Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

"Halo, Jeff? Tumben malam-malam gini nelpon Mama?"

 

"Mama sekarang bisa ke apartemen Jeff gak?"

 

"Hm? Emang ada apa?"

 

"Jeff mau minta ajarin sama Mama..." Jeff menggantung kalimatnya cukup lama, rasanya ada keraguan untuk melanjutkan kalimat yang ingin ia ucapkan.

 

"Ajarin apa? Kamu kan udah gede." Sahut si Mama.

 

"Mama..." Jeff mulai memainkan jari-jari tangannya di taplak meja ruang tamu, kedua maniknya pun terus-terusan melihat ke berbagai arah.

 

"Mama kenapa?"

 

"Mama masih ingat gak cara makaiin popok ke bayi?"

 

Setelah Jeffrey berhasil mengucapkan pertanyaannya dalam sekali tarikan nafas, terjadi keheningan yang cukup lama di antara dirinya dan sang Ibu. Jeff yang tak langsung mendapat respon dari sang ibupun cuma bisa cemberut, berpikir kalau sebentar lagi ibu tercintanya itu akan menertawai pertanyaan konyolnya. Namun, di sisi lain, sang ibu malah tersenyum menahan tawa.

 

"Kan ada Silvia, kamu bisa minta tolong ajarin ke dia, kan?" Balas sang ibu dengan lembut.

 

"Gak mau! Jeff maunya diajarin sama Mama! Please lah Maaaa~" Mohonnya memelas.

 

"Kalau sekarang ya Mama gak bisa. Kamu tahu sendiri, kan rumah kita jauh dari apartemen kamu. Lihat di youtube aja, pasti ada." Sarannya.

 

"Ih, Mama kok gitu sih??" Rajuk Jeffrey menghentakkan sebelah kakinya, bibirnya maju cemberut.

 

Ibu Jeffrey menggelengkan kepala, seolah putranya itu ada di depan matanya. "Jeff, Mama udah bangga loh kamu mau pindah ke apartemen tinggal sendiri. Masa masalah popok aja kamu berubah jadi anak kecil lagi?"

 

"Emang Mama pikir anak kecil bisa masang popoknya sendiri? Hmph!" Jeff menggembungkan pipinya sebal.

 

"Ya memang gak bisa. Tapi sikap kamu ke Mama sekarang ini mirip kaya anak kecil yang gak dibolehin makan cokelat."

 

"Intinya Mama mau ngajarin Jeff apa enggak?"

 

"Kalau sekarang ya gak bisa."

 

"Berarti Mama gak mau nih?"

 

"Gak bisa, Jeeeff.."

 

"Ya berarti gak mau."

 

"Ish, terserah kamu aja deh. Capek Mama debat sama kamu."

 

"Jeff sayang Mama."

 

"Mama juga sayang sama kamu."

 

"..."

 

"..."

 

"Masih gak mau bantu nih, Ma?"

 

"Gak bisa Jeeff..! Ya ampun.."

 

***

 

"Mas kapan balik ke Amerika?" Tanya Silvia sembari melipat kedua tangan di depan dada, berdiri tegap di depan Chris yang sedang duduk di sofa.

 

"Seminggu lagi? Gak tau juga sih, kalau ada panggilan kerja lagi ya Mas langsung balik." Jawab Chris menggendikkan bahu.

 

"Seminggu?" Ucap Silvia memastikan yang mana langsung direspon anggukkan oleh si kakak. "Aku gak bisa nampung Mas selama itu." Lanjutnya.

 

"Eh? Kenapa? Jangan-jangan kamu tinggal serumah sama cowok beranak satu tadi ya? Iya??" Terka Chris menatap Silvia tak percaya.

 

Silvia mendecih sebal. "Enggak lah! Cuma ya emang gak bisa aja. Kenapa gak pulang ke rumah Papa aja sih? Rumahnya kan lagi kosong, Mas pasti bakalan jauh lebih nyaman—"

 

"Rumah kosong ya mana ada nyamannya?" Potong Chris, menyandarkan punggung ke sofa dengan malas. "Mas pulang ke sini tuh karena pengen kumpul sama keluarga. Mas kangen sama kamu, Papa—" Tiba-tiba Chris menghentikan ucapannya.

 

"Kenapa? Kangen sama Mama? Bukannya Mas ngikutin instagramnya? Udah lihat anak keduanya belum?" Jelas suaranya terdengar seperti sedang menyindir.

 

"Gak. Gak kangen kok." Chris melengos lalu berdiri dari sofa, berjalan menuju dapur.

 

Silvia pun dengan santai mengekor di belakang, mengambil tempat di kursi depan meja pantry, menunggu sang kakak selesai mengambil minuman berkarbonasi dari dalam kulkas miliknya.

 

"Katanya sekarang dia jadi model di California. Umur segitu masih aja laku jadi model." Mulut Silvia kembali menyinyir.

 

Chris menaruh botol besar soda di atas meja pantry dan mengambil dua gelas bening dan menaruhnya di samping botol. "Sebenci itu kamu sama 'dia'?" Tanya Chris sembari menuangkan minuman bersoda ke dua gelas di depannya.

 

"Ada pertanyaan lain yang jauh lebih bermutu?" Balas Silvia balik bertanya, menarik satu gelas berisi penuh minuman bersoda yang sudah dituangkan oleh Chrjs.

 

"Kamu sendiri juga ngikutin akun 'dia', kan?" Chris menutup botol di tangannya dan mengambil gelas soda miliknya seraya menyeruputnya setengah habis.

 

"Gak aku ikutin, cuma sesekali stalk aja."

 

"Mas pernah lihat kalau kamu sempet ngelike satu foto 'dia'." Chris melirik adiknya.

 

Silvia tersenyum kecut. "Setiap orang yang stalk pasti pernah gak sengaja ngelike foto korbannya."

 

"Jadi jempolmu waktu itu kepeleset?" Chris tersenyum getir.

 

"Keseleo." Balas Silvia menyeruput habis minumannya.

 

Chris tertawa renyah, ikut menyeruput habis minuman di tangannya. Sambil kembali mengisi gelasnya yang kosong, Chris kembali berucap. "Mungkin Mas cuma dua atau tiga hari di sini."

 

"Bagus deh."

 

"Mas mau ke Jepang. Ketemu Papa. Kamu gak mau ikut?"

 

"Aku masih harus ngampus. Aku juga gak bisa ninggalin Jeff sama Ben begitu aja. Aku gak yakin si Jeff bisa jaga bayi itu sendiri. Gantiin popok aja gak bisa. Ditinggal sehari ke Jepang juga dia pasti bakalan nelpon aku seratus kali sehari."

 

Lagi-lagi Chris tertawa, kali ini tertawa mengejek. "Kamu yakin gak ada hubungan sama cowok itu?" Tanya Chris dengan sebelah alis terangkat.

 

Silvia menghela nafas, "Jelas gak ada, Mas. Dia cuma temen sekampusku. Dan Ben, dia bukan anaknya Jeff. Aku sama Jeff secara gak sengaja nemuin bayi itu di pinggir jalan waktu pulang ngampus beberapa hari yang lalu. Awalnya aku sama dia udah bawa bayi itu ke kantor polisi, tapi anak itu masih ngotot mau ngerawat si Ben. Ya gini deh jadinya." Jelas Silvia menaruh gelasnya, mendorongnya menjauh, mengisyaratkan pada Chris untuk mengisi gelas kosong itu lagi.

 

"Oh, jadi itu bukan anak dia?"

 

"'Itu'? Yang baik dikit kenapa sih!"

 

"Sejak kapan juga kamu mulai suka sama anak kecil? Kamu dilirik anak TK aja langsung sembunyi ke semak-semak." Ejek Chris benar-benar mengisi gelas kosong milik Silvia.

 

"Kalau anak kecilnya udah bisa ngomong sih aku emang takut. Tapi kalau masih babibu kaya Ben sih aku gak ada masalah. Imut juga anaknya."

 

"Banyak alasan kamu tuh."

 

"Tapi emang imut, Mas!"

 

"Iya iya, imut."

 

***

 

"Mir! Lo apa-apaan sih?!" Seru Roa memukul punggung Mirna dengan keras.

 

"Aduh! Sakit tahu!" Balas Mirna mengaduh kesakitan.

 

"Bego! Maksud lo posting begituan di grub jurusan tuh apa?! Hapus!"

 

"Begituan apaan sih?"

 

"Lo jangan mancing harimau keluar dari kandang! Gue bener-bener gak bakal mau ikut campur kalau sampai temen-temen Jeff turun tangan!"

 

"Gak bakal, Ro!"

 

"Mirna!"

 

"Iya iya! Gue hapus nih!"

 

"Hampir semua anak di grup udah heboh dan baca tahu! Kalau masalah ini tiba-tiba jadi besar..."

 

"Nih nih, minum teh gue nih biar anteng!" Sodor Mirna ke Roa.

 

"Gue gak butuh minum!"

 

"Oh ya! Soal cewek yang lo bilang selalu kelihatan deket sama Jeff, gue udah dapat infonya!"

 

"Info?"

 

Mirna mengangguk. "Iya, namanya Silvia, anak beasiswa dan lo tahu gak apa yang bakal terjadi kalau berita ini sampai kedengeran pihak kampus?"

 

"Apa?"

 

"Dia pasti bakalan di DO atau enggak ya cuma ditarik beasiswanya."

 

"Ha? Lo yang bener aja! Berarti nanti Jeff juga bakalan keseret dong!"

 

"Eh? Iya juga ya.."

 

"Gue gak bayangin kalau Bams sampai nyiram teh panas ke muka kamu, Mir..." Ucap Roa pelan.

 

"Eh? Sial! Gue lupa si Bams satu geng sama Jeff!"

 

"Lo bakalan mati, Mir.."

 

***

 

Baik Jeff maupun Silvia mereka terus saja bergantian memandang sosok bayi kecil di dalam kereta bayi yang sedang sibuk menggigiti boneka karet di tangannya—seperti sangat menikmati dunianya sendiri— dan juga seorang pria tinggi bertato dengan rambut cepak yang sedang selonjoran di atas sofa.

 

Setelah cukup lama mengobservasi kedua mahluk di depan mereka berdua, Jeff dan Silvia pun saling memandang satu sama lain, mencoba berkomunikasi lewat pikiran masing-masing dan mengakhiri komunikasi mereka dengan dua anggukkan kecil.

 

"Mas, aku mau ngampus dulu ya." Ucap Silvia.

 

"Saya juga." Sahut Jeff.

 

"Oh, ya, hati-hati." Balas Chris masih menyibukkan diri dengan televisi.

 

"Aku titip Ben ya, Mas! Nih, kunci cadangan apartemen Jeff," Seru Silvia melempar sebuah kunci dengan gantungan bertuliskan kode apartemen Jeff ke atas perut Chris. "Habis ini Mas pindah nonton TV sama Ben di sana aja, oke?"

 

Pertama-tama Chris terdiam, kedua matanya perlahan melihat ke sebuah kunci yang mendarat tepat di atas perutnya. "Tunggu, Mas harus ngap—"

 

"Pamit dulu ya, Mas! Bye bye!!" Seru Silvia dengan cepat menarik Jeff keluar dari apartemennya.

 

"Heh! Vi! Mas belum bilang setuju!!"

 

***

 

Selama perjalanan menuju kampus dengan menggunakan bus, Jeff dan Silvia mulai membahas soal keberadaan Ben di hidup mereka. Ben memang bukan anak mereka, mereka juga belum mau punya anak diumur yang baru dua puluhan ini. Kepikiran buat nikah aja belum.

 

Keduanya sekarang masih ada di pertengahan semester, waktu di mana mereka harus dengan giat nambah nilai mereka. Takdir yang membuat mereka mempunyai jadwal kuliah yang sama lah yang terkadang buat mereka dilema.

 

Dilema karena bingung harus bagaimana saat mereka harus pergi kuliah setiap harinya. Mereka juga gak mungkin terus-terusan minta tolong ke Matteo atau ke orang lain. Hari ini saja mereka terpaksa harus menitipkan Ben ke Chris karena kebetulan kakak Silvia satu itu baru pulang dari Amerika.

 

Waktu mereka menitipkan Ben ke Matteo pun itu juga dalam keadaan terpaksa. Mau minta tolong ke ibu Jeff juga pasti makin berasa gak enak. Ibu Jeff pasti punya kepentingan lain.

 

"Kira-kira kalau gue minta ganti jadwal boleh gak ya?" Celetuk Jeff, menengok pada Silvia yang duduk di sampingnya.

 

"Emang boleh?" Tanya Silvia balik, kepalanya sibuk merunduk melihat ponsel dalam genggaman.

 

"Ya tinggal tanya dulu aja. Kalau semisal jadwal kita beda kan nanti kita bisa lebih gampang jagain Ben. Semisal hari ini gue ada jadwal pagi, berarti pagi ini lo yang jagain Ben. Kalau besok kamu jadwal pagi, ya berarti tinggal dibalik aja. Iya, gak?" Jelas Jeff antusias.

 

"Hm, iya." Balas Silvia mengangguk-angguk, tapi mata masih fokus ke ponsel.

 

Keantusiasan Jeff seketika menurun saat tak mendapat reaksi yang ia inginkan dari Silvia. Gadis itu bahkan terlihat jauh lebih sibuk dengan ponsel pintarnya.

 

"Sil, lo dengerin gue gak sih?" Protes Jeff merampas ponsel Silvia dan memasukkan benda tersebut ke dalam saku jeansnya.

 

"Jeff! Hape gue!" Seru Silvia menatap tajam Jeff.

 

"Makannya kalau diajak ngomong tuh perhatiin! Gue gak bakal balikin hape lo sampai nanti kita sampai kampus!" Ketus Jeff.

 

"Dih! Apaan sih?? Balikin! Tadi gue lagi baca e-mail dari pihak kampus tuh! Kalau gak buru-buru gue bales bisa-bisa bahaya!" Seru Silvia menarik-narik bahan jaket denim yang dipakai Jeff.

 

"Ngapain juga pihak kampus ngirim surel ke lo? Emang lo siapa?"

 

"Gue mahasiswi kampus! Wajar kalau gue dapat e-mail dari mereka! Ini soal biaya hidup gue semester ini!"

 

Dahi Jeff mengkerut. "Biaya hidup semester ini? Ha ha, emangnya lo anak beasiswa pakai biay—"

 

"Iya, gue anak beasiswa! Jadi sini—" Silvia sukses menarik keluar ponselnya dari saku samping Jeans Jeff. "—in!"

 

Dan gadis  itu pun langsung kembali menyalakan ponselnya, kembali membaca isi e-mail yang masuk untuknya.

 

Jeff jadi diam, matanya sesekali melirik ke arah Silvia. 'Silvia anak beasiswa? Masa sih? Tapi... Kok kaya gak mungkin ya? Uang yang kemarin buat belanja keperluan Ben aja udah dia balikin ke gue. Masa iya itu uang dia yang dari beasiswa? Tapi masa sebulan sebanyak itu? Gak mungkin—eh? Atau itu biaya satu semester?? Tunggu! Biaya satu semester kalau cuma segitu ya kesedikitan! Atau mungkin biaya setengah semester? Eeehhh... Tapi kalau dia anak beasiswa juga gak mungkin banget segampang itu gelontorin uangnya. Pasti dia bakalan ngirit banget—'

 

Dan acara Jeff bermonolog ria di dalam pikirannya itu terinterupsi dengan suara benda keras yang terjatuh ke lantai bus.

 

Refleks kepalanya menoleh, dilihatnya ponsel Silvia yang sudah tergeletak di lantai bus dan si pemilik yang tampak terdiam membatu di tempatnya.

 

"Sil? Ada apa? Kenapa?" Panik Jeff.

 

"Gue gak mau pindah ke Jepang."

 

***

 

Sementara itu di kampus, tepatnya di fakultas ilmu budaya sudah mulai agak ramai dengan pembahasan soal postingan yang semalam mereka lihat di grup angkatan jurusan.

 

Tak terkecuali Bams dan Yogi yang juga anak Sastra Inggris. Sebenarnya keduanya tidak terlalu suka membuka isi chat di grup angkatan jurusan, karena menurut mereka isinya tidak terlalu penting. Kadang juga memang tidak pernah terdengar suara notifikasi dari grup tersebut.

 

Cuma, semalam berbeda dari biasanya. Hampir dalam hitungan kurang dari satu detik satu notifikasi pasti muncul dari grup tersebut.

 

Awalnya keduanya mengacuhkan notifikasi tersebut, bahkan sempat juga mereka mute agar tidak menganggu aktivitas bermain Playstation mereka. Namun, karena tiba-tiba muncul rasa penasaran di benak Bams, akhirnya pemuda dengan bibir tebal itu pun membuka grup chat jurusan tersebut.

 

Ada sekitar 500 pesan yang belum ia baca, pastinya ini akan jadi perjalanan yang panjang untuk ibu jari Bams untuk scrolling isi chat sampai ke awal mula percakapan.

 

Lila:

Yah, pupus deh harapan gue pacaran sama Jeff :( udah nikah ternyata T^T

 

Satu komentar di perjalanannya menuju percakapan awal pun sukses mencuri perhatian Bams.

 

"Jeff nikah? Apa-apaan ini coba? Orang jaman sekarang kalau bikin gosip kenapa gila begini sih? Haha!" Ejek Bams melempar ponselnya ke tengah meja kantin. Kebetulan sekali sekarang hampir semua anak geng '97 sedang berkumpul; Bams, Yogi, Jagat, Matteo, Milo, Dika. Jeff masih di bus.

 

"Jeff nikah? Kapan? Kok kita gak diundang?" Tanya Milo menatap polos kelima sahabatnya.

 

"Si dongo! Ini gosip Mil Milo! G-o-s-i-p gosip!" Balas Dika menoyor kepala Milo.

 

"Tapi kok bisa sih muncul gosip kaya gitu? Kirain anak Sastra Inggris pada berkelas semua, tapi kok bisa nyebar gosip kaya gitu?" Heran Dika.

 

"Ya gak semuanya juga berkelas, Dik." Balas Yogi.

 

"Yang paling nyebelin sih orang yang mulai ngirim postingan ke grup udah keburu ngehapus postingan dia. Siapa sih namanya yang posting? Lo inget gak?" Tanya Bams ke Yogi.

 

"Mana gue tau! Gue kan anak Kimia!" Sahut Dika.

 

"Gue nanya Yogi, bukan lo sutet!"

 

"Gak usah ngegas juga sih bos!"

 

"Mirin apalah gitu dn-nya. Lihat lagi aja di grup." Jawab Yogi.

 

"Males. Capek terus-terusan scrolling isi chat. Gempor jempol gue." Tolak Bams, lalu tiba-tiba arah pandangnya berpindah pada dua sosok berdampingan yang sejak tadi tak mengeluarkan suara sedikitpun.

 

"Kalian berdua dari tadi kenapa diem aja?" Tanya Bams pada Matteo dan Jagat.

 

Dua orang yang merasa terpanggil itu pun serentak mengangkat kepala, memberikan pandangan "ada apa?" Pada Bams dengan kedua alis mereka yang terangkat.

 

"Kalian nyembunyiin sesuatu ya?" Tanya Bams curiga, badannya bahkan sampai maju ke pertengahan meja dengan kedua tangan menumpu pada meja, menatap penuh intimidasi pada dua sahabatnya tersebut.

 

Dan lagi, secara bersamaan mereka berdua cuma bisa tersenyum kecil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel