2
Silvia mengusap wajah kasar, sepertinya hari ini adalah hari tersial untuknya. Pertama, dia harus kerja satu kelompok tugas dengan Jeffrey. Kedua, dia harus pulang jalan kaki karena Jeffrey. Ketiga, dia harus berdebat di kantor polisi karena Jeffrey. Dan sekarang dia malah mengizinkan Jeffrey masuk ke dalam apartemennya bersama dengan bayi lelaki yang mereka temukan sore tadi di pinggir jalan.
"Sekarang apa? Kenapa lo bawa dia kesini? Bawa ke tempat lo sana, kan lo yang ngotot pengen ngerawat dia." Ucap Silvia menekan.
"Ya kan lo cewek." Singkat Jeffrey.
"Terus hubungannya apaan? Gue udah bilang, kan kalau gue gak suka anak kecil. Please deh, lo urus aja sendiri. Sana balik ke tempat lo." Usirnya malas, seratus persen ogah-ogahan.
Jeffrey menghela. Pemuda dengan rambut cokelat gelap itu menguatkan gendongannya pada sang bayi yang masih terlelap dalam dekapannya dan perlahan tapi pasti berpindah bergeser mendekat pada Silvia yang duduk di ujung sofa, menutup muka gusar.
"Sini deh, coba lo pangku dulu. Hitung-hitung memulai kecintaan lo akan anak kecil. Imut gini loh dedeknya, masa lo tega nolak sih?" Bujuk Jeffrey tak mau menyerah.
Silvia perlahan menurunkan sebelah telapak tangannya dari wajah dan melirik bayi lelaki yang ada di pangkuan Jeffrey.
Okay, Jeffrey memang benar soal kadar keimutan bayi itu. Dan Silvia sendiri juga tipe orang yang mudah tergoda dengan sesuatu yang imut dan menggemaskan. But, not for children.
Tapi, untuk bayi yang satu ini... Entah kenapa Silvia merasakan sesuatu yang berbeda. Iba? Tentu dia iba, siapa juga yang tidak akan iba dengan anak yang sengaja dibuang oleh orang tuanya? Meskipun di dalam kardus besar tadi juga ada satu sachet susu formula dan bubur bayi-yang sepertinya sengaja ditinggalkan oleh orang tuanya-dan juga dua pasang pakaian yang dijadikan pengganti bantal si bayi, tapi tetap saja kan orang tuanya membuang bayi lelaki itu dengan sengaja?
Silvia tahu ada sesuatu yang lebih dari bayi ini. Tapi dia tidak tahu itu apa.
"Ben." Celetuknya, mata masih memandang bayi yang masih terlelap.
Alis Jeffrey terangkat sebelah. "Ben?" Tanyanya menatap aneh Silvia.
"Gue mau ngasih nama dia Ben. Lo setuju, gue bakal ikut jagain dia. Kalau enggak, lo urus aja dia sendiri."
"Wah, beda emang ya urusan sama cewek diktator kaya lo." Balas Jeffrey tak menyangka.
"Take it or leave it?"
"Hh, I'll take it."
***
"Jeff, duit tabungan lo ada berapa?"
"Kenapa nanya-nanya?"
"Lo mau biarin nih anak kelaparan besok? Lo gak mau gantiin popok dia? Dia kan juga butuh mandi, dia butuh sabun khusus. Belum lagi perawatan habis mandi, ya bedak, ya minyak. Gue rasa botol susu yang ada di dalam kardus tadi gak higienis deh, kita harus beli yang baru. Kita beliin dia juga stroller, biar bisa diajak jalan-jalan. Sekalian kita beli baju baru buat dia, kita cicil aja dua tiga baju dulu, terus kapan-kapan kita tambah lagi. Beli gendongan juga. Mainan sekalian, usia empat bulan kan udah mulai eksplorasi. Kita juga butuh keranjang tidur bayi gak sih? Kalau dibiarin tidur di kasur nanti malah lo gencet lagi pas ngelindur. Beli bak mandi juga! Kita beliin Ben baju yang imut-imut!" Cerocos Silvia sepindahnya mereka ke apartemen Jeffrey, menyiapkan tempat yang nyaman untuk Ben selama tinggal dengan mereka. Lebih tepatnya tinggal dengan Jeffrey.
Jeffrey terdiam untuk beberapa saat, lalu menggeleng pelan, ujung bibirnya terangkat sebelah tersenyum mengejek. "Kok kayanya di sini lo yang jadi super excited buat ngerawat si Ben? Gue aja belum mikir sampai ke situ." Ejek Jeffrey yang langsung dapat lirikan tajam dari Silvia.
Silvia mendecih, lalu tertawa hambar. "Ngomong apaan sih lo? Siapa juga yang excited? Gue cuma ngasih tau lo apa yang dibutuhin sama Ben selama dia tinggal sama lo." Bantahnya.
"Lagian lo tau begituan dari mana? Google?"
"Haha, iya."
"Gue kira lo bakal bantah lagi omongan gue."
"Toh kenyataannya gue emang tahu dari Google. Gak ada gunanya juga ngebantah." Ucap Silvia sembari membuka pintu kulkas dapur Jeffrey.
"Kenapa lo gak nanya ke Ibu lo aja?"
"Jeff, lo kayanya harus berhenti minum deh. Kita mulai bersih-bersih tempat lo dari sini." Tunjuk Silvia pada deretan kaleng bir di belakang pintu kulkas Jeffrey, pura-pura gak mendengar pertanyaan dari Jeffrey.
Jeffrey mendelik, dengan cepat bangkit dari sofa berlari menghampiri Silvia.
"Apa sih lo! Enak aja main mau buang-buang barang orang! Minuman gue gak ada hubungannya sama Ben!" Tolak Jeffrey berdiri membelakangi bagian dalam kulkas yang masih terbuka, membuat Silvia melepas tangannya dari pintu kulkas dan berjalan mundur selangkah ke belakang memberi jarak.
"Kalau lo mau hidup sama bayi, lo kurangin tuh kadar alkohol dari dalam diri lo. Buang tuh semua kaleng bir dan ganti sama minuman yang lebih sehat. Lo gak mau kan sampai terjadi apa-apa sama Ben kalau-kalau lo lagi mabok? Nanti gue lagi yang lo salahin." Tutur Silvia melipat kedua tangan di depan dada.
Jeffrey mendengus, tapi tetap menurut dengan ucapan Silvia. Dia pergi ke laci dapur dan mengambil satu kantong plastik putih ukuran sedang, lalu balik lagi ke kulkas dan masukin semua kaleng bir di sana ke dalam kantong plastik. "Nanti gue kasih ke Matteo. Biar gak mubazir." Ucap Jeffrey.
Dahi Silvia mengkerut. "Matteo tinggal di sini?" Tanyanya dengan alis bertaut.
Jeffrey menoleh ke samping lalu menganggukkan kepala. "Iya. Lo gak tau? Dia baru pindah sebulan yang lalu. Tempat dia satu lantai di bawah kita.”
- 09:20 PM -
"Sil, lo yakin mau ikut garage sale?" Tanya Jeffrey tak yakin. "Lihat deh, banyak ibu-ibu gitu, udah kayak pasukkan perang kerajaan Majapahit tahu gak. Kalau gue ikut masuk, ini Ben kalo kegencet gimana? Terus nangis, terus sesak nafas." Cemas Jeffrey menunjuk Ben yang ada di kantung depan gendongannya. Bocah kecil itu sudah tidak tidur lagi.
"Ya lo gak usah ikut masuk. Kalian tunggu di sini aja."
"Terus yang bayar nanti siapa kalau gue gak ikut masuk?"
"Nanti kalau gue udah masuk antrian kasir, lo gue chat. Santai." Balas Silvia sambil mengacungkan ibu jari.
2 jam kemudian...
"Semuanya total tujuh juta lima ratus enam puluh delapan ribu lima ratus satu Rupiah."
Hidung Jeffrey langsung kembang kempis setelah mendengar suara si Mbak-mbak penjaga kasir.
"M-maaf, Mbak.. B-berapa tadi totalnya?" Tanya Jeffrey lagi tergagap, masih belum yakin dengan apa yang barusan ia dengar.
"Tujuh juta lima ratus enam puluh delapan ribu lima ratus satu Rupiah, Bapak.." Ulang Mbaknya lagi dengan halus.
Jeffrey mengulum senyum kecut. "Mbak yakin gak salah hitung?" Tanya Jeffrey lagi, giginya menggemeretak menahan emosi.
Mbaknya menggeleng dan tetap memasang senyum ramah. "Tidak, Pak. Ini sudah total hitung dari komputer."
"Komputernya error kali."
"Tidak, Bapak.." Mbaknya mulai masang senyum paksa.
"Saya masih dua puluhan, Mbak. Nggak usah manggil Bapak, mentang-mentang saya bawa bayi."
"Oh.. Jadi Bapak mau bayar pakai cash atau kartu kredit? Mungkin juga punya kartu member?" Senyum Mbak kasir semakin melebar, menampakkan gigi atasnya, menekanankan kata "bapak" dalam kalimatnya.
"Kan udah saya bilang saya belum bapak-bap-"
"HEH! ITU YANG DI DEPAN KAPAN KELARNYA SIH?! BURUAN UDAH MALEM NIH!" Teriak seorang ibu-ibu dari barisan belakang.
Jeffrey menghela nafas panjang, lalu dengan senyum palsu dia menoleh ke belakang dan balas berteriak.
"SABAR DONG! PERTARUHAN NYAWA GUE BUAT DUA BULAN NIH!"
***
"Kata pihak mall, besok pagi barangnya bakal diantar ke sini." Kata Silvia sembari meletakkan sebagian hasil barang belanjaan yang ia dapat dari garage sale di mall tadi ke atas sofa. Yang sebagian besar isinya didominasi baju bayi, popok, dan perintilan kecil perlengkapan bayi lainnya.
Jeffrey tak menjawab dan lebih memilih mendudukkan dirinya di sofa dan membuat kepala Ben bersandar di atas dadanya. Sekarang yang Jeffrey pikirkan bukan soal bagaimana barang yang lainnya akan diantar besok. Tapi uang jajan bulanan dari orang tuannya yang hampir ludes untuk membayar perlengkapan bayi yang dibeli oleh Silvia.
Seharusnya tadi Jeffrey ikut masuk ke dalam dan mengontrol pergerakan Silvia agar tidak mengambil barang yang tidak perlu. Mau namanya garage sale tapi kalau pas sampai kasir keluarnya angka yang bisa buat kantong kempes ya sama aja bohong.
Silvia ikut duduk di samping Jeffrey, mengambil alih Ben dari dalam kantung gendongan yang dipakai Jeffrey. Sambil mencubit pelan pipi gembil Ben, Silvia coba untuk membuat suara lucu sampai bayi kecil itu tertawa kecil.
"Anaknya Om Jeffrey imut banget cih! Emesh deh!" Ucap Silvia dengan suara yang dibuat sok imut.
Jeffrey melirik tajam gadis di sampingnya, mendengus dongkol. "Dia bukan anak gue, please." Gumamnya pelan, padahal yang belanja Silvia tapi yang kelihatan paling lelah dan pucat malah Jeffrey.
Silvia menoleh dan membalas gumaman Jeffrey dengan satu cengiran lebar, lalu balik lagi fokus ke baby Ben yang ada di pangkuannya.
"Heng, Papa Jeff ngambek." Ucap Silvia lagi, masih dengan suara yang sama kepada Ben. "Pasti pusing mikirin uang deh, ya gak, Ben?" Lanjutnya mencolek jahil pipi gembil si bayi.
"Umur empat bulan udah bisa niruin omongan orang loh, Sil. Jangan ngomong yang aneh-aneh deh depan dia." Titah Jeff memperingatkan.
Tapi, bukan Silvia namanya kalau gak bandel. Nyatanya gadis berkuncir kuda itu masih terus berkicau semaunya di depan Ben.
"Hng, Papa Jeff jahat ya, Ben? Kakak jadi chedih~"
-01:24 AM-
Setelah menidurkan Ben di kamar Jeffrey, Silvia pun lantas berpamitan untuk kembali ke apartemennya dan istirahat. Tapi, saat perempuan itu hendak keluar dari ambang pintu apartemen, Jeffrey dengan cepat menahan lengan Silvia. Buat gadis itu menengok menatap Jeffrey penuh tanya.
"Kenapa lagi?"
"Gue gak akan maafin lo ya buat hari ini!" Titah Jeffrey tajam.
"Apa? Soal uang lo? Tenang, bakal gue ganti kok-"
"Bukan soal uang." Potong si lelaki.
"Terus?"
Perlahan Jeffrey melepaskan cengkramannya pada lengan Silvia dan membuat gadis itu berputar hingga sempurna menghadap Jeffrey. Kepala Jeffrey jadi merunduk malu, jari-jari kakinya bergerak tidak teratur menandakan ketidak tenangannya.
"Soal Ben." Cicitnya pelan.
Sebelah alis Silvia terangkat heran. "Bukannya lo sendiri yang mau ngerawat dia? Kenapa jadi gue yang lo sal-"
"Bukan~!" Suara Jeff mengayun. "Tapi soal dia yang-"
"Ah, dia yang bilang ‘bbabba’ tadi?!" Selak Silvia menunjuk Jeff yang mana langsung dapat bekapan mantap dari telapak tangan lelaki jangkung tersebut.
"Jangan keras-keras, astaga!"
Dengan cepat Silvia menyingkirkan tangan Jeffrey dari mulutnya dan mengusap-usap bibirnya sendiri dengan ujung jaket abu-abu yang ia pakai.
"Bleh! Gak usah ngebekap juga sih! Sialan!" Umpat Silvia tak suka.
"Ya makannya kalau ngomong tuh yang halus. Oh, ya, soal uang juga gue belum maafin lo! Itu uang jajan gue dua bulan tahu!"
Bola mata Silvia berputar malas, nafasnya menghembus pelan sebelum membalas. "Kirimin gue nomor rekening lo, nanti gue transfer." Singkatnya santai.
"Eh? Transfer-transfer apaan nih?"
Kepala Jeffrey dan Silvia serempak menoleh dan keduanya sama-sama membulatkan mata saat melihat sosok cowok berhoodie hitam kebesaran dengan kantong plastik putih di tangan kirinya tengah berdiri dengan wajah datar.
"J-Jagat!?"
***
Silvia menghela nafas, kini dia benar-benar sudah tak habis pikir kenapa dirinya mau kembali lagi masuk ke dalam apartemen Jeffrey hanya untuk memastikan kedua manusia sesama jenis di hadapannya kini tidak akan meminum minuman yang ada di dalam kantong plastik yang dibawa oleh Jagat.
"Jadi, lo ke sini mau ngajak Jeffrey minum?" Tanya Silvia pada Jagat, menyelidik.
Posisi gadis itu kini ada di depan layar televisi, melipat kedua tangan di depan dada seperti seorang ibu-ibu yang siap mengomeli kedua putranya yang telat pulang main.
Dari dalam tudung hoodie-nya Jagat menganggukkan kepala, membiarkan poni panjangnya jatuh sebagian di depan wajah. "Iya, memang mau apa lagi?"
"Duh, gak-gak." Silvia menggelengkan kepala. "Gak gue izinin, Jeff punya bayi di kamarnya." Celetuk Silvia tanpa pikir panjang, buat Jeffrey terlonjak dari tempatnya dan membekap mulut lancang Silvia untuk yang kedua kalinya.
Jagat terdiam, matanya mengerjap berulang kali, pandangan manik matanya kini berpindah ke arah kiri, berusaha mengingat apa yang barusan ia dengar. "Sorry, tadi lo bilang apa?" Jagat kembali melihat ke depan, ekspresinya masih penuh tanda tanya.
"Bukan apa-apa! Nih cewek kalau ngomong suka seenaknya, jadi gak usah lo-"
Jagat menggeleng cepat. "Gue denger dia bilang lo punya anak, Jeff." Potong Jagat.
"AKH!!" Pekik Jeffrey refleks melepas bekapannya dari mulut Silvia dan merunduk melihat bekas gigitan di telapak tangannya.
"Makan tuh sakit! Jadi orang kok hobi banget bekap mulut orang lain!" Hardik Silvia kasar.
"Jeffrey beneran punya anak, Sil?" Tanya Jagat lagi, kini pandangannya berfokus kepada Silvia.
Silvia menoleh dan mengangguk mengiyakan. "Iya, baru empat bulan, tuh lagi tidur di kamar dia." Menunjuk pintu kamar Jeff dengan dagunya dan melirik tajam ke Jaehyun saat ia mengucapkan kata terakhirnya.
Sekarang Jagat jadi bingung sendiri mau percaya dengan omongan Silvia atau tidak. Pasalnya dari awal dia ke sini memang cuma mau mengajak Jeffrey untuk minum bersama sambil mengeluarkan keluh kesahnya, tapi kalau tiba-tiba dapat info mengejutkan seperti ini...
"Gue mau lihat bayinya." Celetuk Jagat seraya bangkit dari atas sofa dan bergerak cepat menuju pintu kamar Jeffrey yang setengah terbuka tanpa menunggu persetujuan dari pemiliknya.
Silvia cuma diam di tempat, tapi Jeffrey yang berdiri di sebelahnya sudah bergerak gelisah gak karuan. Ya mata melotot, mondar mandir, mau cegat Jagat tapi takutnya nanti temannya itu malah makin curiga.
Tolong hambamu ini Ya Tuhan!
Jagat memegang knop pintu di depannya dan mendorong daun pintu tersebut secara perlahan hingga terbuka cukup luas untuk sekedar menyembulkan sebagian kepalanya ke dalam kamar bernuansa putih tulang tersebut. Matanya menerawang menyelidik, lalu fokus pandangannya jatuh pada sosok bayi yang tengah tertidur pulas dengan posisi tengkurap di atas kasur, seolah sedang menikmati empuknya kasur mahal Jeffrey.
Kepala Jagat mengangguk dengan wajah yang pasti. Perlahan dia menarik kembali daun pintu yang ia pegang ke posisi semula dan berbalik memandang Jeffrey dan Silvia. Yang mana satunya setia dengan tampang poker face-nya sedangkan yang satunya lagi bergerak gelisah di tempat seperti maling ayam takut ketahuan warga.
"Itu.." Jagat membuka suara, ibu jarinya ia angkat menunjuk ke pintu di belakangnya. "Anak kalian?" Tanya Jagat dengan sebelah alis terangkat tinggi.
"Anak Jeff, bukan anak gue." Jawab Silvia sambil maju selangkah ke depan, meraih kantong plastik di atas meja dan melihat isi dalamnya. Ada satu pack bir kalengan yang sama seperti yang baru Jeff berikan kepada Matteo sebelum mereka pergi ke mall tadi, dan juga beberapa makanan ringan yang bisa dipakai untuk teman minum.
"Birnya gue bawa keluar, kalian bisa nikmatin makan malam kalian." Ucap Silvia seraya mengeluarkan beberapa bungkus makanan ringan dari dalam plastik.
Kontan aksi tersebut membuat Jagat bergerak dari tempatnya, medekat pada Silvia dan memposisikan kedua tangannya di atas pinggul dengan wajah tak terima. "Enak aja, itu bir belinya pakai uang gue. Ya kali mau main lo bawa kabur." Protes Jagat.
Silvia menoleh, memberikan Jagat tatapan 'tak perduli'. "Terus mau lo apa?" Tanya Silvia dengan sebelah alis terangkat, "Kalau gue tinggalin minuman ini di sini, yang ada kalian bakal curi-curi kesempatan buat minum dan... Dor!!" Silvia mengacungkan jarinya ke muka Jagat seolah sedang mengacungkan pistol, buat cowok itu memfokuskan bola matanya pada jari Silvia.
Jeffrey yang sedari tadi diam langsung maju selangkah dan menepuk pundak Silvia pelan. "Sil, seenggaknya kasih kita satu kaleeeenngg... Aja." Pinta Jeffrey dengan halus.
Siapa kira Silvia akan menoleh dan mengangguk menuruti permintaan Jeffrey. Cewek dengan tinggi yang hanya sampai pundak Jeffrey itu bahkan melemparkan senyum lembut yang belum pernah sekalipun ia tunjukkan pada si lelaki. Jeffrey yang mendapat tanggapan positif dari Silvia pun ikut tersenyum tulus.
Tapi yang namanya Silvia ya tetap Silvia.
Gadis itu sudah keluar dari apartemen Jeffrey sekitar satu menit yang lalu dan meninggalkan satu kaleng bir di atas meja, menyuruh Jeffrey dan Jagat untuk berbagi bersama.
"Woah, sumpah ya, Silvia tuh hatinya terbuat dari apa sih? Kejam amat!" Gerutu Jagat tak terima.
"Udahlah, di kulkas gue masih ada jus jeruk, baru beli tadi sama dia." Ucap Jeffrey menepuk punggung Jagat yang sontak buat Jagat menoleh sinis.
"Lo yakin itu bayi bukan anak lo berdua? Barusan lo secara gak langsung bilang habis belanja sama Silvia tau gak."
"Hng..." Jeffrey tersenyum kikuk. "Nanti gue jelasin."
***
Pukul 3 dini hari mata Silvia terpaksa terbuka lebar karena suara alunan nada dering dari ponselnya. Dia ingat kalau dia tidak memasang alarm di ponselnya dan dia baru ingat kalau itu nada dering khusus yang ia pasang untuk orang paling menyebalkan sedunia dalam hidupnya.
"Hhhrrgghh.. Jeff..." Erangnya menggeretakkan gigi.
Dengan setengah hati Silvia bangun dari ranjangnya, berjalan terhuyung-huyung menghampiri meja belajar di ujung kamar. Diambilnya ponsel yang masih mengalunkan lagu tersebut yang di mana layarnya menampilkan nama kontak spesial untuk Jeffrey.
Orang Aneh is calling...
"Halo-"
"Sil! Si Ben poop nih! Gue gak tahu caranya gantiin popok! Mana nangis terus lagi! GUE HARUS GIMANAA??!" Potong Jeffrey panik, dengan diiringi suara tangisan nyaring Ben sebagai BGM kepanikan Jeffrey.
Silvia mendengus, dengan sambungan telepon yang masih terhubung gadis itu berjalan keluar dari kamar, kemudian mengganti sendal rumahnya sebelum keluar dari apartemen dengan masih berbalut piyama.
Silvia berdiri di depan pintu apartemen Jeffrey, sebelah tangannya terangkat ke atas lalu jari telunjuknya menekan tombol bel intercom secara membabi buta. "Buka pintunyaaa." Gumamnya setengah sadar, jari masih senantiasa menekan bel di depannya.
Jeffrey mendengus, pemuda tampan itu langsung menutup sambungan telepon dan berlari menuju pintu depan. Dibukannya pintu tersebut dan menampakkan sosok Silvia dengan piyama bercelana pendek di atas lutut, berambut kusut ala orang bangun tidur dan jangan lupakan matanya yang baru setengah terbuka.
Tampilan langka Silvia ini kontan buat Jeffrey mendelik. Biasanya gadis di depannya ini senantiasa berpenampilan rapi di manapun ia berada, dan sekarang melihat sosok Silvia yang seperti ini bikin Jeffrey merasa sedang melihat orang lain.
"Lo habis kena angin topan di mana?" Tanya Jeffrey serius.
Wajah Silvia merengut, mata setengah terbukanya menatap si pemuda dongkol. "Mana Ben? Gue lagi gak mood buat adu mulut sama lo, gue mau cepet-cepet balik ke kasur."
"Di kamar."
Tanpa banyak basa-basi Silvia langsung masuk ke dalam apartemen Jeffrey melesat masuk ke kamar Jeffrey yang masih dipenuhi dengan suara tangisan Ben.
Jeffrey ikut masuk ke dalam kamarnya, berdiri tepat di belakang Silvia yang sedang sibuk melepas popok yang dipakai Ben.
"Nih." Kata Silvia menyodorkan popok berisi kotoron kepada Jeffrey.
"Lo apa-apaan sih?!" Seru Jeffrey mendelik.
"Gue mau ganti popoknya, lo buang nih ke tong sampah. Peka dong!" Balas Silvia memajukan popok yang ia pegang pada si lelaki.
"Ck, iya iya!"