Pustaka
Bahasa Indonesia

Next Door

45.0K · Tamat
shilaviox
44
Bab
533
View
9.0
Rating

Ringkasan

Jeffrey dan Silvia merupakan tetangga di sebuah gedung apartemen. Tempat tinggal yang berseberanngan dan menempuh pendidikan di univesitas yang sama membuat keduanya jadi sering bertemu dengan satu sama lain. Suatu hari, ketika mereka sedang berjalan pulang bersama, mereka malah tak sengaja menemukan sosok bayi di pinggir jalan.

RomansaMetropolitanTeenfictionSweetAnak KecilKampusKeluargaSalah PahamMenyedihkanBaper

1

“Sekian pertemuan kita untuk hari ini, Bapak harap kalian bisa mengerjakan tugas kelompok kali ini dengan baik. Selamat sore.” Ucap Mr. Ray menutup mata kuliah Bahasa Inggris sore itu.

 

Silvia yang sudah selesai mengemasi barangnya pun bersiap untuk beranjak dari tempat duduknya sampai ada sebuah tangan dari belakang yang menahan gerakannya dengan menarik bagian belakang cardigan yang ia pakai.

 

“Lo mau kemana?” Tanya suara dari belakang tanpa melepas pegangannya pada pakaian Silvia.

 

Silvia mengeratkan gigi, lalu menoleh ke belakang, menghempas kasar tangan kanan pemuda yang duduk di belakangnya.

 

“Sopan dikit kenapa!” Sentak Silvia menatap tajam sosok yang kini sudah ada di depannya setelah dia membalikkan badan.

 

“Salah lo sendiri mau main cabut aja.” Balasnya menatap datar Silvia.

 

"Siapa yang mau cabut? Gue mau pulang. Sumpek seharian di kampus ketemu muka lo terus."

 

"Sama, gue juga sumpek lihat muka lo terus." Katanya sambil berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jeans. "Gak di apartemen gak di kampus, tiap hari ketemu lo terus. Bahkan sekarang harus satu kelompok sama lo. Ini takdir atau apa sih? Suram banget."

 

Rahang Silvia mengeras. Kedua tangannya udah mengepal di samping badan, siap untuk meninju wajah rupawan Jeffrey di tempat. Tapi, tingkat kesabaran Silvia masih tinggi, jadi lebih baik dia meremas bahan kardigannya sendiri sampai lecek daripada harus ngotorin tangannya dengan nyentuh kulit cowok yang katanya paling ganteng sekampus satu ini.

 

"Jadi, kita mau ngerjain di mana?" Toleh Jeffrey pada Silvia, kedua tangan masih di saku.

 

"Emang biasanya ngerjain di mana? Kenapa pakai nanya segala." Tukas Silvia retoris, mengingat setiap mata kuliah Bahasa Inggris dia selalu kena satu kelompok dengan lelaki ini.

 

"Kedai sana lagi? Gak bosen lo?" Tanya Jeffrey merengut.

 

Silvia memutar bola mata malas lalu tanpa membalas langsung berjalan keluar dari kursinya menubruk bahu Jeffrey keras. "Yang deket apartemen kita cuma itu kedai, kalau lo mau ngerjain di tempat lain, ya lo pikir aja sendiri." Ucapnya sembari berjalan menuju pintu kelas.

 

"Heh! Tunggu!"

 

***

 

"Lo yakin kita ngerjain di sana lagi?" Tanya Jeffrey untuk yang kesekian kalinya, sembari berjalan mengekor di belakang Silvia.

 

"Terus mau lo di mana? Binatu apartemen? Lobby apartemen? Atau kita lesehan di taman kampus?" Jawabnya ngawur.

 

"Ya gak di tempat yang lo sebutin tadi juga sih." Ucap Jeffrey. "Disekitar sini 'kan juga banyak café."

 

"Gue mau ke mini market." Celetuk Silvia berbelok dari trotoar ke sebuah mini market bernuansa merah biru, mengabaikan Jeffrey.

 

Jeffrey mendecak sebal, tapi juga tetap mengekori Silvia sampai masuk ke dalam toko.

 

Silvia jalan ke rak makanan ringan, Jeffrey juga ikut. Silvia jalan ke tempat bumbu masakan, Jeffrey juga ikut. Sampai Silvia hampir jalan ke tempat penuh perlengkapan "khusus" cewek, Silvia udah terlebih dahulu berbalik dan masang tatapan tertajam pada Jeffrey.

 

"Lo kalau gak mau beli apa-apa mending nunggu di luar aja, daripada terus ngikutin gue kemana-mana kaya Helly. Lo gak malu pergi ke 'rak cewek'?" Ucap Silvia menunjuk sekilas rak di belakangnya yang penuh dengan perlengkapan menstruasi wanita.

 

Jeffrey menahan nafas, mukannya seketika memerah malu melihat tempat yang ditunjuk gadis di depannya. Tanpa pikir panjang Jeffrey langsung memutar badan dan pergi ke rak lain yang menurutnya lebih "normal" untuk dikunjungi seorang laki-laki. Ya, lebih baik dia lihat-lihat deodorant sama alat cukur sih.

 

***

 

"Terima kasih telah berbelanja di Indoapril. Silahkan datang kembali." Ucap sang kasir setelah memberikan kembalian uang belanja pada Silvia.

 

Sambil membawa dua plastik besar belanjaan putih di kedua tangannya, Silvia mengangguk ramah pada sang kasir dan berjalan keluar dari dalam toko.

 

Di kursi luar sudah ada Jeffrey yang sejak sepuluh menit yang lalu memutuskan untuk menunggu Silvia di luar toko daripada terus-terusan berdiri di rak sampo sambil dilirikin Mbak-mbak kasir yang senyam-senyum gak jelas.

 

Melihat Silvia keluar dari pintu kaca, Jeffrey pun dengan cepat bangkit dari tempatnya dan mengambil alih satu plastik di tangan Silvia. "Gue bantuin." Katanya yang tanpa menunggu balasan langsung berjalan cepat mendahului Silvia.

 

"Jeff, kita udah ngelewatin halte! Lo kenapa suka banget sih jalan kaki!" Bentak Silvia mengeluh.

 

Ini sudah 15 menit lebih mereka jalan kaki untuk balik pulang ke apartemen yang bisa dibilang jauh dari kampus.

 

"Jalan kaki tuh sehat, Sil! Jadi kita harus sering-sering jalan kaki!" Balas Jeffrey, memutar badan melempar senyum cerah pada Silvia.

 

"Sehat kepala lo! Kaki lo panjang, enak sekali jalan dua langkah kaki gue. Belanjaan gue berat kali! Lo enak cuma bawa kapas, lah gue? Ini jauh lebih berat daripada punya lo!" Protes Silvia dengan muka tertekuk.

 

"Kapas?" Bingung Jeffrey berhenti di tempat, perlahan membuka kantong plastik yang ia bawa. "Buat apa lo beli kapas sebanyak in—" Muka Jeffrey kembali memerah, dirampasnya kantong plastik yang dibawa Silvia dan menukarnya dengan kantong yang ia bawa.

 

"Harusnya dari tadi lo bilang kalau yang gue bawa begituan! Rese' banget sih lo!" Protes Jeffrey menahan malu.

 

Silvia mendecih, melengos pergi menuju kursi panjang di samping trotoar dan duduk di sana seraya mengambil ponsel dari saku celana. Jeffrey mendekat, menaruh kedua tangannya di atas pinggul. "Lo ngapain malah duduk? Ayo lanjut jalan!"

 

Silvia mengerutkan hidung, menatap jengkel Jeffrey. "Lo kalo mau jalan ya jalan aja terus. Gue mau pesen Grab." Jawabnya kembali merunduk, lanjut memesan taksi online dari aplikasi ponselnya.

 

"Oh, ya udah. Gue ikut. Capek." Celetuk Jeffrey ikut duduk di sebelah kantong plastik belanjaan Silvia, buat gadis di sebelahnya melirik sambil menggeleng pelan. Setelah order taksinya sudah ada yang mengambil, Silvia pun kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan menunggu.

 

"Sil."

 

"Hm?"

 

"Lo denger ada suara gak?"

 

"Suara apa?"

 

"Kaya suara bayi nangis gitu."

 

"Gak usah macem-macem lo, Jeff! Udah mau maghrib nih!"

 

"Gue serius! Lo dengerin baik-baik deh."

 

Keduanya terdiam, masing-masing memasang telinga dengan seksama mendengarkan suara samar yang kata Jeffrey suara tangisan bayi.

 

“Oweek! Oweek!”

 

Bulu kuduk Silvia langsung berdiri. Suara tangisan bayi yang ia dengar barusan buat sekujur tubuhnya merinding ketakutan. "Jeff! Ayo lanjut jalan aja!" Ajak Silvia menarik lengan hem yang dipakai Jeffrey.

 

"Bentar dulu," Jeffrey menyingkirkan tangan Silvia dari lengan bajunya. "Gue mau cari sumbernya." Katanya bangkit dari kursi.

 

Mata Silvia membulat. "Jeff! Jangan!" Bisiknya membentak.

 

"Ssstt!" Desis Jeffrey menaruh telunjuknya di atas bibir, menyuruh Silvia untuk diam.

 

Mata Jeffrey perlahan beralih pada semak-semak di pinggiran trotoar yang di di sampingnya ada tong sampah cukup besar yang berjarak dua meter dari tempat dia dan Silvia menunggu taksi online.

 

Perlahan Jeffrey mendekat ke arah tong sampah, masih dengan seksama mendengarkan suara bayi yang lambat laun terdengar semakin jelas.

 

Pertama Jeffrey memeriksa ke dalam tong sampah, tapi tidak menemukan apa-apa selain sampah itu sendiri. Lalu dia berpindah ke semak-semak, tapi juga nihil. Sekarang Jeffrey jadi ikutan merinding. Di tempat sampah gak ada, di semak-semak juga gak ada, tapi suara tangisnya masih bisa Jeffrey dengar dengan jelas.

 

"Woy, di kardus tuh!" Seru Silvia dari belakang pohon, berlindung dari suara bayi yang ia dengar.

 

Jeffrey menoleh, menatap Silvia dengan dahi berkerut. "Lo ngapain di situ? Kaya tokek tau gak."

 

"Masih sempetnya lo ngehina gue! Cek tuh kardus!" Tunjuknya lagi.

 

Jeffrey mendesah dan kembali melihat ke tong sampah. "Kardus? Mana kardus?" Tanya Jeffrey lagi, masih mencari-cari.

 

"Mata lo buta atau katarak sih?! Masa kardus segede itu gak kelihatan?! Samping tempat sampah tuh!" Hardik Silvia kasar.

 

"Ya lo gak usah sambil ngehina juga!"

 

"Mata dibalas mata! Ngehina dibalas ngehina!" Serunya.

 

Jeffrey mendecak, cowok jangkung itu perlahan menghampiri kotak kardus yang dimaksud Silvia. Semakin Jeffrey mendekat semakin jelas pula suara tangis bayinya.

 

Dia menunduk, duduk berjongkok diri di depan kotak kardus tersebut. Melihat Jeffrey yang tampak ragu untuk membuka kotak tersebut, Silvia dari balik pohon kembali berteriak. "Buka ih! Biar bisa cepet pulang!"

 

"Hish! Iya iya!!" Balas Jeffrey lalu dengan cepat membuka kotak di hadapannya.

 

Mata Jeffrey terbelalak kaget. "Sil! Ada bayi!"

 

***

 

"Tolong jaga bayi ini dengan baik, umurnya baru masuk empat bulan." Baca Jeffrey pada selembar kertas yang tergeletak di dalam kardus setelah Silvia mengangkat dan menggendong bayi yang ada di dalam kardus.

 

"Jeff, ayo laporin ke polisi. Pembuangan nih namanya, orang tua sialan!" Umpat Silvia sambil menimang bayi laki-laki yang kini sudah terdiam setelah pindah dalam dekapannya.

 

"Yakin lo? Nanti kita lagi yang disangka mau buang itu bayi ke kantor polisi."

 

Dahi Silvia mengkerut. "Maksud lo apaan? Kenapa jadi kita yang dituduh mau buang bayi? Siapa juga orang bego yang mau buang bayi di kantor polisi?"

 

"Ya lo tau sendirilah, jaman sekarang. Hubungan di luar nikah. Kalau kita bawa bayi ini sama-sama ke kantor polisi, yang ada kita yang disangka orang tua dia." Jelas Jeffrey.

 

Silvia langsung memasang tampang jijik. "Idih! Bayanginnya aja gue gak sanggup! Ya kali gue begituan sama lo! HIH!" Ia bergidik ngeri.

 

"Namanya juga pikiran orang awam. Gue juga mana sudi begituan sama lo. Geli." Jeffrey bergidik ngeri sendiri.

 

"Terus bayi ini mau lo apain?"

 

"Kok gue doang sih? Kan kita yang nemuin."

 

"Sorry, Jeff. Lo yang pertama dengar bayi ini nangis, lo juga yang bertanggung jawab atas bayi ini. Bukan gue." Silvia angkat tangan.

 

"Tapi bayinya anteng gitu tuh pas lo gendong."

 

"Gak ada hubungannya ya, Jupri!"

 

"Dada lo kayanya anget banget, sampe ndusel-ndusel gitu dia." Lirik Jeffrey tak tahu malu.

 

"Heh! Bangsat! Mata lo minta gue colok?!"

 

***

 

"Kalian yakin ini bukan anak kalian?" Tanya Pak Polisi dengan tanda nama Deftian, menatap penuh selidik dua muda-mudi di depannya, yang mana salah satunya kini sedang menggendong bayi yang tengah terlelap.

 

"Yakinlah, Pak! Masa kami bohong sih? Kami beneran nemuin bayi ini di dekat tong sampah." Jelas Silvia menenteng kardus yang dipakai pelaku untuk membuang si bayi.

 

"Kami masih tahu batasan, Pak. Kami juga gak akan ngelakuin hal itu." Timpal Jeffrey.

 

Pak Polisi berkumis tipis itu mengangguk-anggukkan kepala, seolah percaya dengan ucapan Jeffrey dan Silvia. "Ya sudah, bayi itu bisa kalian tinggal di sini. Tapi dengan syarat, jika sampai dalam waktu satu minggu belum ada orang tua yang datang kemari, terpaksa bayi ini akan kami kembalikan kepada kalian. Setuju?"

 

Kedua anak kuliahan di depannya itu mengerjap beberapa kali. Mencerna secara perlahan kalimat tawaran dari Pak Polisi. Jeffrey menoleh begitupula dengan Silvia, keduanya saling bertukar pandang seolah sedang bertelepati.

 

‘Jeff, apaan nih? Gue nggak mau ngerawat bayi!’

 

‘Tuh! Gue bilang juga apa! Kagak bakalan percaya kan pihak polisinya!’

 

‘Gue gak suka anak kecil!’

 

‘Tapi gue suka.’

 

‘Ya lo rawat aja sendiri sana! Gue gak mau ikut campur!’

 

‘Gak bisa gitulah! Kita nemuin bareng-bareng, kita juga harus ngerawat dia bareng-bareng!’

 

‘Gue belum pernah pacaran, Jeff! Gue gak mau sampai ada yang salah sangka dan buat gue jomblo selamanya!’

 

‘Lo jomblo karena sifat serampangan lo! Perbaikin diri dulu sana! Jangan nyalahin bayi yang gak berdosa!’

 

‘Gue jadi curiga kalau ini bayi lo, Jeff.’

 

‘What the-- YA BUKAN LAH!’

 

‘Udah jujur aja. Lo yang paling ngotot di sini mau ngerawat itu bayi. Cocok kok lo ngendong bayi kaya gitu! Dua jempol buat lo!’

 

‘Ini. Bukan. Bayi. Gue!’

 

Pak Deftian menjentikkan jarinya berulang kali di depan wajah Jeffrey dan Silvia yang sedang beradu argumen lewat ekspresi wajah. "Hei, nak!" Tegurnya buat keduanya tersadar dan menoleh.

 

"Sudah debatnya? Jadi mau gimana? Bayinya ditinggal di sini atau mau kalian bawa pulang?" Tawar Pak Deftian sekali lagi.

 

"Baw-"

 

"Tinggal sini aja, Pak!" Selak Silvia, buat Jeffrey melirik tajam karena omongannya dipotong.

 

"Kami bawa pulang, Pak!" Ketus Jeffrey.

 

"Lo apa-apaan sih?! Taruh sini, Pak!"

 

"Bawa pulang, Pak!"

 

"Taruh sini!"

 

"Bawa pulang!"

 

"Taruh sini!"

 

"Bawa pulang!"

 

"Taruh sini!!"

 

"Bawa pulang!!"