3
"Karena gue bakal ngampus sampai nanti jam dua, tolong ya lo jagain Ben yang bener. Kalau dia nangis coba lo bikinin susu, kalau dia buang air tolong gantiin popoknya. Kalau lo gak bisa, kan ada youtube, cari aja tutorialnya. Terus nanti mungkin jam sepuluhan bakal ada barang kiriman yang datang dari mall, lo terima ya. Terus, jangan coba untuk ngumpat atau ngomong kasar di depan Ben, soalnya dia udah mulai belajar niruin omongan orang di sekitarnya. Cuma pa-pe-po aja sih, tapi tetep! Lo gak boleh ngomong yang aneh-aneh!"
Mendengar intruksi panjang lebar dari seorang Jeffrey jadi buat Matteo memutar bola mata malas. "Iya, iya, iya. Ini sejak kapan Tante lo nitipin anaknya ke lo? Banyak banget gini perintilan barang buat bayi."
Dan benar, Jeffrey sengaja berbohong demi untuk menutupi kenyataan yang ada pada seorang Matteo. Belajar dari pengalamannya dengan Bapak Polisi Deftian sore kemarin buat Jeffrey harus berpikir dua kali sebelum bilang ke orang-orang kalau dia menemukan seorang bayi di pinggir jalan.
Bukannya tatapan tersentuh yang ia dapat, malah bisa jadi tuduhan yang aneh-aneh akan jatuh ke dirinya. Misalnya; dituduh sudah punya anak padahal belum menikah, dituduh menculik bayi orang dan lain sebagainya.
Matteo memang teman dekat Jeffrey, tapi kalau untuk jaga-jaga juga gak ada salahnya, kan?
"Hng? Ya kan Tante gue yang bawa." Jawabnya cepat, Jeffrey paling susah kalau sudah bohong begini. Daun telinganya bisa langsung memerah kalau dia terus berbohong. Bahkan sekarang dia sudah mulai merasakan hawa panas di kedua telinganya, mendandakan dia harus sesegera mungkin keluar dari apartemennya.
"Eh, udah ya, gue udah telat nih. Jagain Jimin baik-baik, ya! Bye!" Pamitnya memutar badan dan berlari keluar dari kamarnya.
Matteo sendiri juga gak bisa bohong dengan dirinya sendiri. Well, mata Matteo masih sehat dan tadi dia jelas-jelas melihat perubahan warna telinga Jeffrey yang tadinya putih pucat menjadi agak kemerahan. Tapi Matteo cuma menggendikkan bahunya tak acuh dan memutar badan untuk bertemu dengan Ben yang sudah bangun dan terduduk di atas kasur.
"Woah, bener-bener ya, keluarga Jeffrey tuh semuanya emang punya garis keturunan cakep begini ya? Wah..."
***
Jeffrey tahu kalau hari ini dia punya dua kelas yang sama dengan Silvia. Tapi, entah kenapa, di kelas pertama tadi dia sama sekali tidak melihat batang hidung gadis satu itu.
"Tuh cewek kemana sih?! Padahal pengen banget tuh gue getok kepalanya pakai kamus." Gerutu Jeffrey masih mendam rasa kesalnya yang harus terpaksa berbohong kepada Matteo.
Tapi rasanya kalau dipikir-pikir lagi juga lebih mending kalau Jeffrey sendiri sih yang minta tolong ke Matteo. Tuduhannya masih agak normal sih, dan kecil kemungkinan untuk merusak nama baiknya. Tapi kalau Silvia sendiri yang minta tolong kepada Matteo? Woah, bisa jadi bahan gunjingan orang satu gedung apartemen.
Dan kemungkinan satu itu buat Jeffrey jadi teringat kenapa Silvia benar-benar menolak untuk merawat Ben. Yang mana sekarang sudah bisa ia terima, bahkan juga dia sendiri yang memberi nama.
"Anjir, Tsundere abis." Gumamnya mengejek, masih berjalan mencari-cari sampai masuk ke area kantin fakultas Sastra.
Sambil mengedar pandang, tau-tau Jeffrey malah gak sengaja menabrak orang.
"Sorry." Kata Jeffrey sambil mengangguk singkat tanpa melihat siapa yang barusan ia tabrak dan terus memilih untuk berjalan mencari sosok Silvia.
"Roa, yang tadi itu Jeffrey yang dari SMA kita bukan sih? Dia mantan lo, kan? Gila, makin ganteng aja!"
"Percuma makin ganteng sih, Mir. Dia ngelirik gue aja enggak. Padahal ada kali 3 kali gue punya kelas yang sama kaya dia."
"Eh? Masa? Dia gak sadar kali. Coba lo samperin aja, siapa tahu dia emang gak ngeh sama kehadiran lo."
"Gak ah. Kayanya dia juga udah punya pacar lagi."
"Ha? Tahu dari mana lo?"
"Kemarin waktu pulang gue lihat dia jalan bareng sama cewek. Jeffrey gak mungkin senempel itu sama cewek kalau gak ada hubungan apa-apa."
"Kan belum pasti. Coba aja deketin dulu, ngobrol, tanya ini itu, kalian juga waktu itu putusnya baik-baik, kan?"
"Nanti gue pikirin lagi deh."
"Nah, gitu dong!"
***
"Mas gak serius, kan? Kenapa gak pulang ke rumah Papa aja sih?"
"Deketan ke tempat lo lagi. Udahlah, cuma seminggu ini. Emang lo gak kangen sama your one and only lovable brother ini?"
Silvia mendecih, bahkan gadis dengan rambut panjang tergerai itu sengaja meludah ke tanah di samping jalanan paving tempat ia berdiri agar bisa di dengar oleh kakaknya.
"Lovable? Bleh. Gue bahkan lebih cinta sama kucing di rumah Papa."
"Gue lebih imut kali daripada si Suki. Minus lo udah naik berapa sih? Masa lo gak bisa lihat tingkat ketampanan Mas lo ini yang semakin menanjak di instagram?" Suara orang di ujung sana terdengar menyombong.
"Cih, instagram katanya. Pencitraan doang isinya, gue kan tahu asli lo kaya gimana. Udah ah, gue lagi di kampus nih."
"Bes..."
"WOY! SABLENG! DARI TADI DICARIIN JUGA!"
Omongan kakak Silvia tiba-tiba menghilang tergantikan dengan suara teriakan Jeffrey dari jarak satu meter dari tempatnya berdiri.
"...Ngerti gak?"
"Ha?" Silvia kembali fokus ke suara kakaknya setelah sekilas melihat Jeffrey.
"Ha he ha he! Periksa tuh telinga ke THT! Belajar yang bener!"
"Eh, Mas?"
"WOI!"
"APA SIH LO, AH!" Sentak Silvia kasar menatap Jeffrey tajam, lalu balik melihat layar ponselnya yang menunjukkan kalau panggilan antara dirinya dan sang kakak sudah terputus.
"Weits, harusnya yang marah di sini gue, bukan lo." Ketus Jeffrey.
"Ya jelas gue marah lah! Lo tuh ganggu obrolan gue sama Mas gue tau gak!" Kesal Silvia dengan muka merah padam.
Jelas mukannya merah, pertama, dia sudah dibuat kesal dengan kabar kakaknya yang akan menginap di apartemennya untuk seminggu. Kedua, kedatangan Jeffrey mengganggu komunikasinya dengan sang kakak. Ketiga, ini memang bawaan bulanan Silvia. Harap maklum.
"Ih! Lo kok malah jauh lebih kesel dari gue sih?!"
"Kenapa?! Gak suka?!"
"Ya iyalah! Gara-gara lo gue harus bohong ke Matteo soal Ben!"
"Gue gak pernah nyuruh lo buat bohong ya!"
"Ya kalau gue gak bohong terus gimana?! Ngomong apa adanya gitu?!"
"Iya!"
"Terus kalau dia nanya Ben anak siapa terus gue harus jawab apa?! Anak lo?! Anak gue?! Anak kita?!"
"..."
"..."
Hening.
Entah kenapa suasana taman fakultas siang itu, yang banyak orang seliweran lalu lalang dan duduk atau rebahan di bawah pohon rindang mendadak sunyi senyap.
"For Pete's sake, Jeffrey El Parviz..."
"Lo sih!"
***
Sekarang mari kita kembali ke apartemen Jeffrey, di mana sekarang seorang Matteo, si Mahasiswa Teknik Sipil semester empat yang hari ini nyambi jadi seorang babysitter.
Sekarang sudah hampir waktunya makan siang dan Matteo sama sekali tidak merasakan hambatan sedikitpun dalam mengurus Ben. Selain karena bayi kecil itu memang jarang menangis—paling cuma nangis kalau memang sedang mengantuk dan lapar. Tapi juga karena Matteo memang suka dengan anak kecil, jadi kalau cuma ngurusin bayi sepenurut Ben ini sih kacang hijau alias mudah baginya.
Jam sepuluh tadi juga Matteo sudah menerima kiriman barang dari pihak mall yang mana sekarang sudah memenuhi ruang tamu apartemen Jeffrey. Awalnya Matteo bingung mau taruh semua barang kiriman ini di mana karena Jeffrey memang tidak memberi tahu dia untuk melakukan apa setelah barangnya sampai. Tapi, semakin lama dia semakin bingung setelah sadar barang apa saja yang pihak mall kirimkan ke apartemen ini.
Stroller, keranjang tidur bayi, bak mandi bayi, matras puzzle warna warni, kursi tinggi khusus bayi, alat-alat makan bayi, selimut bayi, bantal bayi, boneka, mainan. Bahkan Matteo sempat berpikir kalau Ben bakal tinggal cukup lama di tempat Jeff. Gak mungkin juga kan kalau dia cuma tinggal beberapa hari dan Jeff malah beliin dia barang sebanyak ini? Matteo yakin sih harga semua barang ini gak murah. Bisa dilihat dari merknya.
"Orang kaya emang beda ya? Gue dulu kayanya cuma digendong pakai gendongan kain deh." Entah kenapa Matteo jadi terharu sendiri. Lebih ke miris sih kayanya.
Sambil membawa Ben dalam gendongan kanggurunya, Matteo berjalan menuju dapur mengambil peralatan makan bayi yang sudah ia seterilkan setelah barang itu sampai. Matteo ambil botol susu yang sudah ia seterilkan sebelumnya dan langsung mencari susu formula yang bisa diminum oleh Ben. Karena tadi waktu Matteo lihat ada beberapa kotak susu bayi berbeda merk di atas meja pantry, kalau makin dekat dilihat ternyata itu kotaknya tulisan umurnya juga beda-beda.
Matteo yang masih sibuk memilih kotak mana yang cocok buat Ben, tiba-tiba terdengar suara orang yang seperti sedang menekan tombol password pintu apartemen Jeffrey. Jelas hal ini buat dahi Matteo mengernyit, dia bahkan melirik jam dinding yang ada di ruang tamu.
"Belum ada jam satu dia udah pulang? Reschedule kali ya?" Gumam Matteo pada diri sendiri, masih menyibukkan diri di dapur yang hanya bersekat rak buku panjang rendah dari ruang tamu.
"Loh? Jeff mana?"
"Eh? Tante?"
***
"Gue tadi gak maksud ngomong gitu keras-keras. Gue kepancing emosi." Ucap Jeffrey menyesap ice americano di tangannya. Jadi setelah dia buat suasana taman Fakultas Sastra berubah awkward, Jeffrey segera menarik Silvia pergi dari kampus dan nyasar ke Starbucks terdekat.
"Mau sengaja atau enggak, tetap aja hampir semua orang di sana denger omongan lo." Kata Silvia dingin, tangan kirinya sibuk mengaduk ice americano-nya dengan sedotan, gak nafsu sedikitpun untuk menyesap minuman berkafein tersebut.
"Lo kalau lagi 'waktunya' juga bakalan gitu, kan?"
"Emang lo bisa mens?" Katanya frontal dan cukup nyaring untuk di dengar oleh orang-orang di meja dekat mereka.
"Ya gak lah! Mimpi basah iya."
"Orang gila." Desis Silvia, tapi masih bisa didengar oleh Jeffrey.
"Eh, bentar deh.." Kata Jeffrey saat merasakan getaran dari dalam saku jeans hitamnya.
Diambilnya ponsel yang masih bergetar dari sakunya dan melihat nama kontak Matteo terpampang di layar ponsel. Tanpa banyak komentar dia langsung menggeser panggilan tersebut dan mendekatkan ponsel tersebut ke telinga kanannya.
"Kenapa, Mat? Ben gak apa-apa?"
"..."
"Oh."
"..."
"Oke. Ini gue juga mau balik. Makasih, bro."
Jeffrey mematikan ponselnya dan kembali memasukkan benda tersebut ke dalam saku jeansnya. Matanya melihat Silvia yang sekarang sudah mau meminum ice americano. "Sil, gue balik dulu ya? Oh ya, kalau sempet, tolong beliin susu formula buat Ben ya. Kemarin kayanya lo lupa beli susu deh." Ucap Jeffrey dengan wajah datarnya.
Silvia melirik Jeffrey sekilas dan mengangguk. "Ya."
"Ya udah, gue duluan. Bye." Jeffrey pamit, lalu langsung bangkit dan berjalan menuju pintu keluar Starbucks.
Silvia yang masih duduk di tempatnya cuma melirik sosok Jeffrey dari ekor matanya sambil terus menyeruput ice americano yang kini sudah sisa setengah. 'Perasaan kemarin gue udah beli susu berkotak-kotak deh... Terus, itu telinga dia kenapa merah gitu?'
Usai menghabiskan minumannya, Silvia pun keluar dari Starbucks dan berbelok untuk pulang ke apartemennya dengan berjalan kaki. Silvia yang tidak terlalu banyak berpikir tentang kenapa Jeffrey menyuruhnya untuk membeli susu lagi padahal kemarin dia sudah membeli banyak pun dengan ogah-ogahan mampir ke mini market dan mencari susu formula untuk Ben.
Usai membayar di kasir, Silvia keluar dari mini market dan secara tak sengaja menabrak seseorang yang hendak masuk ke dalam toko.
"Eh, sorry." Kata Silvia membungkuk sekilas.
"Silvia?"
Silvia mengangkat wajah, mata mendelik tatkala melihat sosok di depannya. "Hn? Siapa?" Yah, gak kenal ternyata.
"Gue Jeffan."
"Jeffan? Yang mana? Gue taunya cuma si Jeffrey."
"The Blossom? Band kampus? Jurusan Sastra Jepang? Gue pernah jadi kating lo waktu OSPEK fakultas." Cowok bernama Jeffan itu mencoba untuk terus membuat Silvia mengingat sesuatu tentangnnya, sayangnya rasanya percuma saja, karena selain otak Silvia yang kadang lemot juga karena dia ini tipe anak kuper tingkat kronis. Di kampus aja dia cuma kenal sama Jeffrey. Ya kali dia inget sama kating yang dulu OSPEK-in dia.
"Oh, The Blossom? Tau kok. Cuma denger doang sih, gak tau juga gimana tampilan panggung mereka. Lo personilnya?"
Jeffan ngangguk. "Iya. Lo beneran gak inget gue?"
Silvia senyum kikuk dan menggeleng tanda tak tahu. "Sorry, ingatan gue lumayan buruk." Bohong. Silvia bohong. "By the way, gue buru-buru nih. Gue duluan." Pamitnya langsung melesat pergi.
Sementara itu...
"Tumben Mama ke sini, biasanya kan Mama ke sini pas akhir bulan.." Jeffrey tersenyum kikuk. Badannya sendiri sudah panas dingin karena kedatangan tiba-tiba dari wanita yang telah melahirkannya ini.
"Kamu gak suka Mama nengokin kamu?"
"Ya sukalah, Ma. Masa ditengokin orang tua sendiri gak suka?"
"Ya udah, terserah Mama mau ke sini pas awal, tengah atau akhir bulan. Apartemen ini masih atas nama Mama ya."
"Eung.. I-iya Ma.."
"Jeff, kata temen Mama kemarin dia lihat kamu jalan-jalan ke mall sambil gendong bayi, bener?"
Jeffrey diam sebentar. Malam itu memang banyak sih orang lihatin dia, kebanyakan sih ibu-ibu, kaya bisik-bisik gitu. Jangan-jangan itu kumpulan teman arisannya Ibu Jeffrey?!
Wah!
"Jangan coba bohong ke Mama ya, Jeff." Lanjut sang Ibu melihat gelagat putranya yang mulai terlihat gelisah.
"I-iya."
Dan raut wajah ibu Jeffrey semakin lama semakin serius. "Mamanya siapa? Kamu hamilin anak siapa? Siapa yang ngizinin kamu ngehamilin anak orang, hah?!" Sentak ibu Jeffrey dengan suara yang semakin lama semakin meninggi.
Jeffrey cuma bisa menggigit bibir bawahnya takut. Padahal dia bisa saja tinggal bilang kalau dia menemukan Ben di pinggir jalan. Tapi Jeffrey jadi takut sendiri karena baru kali ini melihat ibunya meledak seperti ini.
"Ma, Jeff bisa jelas—" Cicitan Jeffrey barusan langsung terpotong oleh suara bel apartemen.
Jeff dan ibunya sama-sama diam, saling melempar pandang ke satu sama lain.
"Jeff ke depan dulu." Izin Jeffrey yang langsung mendapat anggukkan dari sang ibu.
Jeffrey bangkit dari sofa di seberang ibunya dan berjalan menuju pintu depan. 'Semoga bukan masalah baru.' Batinnya sambil memegang ganggang pintu dan menariknya ke dalam.
"Jeff, gue udah dapat susu formula buat Ben—"
"Dia mamanya?"
"..."
"..."
"..."