Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

"Jadi... Kamu pacarnya Jeffrey?" Tanya ibu Jeffrey sambil bersendekap, menatap lurus Silvia yang duduk di seberang bersama putranya, seperti seorang terdakwa yang sedang disidang.

 

"Bu-bukan, Tan." Bantah Silvia mengibaskan tangan. "Saya cuma tetangganya Jeff, apartemen saya pas ada di depan."

 

"Terus kenapa kamu beli susu buat anaknya Jeff?"

 

Kedua alis Silvia terangkat kaget, dalam hati rasanya ingin tertawa karena ucapan ibu Jeffrey barusan. "Saya cuma bantuin Jeff ngerawat Ben, Tan. Tadi dia nitip beli susu ke saya soalnya dia bilang harus balik pulang ke apartemen. Jadi ya udah, saya beliin aja di mini market." Jelas Silvia seadanya.

 

"Nama kamu siapa?"

 

"Silvia."

 

"Masih kuliah?"

 

"Satu angkatan sama Jeffrey, malah."

 

"Oh, kalian berdua satu kampus?"

 

"Satu jurusan juga, Tan."

 

"Sering ketemu dong, ya? Satu gedung apartemen, satu kampus, satu jurusan..." Dan tatapan ibu Jeffrey pun berpindah ke putranya. "Jeff, Mama pusing."

 

"Ha? A-aku ambilin air ya, Ma?" Jeffrey sudah berdiri dari sofa, siap jalan ke dapur, tapi ditahan oleh suara ibunya.

 

"Gak usah. Mama cuma pusing sama kamu yang tiba-tiba punya anak tapi ibunya gak jelas. Mama pusing, Jeff. Pusing." Keluh sang ibu memijit pelipis.

 

Melihat ibu Jeffrey yang terlihat cukup frustasi, Silvia pun menyikut kecil lengan Jeffrey yang sudah kembali duduk di tempatnya sambil berbisik. "Jeff, lo belum jelasin apa-apa ke ibu lo ya?" Bisiknya melirik Jeff sekilas, terus balik lagi lihat ibunya.

 

"Ya gimana mau jelasin, orang dipotong terus. Ribet urusan sama perempuan."

 

"Dia ibu lo ya ampun!"

 

"Kalian bisik-bisik apa?" Si Mama peka sekali ternyata.

 

"Gak kok, Tan. Kayanya Jeff lupa jelasin sesuatu ke Tante deh soal Ben, bayi yang dirawat sama Jeffrey." Balas Silvia, tersenyum kecil.

 

"Ada apa sama dia?"

 

"Dia bukan anak aku, Ma." Ucap Jeffrey pada akhirnya, buat sang ibu kembali menegakkan punggung dan menatap tak percaya sang putra semata wayangnya.

 

"Kamu serius??"

 

"Jeff serius, Ma. Lihat nih." Jeffrey menunjukkan kedua sisi telinganya secara bergantian. "Telinga Jeff warnanya masih normal, kan?"

 

Ibu Jeffrey menghela nafas lega, tapi sedetik kemudian berubah kembali serius seolah terlupa akan sesuatu. "Loh? Kalau dia bukan anak kamu, terus itu anaknya siapa? Kamu nyulik anak orang? Jeff, Mama gak pernah ngajarin kamu buat jadi kriminal ya! Kamu gak tahu apa kalau nyulik anak orang itu dosa? Kamu kekurangan uang apa sampai harus nyulik anak orang dan minta tebusan ke orang tuanya?? Jeff! Jawab Mama, Jeff!"

 

"Kan, mulai lagi..." Gumam Jeffrey mengelus dada.

 

***

 

"Kamu udah sejak kapan tinggal di sini? Kok Tante gak pernah lihat kamu?" Tanya Ibu Jeffrey ke Silvia, tapi keburu disahut sama Jeff yang lagi motongin sayur di samping kiri ibunya.

 

"Dia, kan manusia bayang-bayang, Ma. Kuper. Di kampus palingan dia juga cuma kenal sama Jeff." Celetuknya yang sukses buat Silvia yang ada di samping kanan ibunya melirik tajam dan juga sukses buat Jeffrey dapat satu cubitan kecil di lengan oleh sang ibu tersayang.

 

"Hush! Jeff, gak baik tahu ngomong kaya gitu!" Omel si Mama, terus noleh ke Silvia sambil senyum. "Emang bener, Sil?"

 

"Gak kok, Tan. Di kampus saya ada banyak temen kok."

 

Bohong.

 

Lagi-lagi Silvia bohong.

 

"Jeff-nya aja yang terus nempel ke saya, Tan. Jadi wajar kalau dia gak tahu saya ada teman atau enggak di kampus. Saya sendiri juga udah lama tinggal di sini, dari SMA."

 

"Woah, dari SMA? Kamu udah lepas dari orang tua sejak SMA?" Tanya Ibu Jeffrey takjub dan Silvia cuma jawab pertanyaan itu dengan satu anggukkan kecil.

 

Ibu Jeffrey mendecak dan menepuk punggung Jeffrey. "Jeff dulu kelas tiga SMA juga udah pengen Tante usir dari rumah, tapi dia malah ngerengek mohon buat terus tinggal di rumah bareng Tante sama Om."

 

"Ih, Mama ngapain cerita soal itu sih?! Ini sayurnya dicuci apa enggak nih?" Protes Jeffrey berlanjut ingin mengalihkan topik pembicaraan.

 

"Jeff aja baru berani tinggal sendiri pas pertengahan semester satu kuliah kemarin." Lanjut si Mama mengabaikan putranya.

 

"Pantes waktu itu saya sempet bingung kenapa apartemen kosong di depan unit saya kok jadi rame. Gak tahunya ternyata ada penghuni baru."

 

"Jeffrey emang berisik banget ya, Sil?"

 

"Kalau yang Tante maksud orangnya sih aku bakal jawab iya. Apalagi kalau udah dapat satu kelompok kerja sama saya. Woah~" Silvia memasang tampang sebal. "Cewek aja kalah ribetnya, Tan."

 

"Sebelas duabelas kaya dia kalau lagi nempel ke Tante dong?"

 

"Mama!" Sentak Jeffrey buat Mamanya dan Silvia tertawa keras.

 

"Tau gini Jeff gak ikut bantuin masak aja." Rajuk Jeffrey meletakkan pisau yang ia pegang untuk memotong wortel ke atas talenan.

 

"Aku mau lihat Ben aja." Lanjutnya sambil melepaskan celemek yang ia pakai dan pergi dari dapur.

 

"Tuh, lihat kan? Masih kaya bocah. Padahal umur udah 22 tapi masih aja begitu. Gak pernah berubah." Cibir ibu Jeffrey, menyenggol pelan lengan Silvia.

 

"Jeff masih bisa denger loh, Ma!" Seru Jeffrey sambil berjalan menuju kamarnya.

 

"Mama sengaja!" Jawab ibunya yang mana buat Jaehyun mengerang kesal sebelum masuk ke dalam kamar.

 

Sambil terkekeh geli, Ibu Jeffrey yang tadi sibuk mengaduk adonan telur dadar pun berpindah ke wortel yang baru setengah dipotong oleh Jeff. Dan Silvia tetap sibuk dengan aktifitasnya memotong ayam.

 

"Orang tuamu gimana? Mereka kerja apa?"

 

Pertanyaan tersebut kontan buat Silvia berhenti menggerakkan pisau di antara daging ayam mentah di atas talenan. Tapi tak lama kemudian dia menggelengkan kepala dan tersenyum kecil.

 

"Ayah saya punya perusahaan software dan sekarang sedang menetap di Jepang."

 

"Woah, hebat. Terus, ibumu?"

 

Silvia lagi-lagi terdiam. Sebelumnya belum ada satu orang pun yang menanyakan tentang kedua orangtuanya. Jelas karena dia sendiri juga gak punya teman untuk diajak ngobrol selain Jaehyun. Itupun juga jarang, nunggu Jeffrey yang nyamperin dia duluan dan ngajak ngobrol.

 

Sekarang dia yang dapat pertanyaan seperti ini malah bingung sendiri. Untuk pertanyaan tentang Ayahnya jelas dia bisa jawab dengan mudah, tapi kalau ibunya...

 

"Saya gak tahu. Saya udah lama gak ketemu sama dia." Katanya seraya memotong mantap paha ayam di depannya.

 

Setelah makan malam, Ibu Jeffrey pun berpamitan untuk pulang. Meninggalkan Jaehyun dan Silvia yang baru beres mencuci piring.

 

"Sil." Panggil Jeff, buat Silvia menoleh saat gadis itu hendak memakai sepatunya.

 

"Nyokap gue tadi nanya apa aja ke elo?" Tanyanya ragu.

 

Silvia diam sebentar, lalu menggelengkan kepala. "Gak ada kok. Cuma pertanyaan biasa." Jawab Silvia tersenyum kecil.

 

"Tapi pas makan tadi... Muka lo kaya gak nyaman gitu. Kalau Nyokap gue ada ngomong yang aneh-aneh ke lo, ngomong aja ke gue. Biar nanti gue kasih tahu ke Nyokap."

 

"Gak perlu Jeff. Gue emang mules tadi, jadi wajar kalau gue kelihatan gak nyaman."

 

"Yakin?" Silvia mengangguk.

 

"Banget, bro." Jawabnya mengacungkan ibu jari.

 

"Oh iya, tadi pas gue nemenin Ben, gue jadi keinget sama tugas dari Mr. Ray."

 

"Eh iya! Yang presentasi itu, bukan?"

 

Jeffrey manggut. "Mau ngerjain kapan nih?"

 

"Besok aja habis ngampus."

 

"Ben?"

 

"Bawa aja. Santai."

 

"Nanti kita dikira Pasutri lagi." Cemberut Jeffrey.

 

"Tenang, gue yang gendong Ben besok. Kita ngerjainnya di perpustakaan kota aja, biar gampang cari bahannya juga." Usul Silvia, menyampirkan tas punggungnya dan berdiri.

 

"Nanti kalau lo dikira janda muda beranak satu gimana?"

 

"Gue bilang aja kalau lo itu suami yang gak baik, yang tega nelantarin anak sama istrinya demi wanita lain."

 

"Kok jahat sih lo?"

 

"Ya lo pikirannya aneh gitu! Udah ya, gue balik dulu. Salam buat Ben." Tukas Silvia sambil mengangkat sebelah tangan kanannya singkat dan bebalik keluar dari apartemen Jeffrey.

 

***

 

Hari ini Silvia dan Jeffrey mendapat jam kuliah pagi, otomatis mereka kembali mengorbankan Matteo sebagai pengasuh part-time Ben sampai mereka pulang siang ini.

 

Awalnya Silvia berinisiatif untuk langsung pergi ke perpustakaan kota yang jaraknya memang dekat kampus dan menyuruh Matteo untuk ke kampus sambil membawa Ben. Tapi tentu ide tersebut ditolak keras oleh Matteo, bisa hancur reputasinya di kampus kalau kelihatan membawa bayi masuk ke area kampus.

 

Jadi terpaksa Silvia dan Jeffrey kembali ke apartemen untuk mengambil Ben. Sesuai dengan janji Silvia kemarin, kini giliran perempuan itu yang menggendong Ben.

 

Jeffrey sendiri sebenarnya punya sebuah mobil pribadi di basement apartemen. Tapi memang jarang dia pakai ke kampus, katanya ribet. Jadi dia cuma menggunakan mobilnya hanya disaat yang genting dan untuk pergi ke tempat yang jauh.

 

Perpustakaan kota itu letaknya tak jauh dari kampus mereka, dan kalau sudah begini berarti mereka harus memutar balik arah kembali melewati kampus yang kalau bolak-balik jalan kaki pasti pegelnya gak ketulungan. Jadilah mereka pakai mobil. Kasihan juga kan si Ben kalau siang-siang begini dibawa keluar sambil jalan kaki? Nanti kalau kulitnya jadi eksotis mirip Matteo gimana? Nanti dikira beneran anaknya Matteo lagi. Kan kasihan Bennya.

 

Tak usah ditanya, seturunnya mereka dari dalam mobil tentu langsung menarik perhatian pasang mata yang berada di area parkir perpustakaan kota.

 

Silvia yang merupakan tipe orang yang terlalu peka pun mulai berubah pikiran. Risih akan tatapan dari orang di sekitarnya, Silvia pun menarik-narik lengan Jeffrey, buat pemuda tersebut menoleh.

 

"Kenapa?"

 

"Jeff, lo aja deh yang gendong Ben." Bisiknya.

 

"Kok gue? Kemarin kan lo udah janji mau gendong si Ben."

 

"Ya kan itu kemarin."

 

"Lo gak usah sok jadi Dilan deh, Sil. Gue pitakin nih kepala lo!" Ancam Jeffrey.

 

"Gue sirih Jeff sama tatapan mereka. Lihat deh. Ih!" Tunjuk Silvia dengan dagunya.

 

"Sirih sirih! Risih!" Ralat Jeffrey.

 

"Ya bodo, sih!"

 

"Udahlah, mereka kan punya mata, hak mereka mau lihat orang semau mereka."

 

"Lo kok gak ngebelain gue sih?!"

 

"Di luar panas nih, ayo masuk, kasihan si Ben." Ucap Jeffrey tanpa peringatan menarik lengan Silvia masuk ke dalam perpustakaan.

***

"Sil, kita bagi tugas aja gimana?" Tawar Jeff. "Akan adil kalau lo cari buku yang lebih banyak dari gue."

 

"Iya, iya. Lo ambil satu buku juga terserah. Yang penting ada hubungannya sama tema tugas kita."

 

"Bagus." Jeffrey tersenyum sambil mengacungkan ibu jari. "Lo ke rak bagian timur ya? Gue ke utara."

 

Silvia mengacungkan ibu jarinya dan memutar badan berjalan memasuki rak penuh buku di lorong sebelah kiri.

 

Aslinya menggendong Ben di depan seperti ini cukup buat kedua pundak Silvia sakit. Dia belum pernah gendong beban seberat ini sebelumnya. Paling banter ya cuma sekiloan, itu pun pas dia masih SMA. Masuk universitas begini ya dia coba buat kurang-kurangin beban bawaan.

 

"Ben, berat lo berapa sih?" Tanya Silvia sambil agak menundukkan kepalanya, melihat Ben yang sibuk gerak-gerakkin tangannya naik-turun gak karuan.

 

"Wa-wall-wall!" Sahut Ben lihat ke atas.

 

Silvia terkekeh dan mencubit gemas pipi Ben. "Wa wall apaan? Lagi coba nyanyi lagunya Wanna One ya?"

 

"Ih, lucu banget anaknya! Umurnya berapa?" Silvia refleks mengangkat wajahnya dan bertemu dengan seorang wanita yang sepertinya lebih tua darinya, well, terlihat dari penampilannya yang seperti orang kantoran.

 

"Baru masuk empat bulan, Mbak." Jawab Silvia tersenyum kecil.

 

"Imut banget sih?" Ucap si wanita mencubit gemas pipi Ben. "Jadi pengen punya anak deh :(" sedihnya.

 

"Maaf?"

 

"Eh, rahasianya bisa cepet dapat anak gimana sih? Saya udah tiga tahun ini nikah tapi kok gak bisa-bisa ya?"

 

"A-anak?"

 

"Enak ya nikah muda, sekali bikin langsung jadi. Harusnya dulu aku nikah umur 23-24 pasti juga bisa langsung punya anak."

 

"E-emang... Umur Mbaknya.. sekarang berapa?" Tanya Silvia ragu.

 

"29 tahun. Susah banget punya anaknya. Beruntung banget kamu udah punya anak seimut ini. Bapaknya mana? Atau kamu ke sini sendirian?"

 

"Oh, bapaknya..."

 

Sementara itu, Jeff yang ada di lorong bagian utara tangannya sudah penuh dengan tumpukkan buku referensi yang menurutnya cocok dengan topik pembahasan tugas kelompoknya. Tapi Jeff masih sibuk mencari buku referensi lainnya sampai-sampai menabrak orang dan menjatuhkan buku-buku yang ia bawa.

 

"Aduh, duh sorry. Biar gue bantuin." Kata si perempuan yang baru saja ditabrak Jeffrey, menjongkokkan diri dan mengambil buku-buku yang berserakan di lantai lorong rak.

 

"Eh, g-gak usah. Gue tadi yang gak lihat, sorry." Sahut Jeffrey ikut berjongkok dan mengambil alih buku yang sudah ada di tangan si perempuan.

 

Namun, Jeffrey terdiam saat melihat gelang yang melingkar di pergelangan kiri si perempuan. 'Kok kaya kenal?' Batinnya.

 

Perempuan di depannya itu pun langsung melepaskan buku yang tengah dipegang ujungnya oleh Jeffrey dan menyingkap poni panjangnya ke belakang.

 

"Tadi gue juga gak li— Jeff?"

 

Jeffrey mengangkat wajahnya, tatapannya tak kalah kaget dengan sosok perempuan di hadapannya. "R-Roana?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel