Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

Setelah menambahkan satu polesan tipis liptint pada bibirnya, Mirna pun berjalan keluar dari toilet perpustakaan kota, hendak kembali ke mejanya dan Roana yang berada di reading corner perpustakaan. Yang mana letaknya ada di tengah-tengah perpustakaan.

 

Sambil berjalan menuju reading corner, Mirna yang melewati jalanan lurus di ujung lorong pun secara tak sengaja melihat sosok pemuda yang dulu pernah satu sekolah dengannya.

 

Melihat hal tersebut, Mirna pun dengan buru-buru kembali ke tempat Roana berada dan memberitahukan pada gadis berambut panjang bergelombang itu akan keberadaan Jeffrey.

 

"Lo jangan bercanda deh, Mir." Respon Roa.

 

"Gue gak bercanda, Ro! Ini kesempatan emas buat lo untuk muncul di depan dia lagi! Gue yakin ini pasti berhasil!" Kata Mirna dengan senyum merekah penuh keyakinan.

 

"Lo yakin itu Jeffrey? Lo gak salah lihat, kan?" Tanya Roa memastikan.

 

"Mata gue masih normal, jadi gue yakin 1101% kalau itu dia, Jeffrey, mantan kapten basket SMA dan juga mantan pacar lo."

 

"Wah, gak usah lebay gitu juga sih."

 

***

 

"Bapaknya sih lagi nyari buku di lorong lain, Mbak."

 

"Kalian mau cari bacaan buat anak kalian? Tapi, ini kan rak isinya buku berat semua." Wanita dengan setelan kemeja abu-abu dengan bawahan rok span selutut itu terlihat heran.

 

"Biar anaknya pinter kali, Mbak. Biar jadi anak aksel." Kekeh Silvia.

 

"Kok kamu bilang 'anaknya' sih? Ben ini anak kamu, kan?" Si wanita kantoran itu agak sedikit memiringkan kepalanya yang kontan saja direspon dengan tawa tertahan oleh Silvia.

 

"Bukan, Mbak. Ben ini anak temen saya, saya mah cuma dititipin sama dia." Kalau udah kaya begini, kayanya Silvia punya dendam tersendiri gak sih sama Jeff?

 

"Kalau emang mau cari bacaan buat Ben, ayo aku antar ke rak khusus buat dongeng anak kecil. Kasihan si Ben baru empat bulan masa udah mau dikasih bacaan berat gini?"

 

"Eh? M-makasih tap—"

 

"Udah, ayo. By the way, namaku Tiffany. Kamu siapa?"

 

"S-Silvia, Mbak."

 

***

 

Roa dan Mirna pun berjalan menuju bagian lorong rak yang Mirna maksud tadi. Dan benar saja, Jeffrey masih ada di sana bersama dengan tumpukkan buku di tangan kirinya.

 

"Bener Jeffrey, kan?" Ucap Mirna yang langsung disahuti anggukkan oleh Roana.

 

"Sana gih samperin." Suruh Mirna.

 

"Tapi gimana caranya? Gue nyapa dia duluan? Canggung ah nanti."

 

"Lo pura-pura nabrak dia aja, dia juga kelihatan serius lihatin buku di rak atas gitu. Terus nanti lo bantuin dia ambilin buku yang jatuh deh."

 

"Badan dia gede gitu loh, Mirn. Yang ada gue yang jatoh."

 

"Lo tuh ngeyel mulu ya! Udah sana!" Dorong Mirna buat Roana terdorong maju beberapa langkah ke depan.

 

Roa jadi grogi sendiri. Aslinya Roana sendiri juga gak mau coba untuk menyapa Jeffrey atau komunikasi lagi dengan pemuda berlesung pipit itu. Mengingat dia sendiri juga sudah lama tidak berbicara dengan Jeffrey, bahkan Jeff sendiri juga tidak pernah sadar akan kehadiran sosok dirinya di sekitar lingkungannya.

 

Tapi Roa coba untuk meyakinkan diri dengan menegakkan badan, mengumpulkan seluruh kepercayaan diri yang ia punya untuk bertatap muka langsung dengan sosok Jeffrey.

 

Dengan mantap Roana melangkahkan kakinya mendekat ke arah Jeffrey, mengikuti saran dari sahabatnya, Mirna.

 

Kebetulan sekali Jeffrey memang sedang berjalan sambil melihat ke rak atas, dan mengabaikan siapa dan ada apa saja di sekitarnya. Kesempatan bagus tersebut pun Roa manfaatkan untuk membuat momen layaknya seperti dalam drama di televisi.

 

BRUGH!

 

Keduanya sukses menabrak satu sama lain, buku-buku yang ada dalam gendongan Jeffrey terjatuh dan berserakan di lantai.

 

Sambil meminta maaf Roana pun menjongkokkan diri dan memunguti buku yang ada di dekatnya, tapi langsung ditolak Jaehyun dengan mengambil buku yang ada di tangan Roa.

 

Roa yang melihat Jeffrey terdiam cukup lama pun langsung mengangkat wajahnya dan melihat Jeff dengan tatapan yang dibuat seolah-olah kaget.

 

"—Jeff?"

 

"R-Roana?"

 

Roa tersenyum tipis dan mengangguk, tak menyangka Jeffrey masih mengingat dirinya.

 

"Eh, apa kabar lo?" Tanya Jeffrey, suaranya sama sekali tidak terdengar canggung, bahkan kini dia juga sibuk memunguti sisa buku yang ada di lantai.

 

"B-baik. Lo sendiri?"

 

"Baik kok. Lo ngapain di sini? Nyari buku referensi?" Tanya Jeffrey sambil berdiri dan setelah tubuhnya kembali berdiri dengan kokoh dan pegangan buku di tangan kirinya mantap, dia pun mengulurkan tangan kanannya pada Roa, berniat membantu gadis itu untuk berdiri.

 

Gadis cantik itu pun tanpa sungkan menerima uluran tangan Jeffrey dan berdiri dari lantai dengan bantuan pemuda berjaket hoodie kuning tersebut.

 

"I-iya. Lo... Buku sebanyak itu mau diapain aja?" Tunjuk Roa ke buku di gendongan Jeffrey.

 

Jeffrey melihat sekilas buku di dekat pinggangnya dan tersenyum. "Ini buat referensi tugas kelompok gue sama Silvia. Orangnya lagi nyari buku di rak lain."

 

"Ooh.."

 

"JeJe! Ppa-ppa!"

 

"Nah, ini orangnya."

 

"Papa?" Bingung Roa melihat bayi yang ada di gendongan Silvia yang sentah sejak kapan sudah ada di belakang Jeffrey bersama dengan seorang wanita pekerja di sampingnya.

 

Dahi Jeffrey berkerut, dua suara tak asing di belakangnya buat pemuda itu refleks berbalik.

 

"Kalian ngapain di sini?" Tanya Jeffrey pada Silvia.

 

"Ppa-ppa! Ppa-ppa!" Heboh Ben menggerak-gerakkan kedua tangannya di udara, seolah-olah bahagia karena bisa melihat Jeffrey.

 

"Jeff, kamu udah punya anak?" Tanya Roana berpindah tempat ke sebelah Jeffrey.

 

"Ha? Enggak, ini bukan anak gue—"

 

"Astaga! Kamu kok jahat banget sih gak ngakuin anak kamu sendiri?!" Sahut Tiffany terpancing emosi.

 

"Tapi ini memang bukan anak—"

 

"Wah, Jeff, kok lo jahat gitu sih sama Ben?" Sekarang Silvia yang mulai kompor.

 

"Bapak macam apa kamu ini? Dia selingkuhan kamu ya?" Tunjuk Tiffany pada Roa. "Makannya gara-gara dia kamu gak mau ngakuin Ben, ya? Wah wah wah! Ini mah kamu udah lebih dari lelaki kardus! Ckckck!"

 

"Se-selingkuhan?" Kaget Roa.

 

"Iya. Memang kamu pikir dia bisa punya anak sebesar Ben itu asalnya dari mana kalau bukan dari wanita?" Sahut Tiffany.

 

Kehilangan kata, Roa pun memutar badan dan pergi dari lorong tersebut.

 

"Gila, gak seharusnya aku ketemu lagi sama dia! Bawa sial! Kok bisa sih dia udah punya anak?"

 

***

 

Melihat Roana yang tiba-tiba memutar badan dan pergi membuat Jeffrey cuma bisa diam di tempat dan memandang kepergian Roa dalam diam. Otaknya masih bekerja dengan lambat karena "serangan" bertubi-tubi dari tiga orang di sampingnya.

 

"Oh, sebentar. Dia bukan gebetan lo, kan, Jeff?" Celetuk Silvia, sekarang matanya membulat penasaran. Takut kalau barusan dia sudah menghancurkan rancangan masa depan tetangga apartemennya tersebut.

 

"Bukan. Cuma mantan." Jawab Jeffrey tanpa menoleh.

 

"Yha, saya ngerecokin reuni antar mantan dong tadi?" Sekarang suara Tiffany buat Jeff menoleh, wajahnya terlihat datar saat melihat wanita dengan tinggi yang hampir menyamai tinggi badan Silvia tersebut.

 

"Maaf, tapi Anda siapa?" Tanya Jeffrey dengan sopan pada Tiffany.

 

***

 

Keadaan di dalam mobil selama berkendara kembali ke apartemen benar-benar sunyi. Jeff terlihat diam saja, begitupun juga dengan Silvia yang tak berani membuka mulut karena perubahan sikap Jeff padanya. Ditambah lagi dengan Ben yang sedang tertidur dalam pangkuan Silvia pun semakin buat keadaan sunyi senyap.

 

Jeffrey memarkirkan mobilnya di basement, lalu mereka bertiga keluar dari mobil dan pergi menuju lift yang ada di dekat tempat parkir basement untuk pergi ke lantai mereka.

 

"Jeff, maaf ya?" Ucap Silvia setelah merasa lift yang mereka naiki mulai bergerak ke atas.

 

"Maaf buat apa?" Tanya Jeffrey seraya memasukkan kedua telapak tangannya pada jeans yang ia pakai. Bertingkah tak acuh.

 

"Gue gak tahu kalau cewek tadi tuh mantan lo. Maksud gue—"

 

"Kalau udah mantan ya mantan, Sil. Apaan yang lo khawatirin?" Sekarang Jeffrey menoleh, dengan kepala yang agak ia tundukkan untuk melihat Silvia.

 

"Ya lo. Habis si cewek tadi pergi lo jadi pendiem banget. Gue khawatir kalau lo marah sama gue juga Mbak Tiffany." Cicit Silvia menyesal.

 

"Lagian lo kok bisa sih ngobrol sama orang?"

 

Sebelah alis Silvia terangkat, wajahnya juga ikut terangkat untuk beradu pandang dengan si pemuda. "Maksud lo??" Bingungnya, wajahnya jadi berubah sedikit kesal.

 

Jeffrey tersenyum penuh arti sebelum kembali melihat lurus ke depan pintu lift. "Lo kan kuper, mana berani ngobrol sama orang di luar lingkungan lo." Ejeknya masih dengan tersenyum.

 

"Wah, Jeff, kalau mau ngajak berantem ya hayuk lah! Nih nih, gantian lo gendong si Ben! Pundak gue sakit!"

 

"Nanggung kali, Sil. Bentar lagi udah mau sampai ke lantai kita nih."

 

"Bodo. Nih, pokoknya gantian!"

 

"Ck, iya iya. Hati-hati, nanti Ben kebangun."

 

"Eh, bentar deh, ini dari tadi gue ngomel kok dia gak bangun ya? Apa jangan-jangan mati?!"

 

"Hush! Gak boleh gitu!"

 

"Eh, masih ada nafasnya ding."

 

"Ya masihlah! Siniin!"

 

*Ding!*

 

Pintu lift pun terbuka bersamaan dengan Silvia yang hendak mengoper bayi Ben kepada Jeffrey.

 

"Vi?"

 

Satu suara berat barusan sukses buat Silvia refleks menoleh. "Mas ngapain di sini?"

 

Pria berambut cepak dengan tato yang terekspose karena baju lengan pendeknya itu mendecak dan melesat masuk ke dalam lift. Memposisikan diri berdiri di antara Jeffrey dan Silvia.

 

"Kamu tinggal sendiri ternyata bahaya ya?" Ucap Chris memandang lurus pintu lift yang sudah tertutup.

 

"Ha? Maksud Mas bahaya apaan?" Bingung Silvia.

 

Pria jangkung itu melirikkan matanya pada sosok Jeff yang sedang menggendong bayi. "Kalian berdua pacaran ya? Padahal Mas yang tinggal di Amerika, tapi yang ditinggal di sini yang punya anak." Ejeknya.

 

Alis Silvia bertaut, matanya menajam menatap Kris. "Woy! Sembarangan! Gue mana ada punya anak!" Elak Silvia memukul keras bahu Chris.

 

"Ya terus itu yang digendong sama dia apaan?"

 

"Ya bayilah, emang Mas lihat itu apaan? Buntelan kain? Jeff, lo jangan diem aja dong!"

 

"Biar seimbang, Sil." Balas Jeff.

 

"Apanya yang seimbang?!"

 

"Tadi kan lo udah bikin mantan gue salah sangka."

 

"Oh, balas dendam nih?"

 

"Kelihatannya?" Cuek Jeffrey, menepuk-nepuk pelan punggung Ben yang tidur dalam rengkuhannya.

 

Silvia menipiskan bibir, kepalanya mengangguk-angguk mengerti. 'Okay' Batinnya.

 

"Iya, Mas, itu anak aku sama Jeff."

 

"What the—"

***

"Nih, gendongnya." Kata Silvia menyerahkan gendongan biru muda kepada Jeff.

 

"Kalian gak tinggal bareng?" Tanya Chris yang berdiri di belakang Silvia, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana yang ia pakai.

 

"Sana masuk, jangan telepon gue kalau emang gak ada keadaan darurat." Ucap Silvia mengabaikan ucapan sang kakak.

 

"Tapi, Sil, Ben buang air besar tuh termasuk keadaan darurat." Rengek Jeffrey.

 

Silvia mendecih. "Cih, Matteo aja bisa gantiin popoknya Ben, masa lo kalah sama dia? Gue kira lo termasuk mahasiswa terbaik dan ter-ter di kampus." Sindirnya.

 

Jeffrey terdiam, bibirnya menipis seolah kehilangan kata. Okay, Jeffrey El Parviz paling tidak suka kalau sudah diremehkan seperti ini. Jelas dia bisa lebih baik dari Matteo. Menurut Jeff pribadi tentunya.

 

Jadi tanpa membalas ucapan Silvia, Jeff dengan Ben yang ada di rengkuhannya berbalik memutar badan dan masuk ke dalam unit apartemennya. Meninggalkan Silvia dan Chris di lorong lantai apartemen tersebut.

 

"Kayanya dia gak suka deh lo banding-bandingin kaya gitu." Celetuk Chris, membuat adiknya itu menoleh menatap dia dengan sebelah alis terangkat.

 

"Hm?"

 

Ia menunduk melihat adiknya dengan tatapan prihatin, dia menghela nafas seraya meletakkan telapak tangannya di atas kepala Silvia. Menepuk-nepuk pelan. "Kamu tuh harusnya peka, di dunia ini bukan cuma cewek aja yang gak mau dibanding-bandingin, tapi cowok juga."

 

***

 

Setelah meletakkan Ben ke keranjang tidurnya dan membiarkan Ben tertidur dengan nyaman, Jeffrey pun segera pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri.

 

"Matteo aja bisa gantiin popoknya Ben, masa lo kalah sama dia?"

 

"Matteo aja bisa gantiin popoknya Ben, masa lo kalah sama dia?"

 

"Matteo aja bisa gantiin popoknya Ben, masa lo kalah sama dia?"

 

"Matteo aja bisa gantiin popoknya Ben, masa lo kalah sama dia?"

 

"Matteo aja bis—"

 

"ASTAGA! OTAK GUE KENAPA SIH?!!" Pekik Jeff mengacak-acak rambut penuh busa samponya frustasi.

 

***

 

"Lo yakin yang tadi itu anaknya Jeff?" Tanya Mirna memastikan pada Roa yang terus saja mengaduk ice mocca miliknya dengan tampang kesal.

 

"Iya. Emang sih anak kecilnya tadi digendong sama cewek yang barengan terus sama Jeff, tapi tante-tante yang disamping cewek itu malah ngomelin Jeff nuduh kalau dia selingkuh. Si anaknya tadi juga terus-terusan manggil Jeff 'papa'." Jelas Roa seraya meminum esnya dengan sedotan.

 

"Ha? Anaknya udah bisa manggil Jeff papa? Emang anaknya segede apa?" Mirna semakin penasaran.

 

"Pokoknya umur anak yang baru bisa ngoceh gitu lah. Masih tatatititutu gitu ngomongnya."

 

"Sekitar empat-lima bulan gitu dong?"

 

"Gak tau."

 

"Berarti anaknya lahir sekitar waktu liburan musim panas kemarin bukan, sih? Berarti Jeff nikahnya kalau gak setahun kemarin ya sekitar tahun ini. Atau bisa jadi juga itu anak diluar nikah—"

 

"Mir, Jeff bukan cowok kaya gitu!" Sergah Roa meletakkan minumannya di atas meja. Membantah omongan sahabatnya itu.

 

"Ya kalau gitu berarti dia udah nikah tapi anak satu kampus belum ada yang tahu."

 

"Mungkin dia dijodohin sama orang tuanya. Dia kan anak tunggal." Ucap Roa.

 

"Apa jadinya ya kalau orang kampus tau?" Tanya Mirna mengangkat sebelah alis, menyeringai penuh arti.

 

"Mir, jangan macem-macem. Kamu bukan cuma berurusan sama Jeff, kamu harus ingat sama geng dia."

 

"Apaan? Gengnya isi anak baik-baik semua kok."

 

"Terkadang orang baik kalau marah jauh lebih liar daripada orang gak baik."

 

"Oh, well, let's see.." Dan gadis berambut panjang itu kembali menyeringai sembari mengutak-atik ponsel pintarnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel