8
Silvia Anastasia, 13 tahun, anak bungsu dari pasangan Christopher dan Jessica.
Christopher, seorang pengusaha besar dalam bidang IT, memiliki sebuah perusahaan IT yang berpusat di Jepang dan memiliki beberapa cabang perusahaan di luar Jepang. Pemegang sebagian besar saham di sebuah yayasan sekolah menengah pertama tempat Silvia dulu pernah mengenym bangku pendidikan.
Jessica, seorang aktris dan model sejak masih remaja, menikah di usia muda dengan Christopher.
Sejak kecil Silvia selalu diajari orang tuanya untuk berpenampilan biasa saja, tidak menghamburkan uang untuk hal-hal yang tak perlu dan tidak menyombongkan apa yang dia punya. Dan karena tak ingin anaknya terlihat menonjol, Christopher pun sengaja merahasiakan tentang dirinya yang memiliki saham di yayasan tempat Silvia bersekolah.
Sayangnya karena bimbingan dari orang tuanya itu, Silvia yang bisa saja mendapat perlakuan khusus dari pihak sekolah karena kepemilikan saham ayahnya itu malah mendapat perlakuan tak menyenangkan dari beberapa anak di kelasnya.
Sebuah sekolah rasanya pasti tak akan lengkap jika tak ada kegiatan pembully-an di dalamnya. Entah itu dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Admit it! Karena semua sekolah pasti begitu.
Dan Silvia terlibat dalam hal itu. Menjadi seseorang yang tertindas dan ditindas. Dan siapakah pelakunya?
Aghata Miriana Lubis.
Gadis muda berambut hitam sebahu itu adalah pelakunya. Tersangka perundungan terhadap Silvia, gadis cupu-gendut-berkacamata yang tak banyak mulut.
Sayangnya kegiatan penindasan oleh Mirna itu hanya berlaku sampai pertengahan kelas 2 karena Chris, satu-satunya kakak kandung Silvia yang mendapati adiknya disiram dengan air soda oleh Mirna saat pemuda itu mengantarkan bekal makan Silvia yang tertinggal di rumah.
Chris, pemuda tinggi itu tahu segalanya tentang keluarganya, dia tahu seberapa tinggi posisi ayahnya di sekolah itu dan rasanya sangat tak pantas kalau Silvia mendapat perlakuan tak terpuji seperti apa yang ia lihat.
Chris tak tinggal diam, pemuda itu dengan kasar menarik Mirna pergi ke ruang kepala sekolah dengan Silvia yang mengejar di belakang mereka sambil terus meneriaki kakaknya untuk berhenti.
Chris mendorong keras Mirna ke hadapan Kepala Sekolah. "You have one job! Kenapa bisa ada pembully kaya dia berkeliaran di sekolah elit begini?!"
"Tunggu, tunggu, ada apa ini?"
"Vi, sini." Panggil Chris, menyuruh adiknya yang berdiri diam di ambang pintu untuk mendekat. Namun Silvia tetap diam saja di tempat tanpa menyahut.
"Vi, SINI!" Sentak Chris buat Silvia terkesiap dan terpaksa mendekat ke sebelah si pemuda.
Kedua tangan Chris mencengkram erat kedua pundak Silvia, pandangannya lurus tajam pada sang Kepala Sekolah. "Look what that piece-of-shit just have done to my sister. Dia nyiram adik saya pakai minuman bersoda." Tatapan Chris turun pada sosok Mirna. "What kind of Head Master you are, huh? Anak siapa sih dia berani-beraninya 'main' sama adik saya?"
"Chris, sabar dulu, ini bisa kita bicarakan secara baik-baik."
"No! Kalau udah seperti ini gak ada yang namanya bicara baik-baik. Anak seperti dia itu harus dikerasin biar kapok."
"Chris-"
"I don't fucking care, just kick this bitch out from this school. Kalau Ayah saya tahu soal apa yang terjadi sama adik saya hari ini, bisa saya pastikan Bapak juga akan didepak keluar oleh pihak yayasan karena tak becus mengurusi sekolah sampai muncul bibit cacat seperti DIA."
"Tapi, Chris-"
"Ah! Wait! Kalau gak salah... Nama beakang Bapak Lubis, kan?" Terka Chris setelah tak sengaja melihat nama lengkap Mirna di name tag yang terpasang di seragamnya.
Pria berkemeja itu hanya bisa terdiam, dia sendiri juga tak menyangka kalau putri semata wayangnya itu bisa berbuat sejahat ini kepada orang lain. Apalagi ke anak orang yang selama ini sudah menggajinya sebagai kepala sekolah.
"Bapak cuma punya satu anak perempuan, bukan?" Lanjut Chris.
Namun tiba-tiba saja Ayah Mirna bersimpuh di depan Chris sambil memohon. "Chris, tolong maafkan putri saya! Saya akui dia memang bersalah dan saya tidak pandai mendidik dia menjadi gadis yang baik. Saya benar-benar menyesal dan meminta maaf."
Refleks Chris termundur menjauh, kepalanya agak menunduk untuk melihat ayah Mirna yang kini bersimpuh satu meter jauh di depannya. "Bapak apa-apaan?! Saya tidak butuh permintaan maaf Bapak dan lagi, jangan bersimpuh pada saya! Berdiri dan bicara dengan baik!”
"Papa jangan bersim—"
"Diam, Aghata! Ini semua gara-gara kamu!" Potong sang ayah.
***
"Terus gimana? Lo dikeluarin dari sekolah dan naruh dendam kesumat ke Silvia?" Tanya Bams dan Mirna mengangguk.
"Gue pikir cuma gue yang dikeluarin dari sekolah, tapi ternyata Papa gue juga kena imbasnya kelakuan imbesil kakak Silvia."
Jeffrey mendecih. "Gak kebalik? Lo kali yang IMBESIL, bukan Bang Chris. Jelas dia bakalan marah besar setelah lihat adiknya lo kerjain kaya gitu. Otak lo di mana?"
"Terserah lo mau bilang gue imbesil atau apalah, yang pasti gue memang memendam dendam ke Silvia. Cewek gendut itu udah buat reputasi gue di sekolah jelek—"
"Silvia gendut? Mata lo picek?" Celetuk Bams yang kemudian diiringi dengan sebuah tawa mengejek. "Cewek tinggi langsing gitu lo bilang gendut? Perlu gue bawa lo ke optometri?"
Mirna melirik tajam Bams. "Gue yang kenal dia dari SMP, Lo yang baru kenal gak akan tahu gimana penampilan dia dulu yang gendut, pakai kacamata, kemana-mana bawa buku, rambut dikepang dua, sepatu merk lokal, tas gak bermerk— Siapa juga yang akan nyangka kalau dia anak dari orang paling berpengaruh di sekolah. Lusuh gitu."
"Sampah banget sih mulut lo?" Respon Jeffrey, memandang miris sekaligus benci pada Mirna.
"Roa," Pandangan Jeffrey beralih pada Roa yang berdiri di belakang kursi tempat Mirna duduk, tak mampu berkata apa-apa saking shock-nya mendengar cerita dari Mirna. "Kamu gak ikut terlibat dalam hal ini, kan?" Tanya Jeffrey.
Baru saja Roa hendak membuka suara, Mirna sudah terlebih dahulu menjawab untuk gadis itu. "Gak. Dia gak terlibat sama sekali. It's totally my fault."
"Soal beasiswa, apa itu juga lo?"
"Iya. Rasanya aneh waktu lihat nama cewek itu tercantum di daftar nama mahasiswa penerima beasiswa karena gue tahu seberapa kaya keluarga dia."
"Dia cari beasiswa juga punya alasan. Lo gak bisa begitu aja ngelakuin hal kaya gitu ke dia."
"Jeffrey, yang perempuan itu lakuin udah termasuk tindak penipuan!"
"But I think she deserve it because she's clever as heck! She's the smartass from all smartass, lo harus tahu kalau untuk mempertahankan beasiswa sampai dua tahun setengah ini tuh gak gampang dan butuh perjuangan! Dia di sini juga cuma tinggal sendirian, semua anggota keluarganya ada di luar negeri, dia dari keluarga broken home, please respect and behave to her."
"Ini yang semakin buat gue benci sama dia." Gumam Mirna.
"Maksud lo?"
"Terlalu banyak orang yang mau belain dia. Dia terlalu punya banyak back up. Dia anak seorang model terkenal, ayah dia punya perusahaan besar dan berpengaruh, kakak dia juga model di Amerika sana. Dari mana lo bisa bilang dia dari keluarga broken home?"
"Orang tua dia udah cerai, Mirna!"
"Bodo. Gue gak perduli. She deserve it." Cuek Mirna langsung berdiri dan berjalan pergi dari kantin.
"What the fuck? That bitch.." Gerutu Bams.
**
"Mas gak akan bawa kamu ke mana-mana." Tukas Chris mendudukkan diri di sofa, melipat kedua tangannya di depan dada membuang muka tak acuh.
Silvia yang sudah siap pergi dengan memasang gendongan kangguru di pundaknya itu menatap sang kakak dengan sebal. "Mas jangan egois dong! Uang Mas kan banyak, masa ngajak aku sama Ben jalan-jalan keluar aja gak mau? Jadi orang tuh jangan pelit-pelit! Nanti kuburannya sempit!" Semprot Silvia.
Chris kontan menoleh menatap Silvia dengan tajam. "Kamu tahu, kan kalau Masmu ini model?"
"Ya terus?"
"Mas tuh terkenal, bisa bahaya kalau Mas keluar ke luar sana jalan-jalan sama kamu juga bayi itu. Bisa-bisa ada rumor aneh yang bakal tersebar ke seluruh belahan bumi—"
"Stop messing around and take us to the zoo." Potong Silvia.
"Na na." Tolak Chris menggeleng sombong.
"Fine." Silvia melepas gendongan yang sudah setengah terpasang di tubuhnya dan melemparkan benda tersebut pada Chris.
Gadis itu berjalan dengan langkah lebar menuju kamarnya lalu kembali dengan ponsel di tangan. Dengan tampang kesalnya dia menghampiri speaker bluetooth di samping televisi ruang tamu, menyalakannya dan menyambungkan benda tersebut dengan ponselnya.
Saat sudah tersambung Silvia pun mulai mencari lagu di music player ponselnya. Sejak dulu Chris selalu melarang Silvia untuk mendengarkan lagu yang punya lirik explicit dan yang paling Chris cegah agar tidak didengarkan.
Sayangnya...Sekarang Silvia malah dengan lancang memutar salah satu lagu Cardi B dengan volume yang lumayan kencang. WAP adalah pilihan Silvia.
"VI! MATIIN GAK!?!? MATIIN!!" Seru Chris berlari ke kereta bayi di samping sofa dan menutup kedua telinga Ben dengan kedua tangan besarnya.
"HA? APA?! AKU GAK DENGER! AKU LAGI PEGANG HAPE!"
"MATIIN, VI!!"
"HA? KELINGKING?"
"MATIIN!"
"KERITING?"
"MATIIN!!"
"KANCING?!"
"MATIIN ASTAGA!!"
"NAGA?!"
"MATIIIIIINN!!"
"MARTIN?!"
"THE FUCK, SHUT THAT SHIT DOWN!"
Dan tiba-tiba saja musik di speaker berhenti, karena ada satu panggilan masuk di ponsel Silvia yang menginterupsi si lagu.
Silvia menunduk melihat ponselnya, "Jeff?" Gumamnya lalu menggeser layar untuk menerima panggilan.
"Halo?"
"Sil, kamu di mana? Eh? Kok suara aku balik?"
Silvia menepuk jidat, lupa belum memutus sambungan ke speaker bluetooth miliknya. Tanpa menjawab dia langsung mematikan speaker di sampingnya. "Kenapa nelpon?" Tanyanya.
"Kamu di mana?"
"Di apartemen."
"Jangan kemana-mana, aku sama Bams mau ke sana."
"Mau ngapain?"
"Nanti juga tahu. Bye."
Silvia menjauhkan ponselnya dari telinga, menatap layar ponsel tersebut dengan dahi berkerut.
"Tijel." Gumamnya.
SEEET—
Tiba-tiba Chris menyahut ponsel di tangan adiknya, mengutak-atik apa saja yang ada di dalam sana.
"Mas mau ngapain?!"
"Hapus hal-hal yang gak seharusnya kamu punya di sini."
"Bitch."
"Kamu ngomong apa barusaaaaan???" Tanya Chris melotot, menyeringai penuh amarah.
***
"Lo yakin mau ketemu sama Silvia? Dia pasti tertekan banget kan soal masalah ini? Kalau lo nanya langsung ke dia—"
"Gue mau nemuin Silvia karena gue gak bisa langsung begitu aja percaya sama cerita Mirna. Dia aja bisa tega ngelakuin ini ke Silvia, pasti dia juga gak akan sungkan buat bikin cerita bohong kaya tadi."
"Iya sih, tapi ini lo bawa mobil gue jangan ngebut-ngebut gini juga dong!! Mahal nih!!"
Tak butuh waktu yang lama, sampailah Jeffrey dan Bams di apartemen. Mereka langsung menuju lantai tempat unit Silvia berada.
Silvia yang merasa bingung dengan kehadiran dua pemuda ini pun cuma bisa mempersilahkan mereka masuk dan duduk di sofa ruang tamu bersama dengan Chris dan Ben.
"Jadi, kalian ke sini mau ngapain?" Tanya Silvia dengan sebelah alis terangkat.
"Ada yang mau aku tanyain." Ucap Jeffrey menatap lurus Silvia yang duduk di sofa seberangnya. "Kamu kenal sama Mirna?"
Silvia diam sebentar, matanya mengerjap beberapa kali. "Mirna yang mana?"
"Miriana Lubis." Sahut Bams.
"Ah! Lubis?" Silvia menepuk tangannya seperti baru mengingat belanjaan yang belum dibeli sesaat setelah sampai di rumah.
"Kamu kenal?"
"Kalian lagi bahas orang siapa?" Celetuk Chris yang memangku Ben, ekspresi wajahnya tampak agak risih mendengar nama Mirna.
"Mas, tolong jiwa rasisnya dipendam dulu." Ucap Silvia memperingatkan.
"Kenal kok. Kenapa emang?" Tanya Silvia balik melihat Jeffrey.
"Dia yang udah nyebarin gosip di kampus dan dia juga yang udah bilang ke pihak kampus soal latar belakang keluarga lo—" Ucapan Bams dipotong oleh sahutan dingin Chris.
"Emang apa yang salah sama latar belakang keluarga kami?" Chris menatap tak suka Bams.
Silvia yang tahu ke mana arah tujuan Jeffrey dan Bams datang ke tempatnya pun langsung bergerak cepat. Gak ada satupun orang di dunia ini yang boleh bahas tentang beasiswanya di depan Chris.
"Jeff, Bam—"
"Gak ada yang salah. Cuma beasis—"
"KECOA!!!" Pekik Silvia.
"KECOA! MANA?! MANA!?"
"AAAAKKKHHHHH!!"
"ANJING MANA KECOA?!!"
"OWEEEEEEEEE!!!"
***
Silvia menatap tajam dua orang yang duduk di seberang mejanya. Setelah membuat kegaduhan dengan berteriak ada kecoa padahal gak ada, Silvia dengan gemas langsung membawa dua pemuda itu pergi dari apartemen menuju café terdekat.
"Kalau kalian mau bahas soal beasiswa harusnya ngomong ke gue dari awal! Jangan tiba-tiba datang terus main bahas begituan di depan Abang gue. Dia gak pernah tahu kalau gue kuliah di sini pakai beasiswa, yang dia tahu gue kuliah pakai uang dari Papa gue. Lagian kenapa juga kalian bawa-bawa si Agatha? Dia ngapain emang?" Cerocos Silvia gemas.
"Ya sorry, aku gak tah—"
"Bisa stop ngomong pakai 'aku-kamu', gak?! Gue risih!" Potong Silvia menyilangkan kaki.
"Oke, gue minta maaf." Ucap Jeffrey mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu kembali menurunkannya. "Gue gak tahu kalau lo ngerahasiain soal beasiswa ini dari kakak lo. Gue sama Bams ke sini mau mastiin kebenaran apa yang udah Mirna ceritain ke kami."
"Dia yang udah nyebarin gosip di grup dan ngasih tahu ke pihak kampus soal keluarga lo. Intinya dia yang udah bikin beasiswa lo dicabut." Timpal Bams.
"Apa lo bilang?" Dahi Silvia mengkerut. "Si Agatha ngapain??"
Jeffrey menelan ludah kasar, ekspresi perempuan yang ada di depannya itu sama sekali tak bersahabat.
Namun seolah dapat mengontrol emosinya, Silvia menghela nafas dan melengos. "Mulai sekarang kalian gak usah sibuk mikirin soal masalah ini. Urusin aja masalah kalian masing-masing. Oh ya, Jeff, mulai besok lo urusin Ben sendiri aja ya?"
"He? Kok??"
"Gue akan coba untuk menyelesaikan masalah gue ini sendiri. Mulai besok gue akan angkat tangan soal Ben dan nyerahin dia sepenuhnya ke elo."
"Ya gak bisa gitu dong, Sil—"
"Bisa. Kenapa enggak? Sejak awal kan lo yang ngotot pengen ngerawat dia."
"Lo jangan egois—"
"Egois? Lo kali yang egois. Lo yang ngotot, lo yang minta, lo yang gak mau dengerin omongan gue, apa pantas lo bilang kalau gue egois. Lo yang egois, Jeff. Sampai seminggu ke depan, Ben jadi tanggung jawab lo. Gue, gak bakal ada di sini sampai masalah gue selesai."
Jeffrey ternganga, wajahnya berubah pucat pasi. "G-gue... Gue mana mampu ngerawat Ben sendiri?" Katanya memelas.
"Temen lo kan banyak, Matteo, nih si Bambang, Milo, Jagat, Dika, Yogi. Mereka pasti maulah bantuin lo."
Dan Bams dengan tampang tak percaya melotot dengan ucapan Silvia.
***
2 Hari Kemudian...
"Aaaaa~! Baju gueeee!!" Pekik Bams berlarian keluar dari kamar mandi dengan keadaan baju mahalnya yang setengah basah di bagian perut.
"Apaan sih, Bam?! Teriak-teriak mulu dari tadi!" Tegur Dika yang sedang sibuk memasak makan siang di dapur bersama dengan Matteo.
"Gimana gue gak teriak-teriak?! Ini baju limited edition gue masa dikencingin sama si Ben?! DIKENCINGIN! AAAKKKHHHHH!!" Hebohnya histeris.
"Lo doang yang dikencingin? Si Milo enggak? Lo mandiin si Ben sama dia, kan?" Tanya Jagat yang duduk selonjoran di sofa ruang tamu.
"NAH ITU! Entah itu bayi sensi sama ketampanan gue atau gimana, dia kalau digendong sama Milo aja diem, giliran mau gue mandiin malah nendang-nendang!" Curhat Bams setengah kesal.
Keluarlah Jeffrey dari dalam kamar dengan handuk dan pakaian bayi, tapi hidung bangirnya malah mencium sesuatu yang merusak indera penciumannya.
"Kok ada bau pesing sih? Ada yang kencing di pot bunga gue ya?" Celetuk Jeffrey memandang seluruh temannya penuh selidik.
"Tuh, si Bambang! Dia kencing sembarangan!" Tunjuk Yogi yang sedang nyemil keripik kentang di atas karpet depan TV.
Mata Jeffrey pun mendarat pada sosok Bams, tatapannya tajam penuh amarah.
"Apaan anjir?! Bukan gue! Si Ben tuh ngencingin gue! Tanggung jawab lo! Gue gak bawa baju ganti nih!" Bantah Bams sebelum Jeffrey sempat mengomel.
Wajah kaku Jeffrey pun berubah mendatar. "Oh, lo dapat jackpot?" Tanya Jeffrey dengan datar.
"JACKPOT APAAN ANJIR?! INI BAJU GUE GIMANA ASTAGA?!!"
"KOK KAYAK MEREMBES?!"
"JEP! GANTI RUGI HEH!!"