak Boleh Menangis Lagi

Ini hari kedua Olivia dirawat. Kemaren, keluarga Trenggono langsung memindahkan perawatannya ke klinik langganan keluarga.

Mariah minta cek lengkap kesehatan menantu ketiganya itu. Ingin memastikan keadaan Olivia tak seperti yang ia dan suami takutkan. Sering ketakutan saat terbangun, lalu menangis tanpa suara. Bahkan sampai sekarang pun tidak merespon saat diajak bicara.

Sebagai bukti tanggung jawab, mereka berusaha maksimal untuk kesembuhan Olivia. Baru akan menghubungi keluarga Munawarman.

Menurut dokter secara fisik Olivia akan cepat membaik. Nyeri sudah berkurang, lukanya pun sudah kering. Dari pemeriksaan juga ia tidak mengidap penyakit serius apa pun.

Namun, di antara kelegaan mendengar itu, ada hal lain yang disampaikan dokter pada Mariah.

“… Olivia sepertinya punya tekanan perasaan yang tersimpan, Bu Mariah. Dia sering kaget, mimpi buruk, tiba-tiba takut, tampak cemas berlebih sudah menunjukkan ciri mengarah ke sana. Lihat saja ujung kuku-kukunya sampai hancur, kemungkinan itu sering digigit sejak sebelumnya.

Kalau dibiarkan akan makin numpuk, dan bisa saja berubah jadi bom waktu. Sekarang memang hampir meledak, tapi ini sepertinya masih belum lepas sepenuhnya. Olivia sangat menahan diri, padahal batinnya sudah rapuh. Usaha pertama kita, sebisa mungkin membuatnya merasa nyaman dulu ….”

Mariah bergeming, ia mendengarkan saksama kalimat dokter paruh baya itu.

Pasti tekanan Olivia bertambah karena perbuatan Yudha … sesalnya.

“Apa … ini bisa jadi gangguan jiwa, Dok?”

“Jika dibiarkan bisa terjadi. Saya memerhatikan dia sengaja bungkam. Jangankan bicara, bergerak pun enggan. Tatapannya sering terjadi kosong.

Saya harap juga setelah ini Bu Mariah bisa menemui professional, nanti akan saya bantu menghubungkan pada orang yang tepat.”

Mariah menarik napas berat.

“Masih bisa sembuh ‘kan, Dok?”

“Insyaallah. Dukungan penuh keluarga akan sangat-sangat membantu, Bu.”

Usai banyak bertanya Mariah kembali ke ruang rawat. Wanita yang masih cantik meski usia sudah lewat paruh baya ini tercenung menatap punggung Olivia.

Menantunya itu masih berbaring dalam posisi sama. Punggung kaku, menghadap dinding, membelakanginya. Sudah sejak dua jam lalu begitu.

Menaruh tas tangan di nakas, Mariah bergerak perlahan mendekat, lalu naik ke dipan rawat. Tanpa kata, ia memeluk Olivia dari belakang, menghidu wangi yang masih tersisa pada rambut lurus itu.

Pelukan, kalimat sayang, mungkin dulu terlewati di masa kecilnya.

Kalimat dokter menuntun Mariah melakukan ini. Jangankan Olive, dirinya pun merasa tenang, saat mentransferkan rasa sayang dengan ikhlas.

Setelah beberapa menit diam, ia berbisik di dekat telinga Olivia, “Nanti, kalau sudah sembuh panggil saya mama, jangan tante lagi, ya. Mama sayang Olive … mama butuh anak perempuan seperti Olive ….”

Kalimat Mariah memerahkan mata yang menatap kosong dinding putih. Perih, berair, lalu kembali bulir air mata mengalir, kelopak matanya pun beberapakali mengerjap.

?

Usianya genap 22 tahun hari ini. Tidak ada ucapan selamat, pelukan atau sekadar doa dari orang terdekat. Hari istimewa yang selalu sunyi. Jangankan mengucap selamat, menelepon bertanya kabar saja sampai sekarang tidak ada.

“Pagi, Sayang. Alhamdulillah hari ini boleh pulang. Makan yang banyak, ya. Biar kita cepat bisa jalan-jalan bareng.”

Mariah masuk membawa wadah makanan, isinya bubur ayam buatan rumah--diantar sopir tadi. Wanita yang tak pernah meninggalkannya itu memberikan kecupan di kening, lalu mulai menyuapinya.

“Tapi mama maunya kita liburan dulu sih setelah ini. Kebetulan mama lagi nggak ada kegiatan. Kalau kita ke villa mau, kan?”

Olivia mengangguk pelan, tak lepas matanya menatap wajah Mariah. Raut yang selalu berbinar.

Cerita tentang villa pun mengalir. Olivia membuka mulut menerima suapan sambil mendengarkan. Mertuanya ini beberapa hari lalu kerap berucap maaf, memohon ia memaafkan kesalahan Yudha. Itu cukup bisa membuatnya melupakan nyeri luka hati.

Perhatian Mariah begini bisa menjatuhkan air matanya tanpa terasa, sebab terharu merasakan dicinta. Ia sudah tak peduli yang lain, walaupun Yudha tidak pernah menampakkan batang hidung di sini. Perhatian Mariah saja sudah lebih dari cukup.

Usai sarapan, Mariah katakan akan mengabarkan keadaan Olivia nanti pada orang tuanya. Bagaimana pun tidak baik menutupi sampai berhari-hari begini.

“Ja … ja … ngan, Ma!” Olivia melambaikan tangan sambil menggeleng.

“Mama merasa bersalah berapa hari nggak ngontak keluargamu, Olive ….”

Terus menggeleng dengan mata berkaca. Olivia menarik Mariah mendekat. Gadis ini menempelkan telapak tangan ke dadanya, lalu menyentuhkan pada dada Mariah. Tatapan mata beningnya seolah berkata, ‘Olive baik-baik saja, dan Olive sayang Mama ….’

Mariah tampak terharu, dengan cepat membawanya ke dekapan. “Terima kasih, Sayang ... mama menyayangimu juga. Sangat sayang. Kamu jangan takut apa pun, ya … kamu pasti cepat sehat.”

Mariah mengusap-usap lembut punggungnya. Resah wanita ini sedikit lenyap, Olivia mulai mau bicara. Sosok menantu yang dengan cepat mencuri hatinya sejak awal. Entah kenapa perasaannya cepat terikat pada pemilik wajah polos ini. Seperti baru memiliki anak perempuan.

Pasangan Mariah dan Trenggono Pratama memiliki empat putra. Saat itu mereka terus berusaha untuk mendapatkan anak perempuan. Sampai kemudian ia hamil di usia 43 tahun, tetapi Mariah terpaksa kehilangan janin di usia kandungan 4 bulan.

Tindakan kuret cukup membuatnya trauma, hingga memutuskan tidak hamil lagi.

?

“Kita ajak Olive ke Bogor. Tinggal di sana sampai dia pulih.” Mariah bicara dengan nada tegas pada Yudha, begitu sampai di parkiran klinik.

Pria 28 tahun itu terpaksa datang. Menjemput istri dan ibunya yang akan keluar dari klinik siang ini. Mariah sengaja memintanya, dengan membawa serta pakaian dalam koper, sesuai instruksinya di telepon tadi.

“Ma, Yudha kerja-“

“Pekerjaan sudah papamu atur, Alex menggantikanmu sementara. Fokus saja pada kesembuhan Olive!”

Wajah Yudha memucat. Tahu Mariah paling tidak suka dibangkang. “Bukannya sudah sembuh?”

"Huss! Kamu itu tau apa, datang aja ke sini nggak mau. Ingat, Olive itu istri pilihanmu. Berani membuat keputusan, berani kamu pertanggungjawabkan! Mama nggak suka ya punya anak bersikap semaunya," gertak Mariah mendesis, agar tak ada yang mendengar ia memarahi putranya ini.

Kalimat bantahan masih banyak di tenggorokan, tapi kembali Yudha telan. Bukan saat tepat untuk menambah kekecewaan orang tua saat ini. Mereka sudah terlanjur marah, menyalahkannya ‘menyerang’ Olive tanpa perasaan. Sedikit melawan lagi, bisa-bisa namanya dicoret dari keluarga Trenggono!

“Kita harus buat Oliv mau bicara. Ceria lagi. Pokoknya kamu harus bikin dia senang,” tegas Mariah sebelum kembali masuk klinik.

Tak punya pilihan Yudha wajib menuruti kalimat mamanya.

Ia bisa disebut lelaki sukses, karena ada di ketiak nama besar papanya. Anak perusahaan Delta, yang dipimpinnya masih belum resmi jadi warisan. Jika salah langkah, bisa saja semua jatuh pada tiga kakak lelakinya, yang selama ini terbukti bisa diandalkan. Papa mamanya sangat tegas untuk masalah tanggung jawab.

Tanggung jawab itu dari hal kecil dulu, kalau lolos pasti bisa dipercaya melakukan hal besar, ingat itu!

Peringatan Trenggono dulu, saat ia pernah ketahuan menghambur uang untuk kesenangan sesaat.

?

Setelah hampir seminggu tak bertemu, Yudha mendadak kaku saat berhadapan dengan Olivia.

“Maaf, maafkan aku …,” ucapnya untuk pertama kali sebelum masuk mobil.

Atas perintah Mariah, begitu bertemu ia wajib meminta maaf, dan tidak mengulangi kesalahan sama.

Olivia berpura tak mendengar. Ia menatap arah lain, tanpa sedikitpun menganggap Yudha ada di situ. Gemuruh dalam perasaanya saat ini sulit diterka artinya.

“Bicara aja susah, bagaimana mau jadi istriku? Haha. Aku ini butuh istri yang cerdas. Dan … kamu bukan apa-apa dibanding Celine!”

Kalimat buruk itu kembali terngiang di telinganya.

Di depan Mariah, Yudha terlihat menunjukkan sesal dan rasa bersalah. Ia hendak menggamit Olivia saat akan masuk ke mobil, tapi gadis itu menepis halus tangannya.

Dalam perjalanan pun Olivia terus berdiam diri menatap sisi jalan. Ia pasrah saja kemana Mariah membawa. Benaknya meyakini selama ada wanita berhati malaikat itu, dirinya akan baik-baik saja. Mungkin. Untuk sementara ini ia harap begitu.

“Villa mama suasananya nyaman, Olive. Mama yakin kamu suka.”

"I-iya." Mengangguk kecil, Olivia menyajikan sedikit senyum. Menghargai perhatian ibu mertua yang bicara sambil mengusap jemarinya.

Yudha di belakang kemudi tersenyum miring. Hatinya berdecak kesal. Demi apa, sebelumnya ia tidak tahu kalau Olivia susah bicara. Nemun, terlanjur emosi berniat menggantikan Celine ia tak bisa mundur lagi.

Membuang kecewa ia memutar musik dengan suara rendah. Sesekali bercakap santai dengan Mariah seputar pekerjaan. Sedikit lega, mamanya itu sudah bicara biasa, tanpa tekanan lagi. Pertanda pintu maaf mulai terbuka.

Sementara itu, Olivia menyandarkan penuh punggung lalu memejamkan mata. Fokus pada musik pop slow yang mengalun lembut. Seolah membawa jiwanya terbang ke tempat damai.

“Bicara yang jelas, dong! Dasar gagap!”

“Kapan kamu bisa jadi anak yang membanggakan? Bisanya bikin malu aja. Jangan keluar sekalian!”

“Eh, lihat tuh Celine. Gimana kakakmu bisa berprestasi … contohin, dong!”

Saat akan hanyut tertidur, tiba-tiba ia tersentak maju. Tubuhnya menegang, berpegangan erat pada punggung kursi Yudha. Tekanan lama itu mendadak muncul lagi.

“Olive …?” Mariah lekas meraih bahunya, menenggelamkan kepalanya dalam dekapan. “ssstt … tenang, ya, Nak. Tenang ... semua akan baik-baik saja.”

Olivia tersengal, hampir saja terisak. Ia menahan diri semampunya dengan mengeratkan pegangan pada baju Mariah.

Aku nggak boleh nangis … aku nggak boleh nangis lagi …!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel