Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7

Silvia tahu kalau sejak awal ide untuk merawat seorang bayi yang tak sengaja mereka temukan di jalan itu sebuah kesalahan besar. Dia tak pernah berpikir kalau hanya dengan berbuat kebaikan seperti ini bisa membuatnya terancam kehilangan beasiswa yang sudah dua tahun ini ia dapatkan. Dari sini Silvia cuma berpikir, bagaimana pihak kampus bisa menuduh dia sudah menikah dengan seorang Jeffrey El Parviz?? Mereka punya bukti apa? Ben? Hellooooo~ Ben cuma bayi kecil yang tak berdosa. Gak usah melibatkan bayi-menggemaskan-calon-pria-tampan-masa-depan itu ke dalam gosip aneh seperti ini.

 

"Pak, sebelum Bapak benar-benar mencabut beasiswa saya, saya ingin Bapak terlebih dahulu memberikan saya bukti bahwa saya, Silvia Anastasia, telah menikah dengan pemuda di samping saya, Jeffrey El Parviz. Jika tak ada bukti, Bapak tak punya alasan yang kuat untuk mencabut beasiswa saya." Kata Silvia pada pria parlente di balik meja. Gadis itu harus menjaga intonasi nada bicaranya agar tidak membuat suasana pagi itu jadi lebih buruk.

 

"Saya jujur tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi, mendapat kabar kalau saya diisukan sudah menikah dengan tetangga saya ini cukup membuat saya jengkel sih, Pak." Sahut Jeffrey.

 

"Sebenarnya bukan itu saja alasan mengapa pihak kampus mencabut beasiswa Anda, saudari Silvia. Kabar tentang kalian berdua yang sudah menikah baru menyebar tadi malam dan jelas itu bukan alasan utama karena kami belum mendapatkan bukti nyata akan pernikahan kalian. Namun, ada satu hal lain yang membuat kami harus mencabut beasiswa Anda." Pria berambut kelimis itu mengambil jeda, kedua tangannya ia satukan dengan menumpukan kedua sikunya di atas meja.

 

"Saudari Silvia, Anda sudah membohongi pihak kampus tentang latar belakang keluarga Anda. Meskipun kami mencabut beasiswa Anda, kami yakin Anda masih akan tetap mampu untuk membayar semua biaya kuliah Anda di sini."

 

***

 

"Jeffrey punya anak?! Lo jangan bercanda, Gat! Masa anak baik-baik kaya Jeff gitu udah punya anak!" Sergah Bams setelah mendengar cerita Jagat saat beberapa malam yang lalu berkunjung ke tempat Jeffrey.

 

"Tapi waktu kemarin si Jeff minta tolong ke gue buat ngurusin si Ben, dia bilang kalau bayi itu adik sepupu dia." Sahut Matteo yang belum sempat diberi kesempatan bercerita.

 

Bams mendecak, wajahnya tampak lumayan kesal. "Jadi yang bener ini yang mana? Anaknya apa sepupunya?!"

 

"Kenapa gak kita tanya langsung ke Jeff-nya aja sih? Bukannya hari ini dia ada jadwal kuliah ya?" Usul Milo.

 

Kontan usulan Milo barusan buat kelima sahabatnya itu menoleh ke arahnya dengan tampang tak percaya. Namun langsung berubah jadi tawa menggelegar dengan Dika sebagai pemimpinnya.

 

"Woah! Tumben encer!" Puji Dika bertepuk tangan, menggeleng tak percaya.

 

"Minta gue gibeng ya?"

 

***

 

Jeffrey keluar dari dalam mini market dan menghampiri Silvia yang sedang merenung di kursi depan toko. "Nih, minum dulu." Jeffrey mengulurkan sebotol air mineral dingin pada Silvia.

 

"Gak haus." Tolaknya mendorong botol yang Jeffrey ulurkan padanya.

 

Jeffrey menghela napas, lalu menarik kursi yang ada di samping Silvia, mendudukkan dirinya di sana. Dia meletakkan botol miliknya di atas meja dan membuka tutup botol milik Silvia yang kemudian ia letakkan di depan gadis tersebut.

 

"Lagian lo kenapa sih harus bohong soal latar belakang keluarga lo?" Mulai Jeffrey.

 

"Lo bisa diam dulu gak? Kepala gue pening." Balas Silvia dengan dingin, matanya terus menatap lurus ke jalanan di depan toko.

 

Jeffrey menarik diri, merapatkan bibir menuruti ucapan Silvia. Mungkin gadis satu itu masih belum mau membahas soal yang satu ini. Jadi, lebih baik Jeffrey tunggu saja sampai keadaan hati Silvia agak membaik.

 

Baru saja Jeffrey hendak meyandarkan punggung, tiba-tiba saja ponselnya berdering dengan nyaring, membuat pemuda berjaket denim itu buru-buru merogoh saku jeansnya dan menjawab panggilan yang masuk.

 

"Halo? Ini siapa ya?"

 

"Nomor baru gue gak lo simpen ya?" Tanya orang di seberang.

 

"Bambang??" Terka Jeffrey dengan sebelah alis terangkat tinggi.

 

"Bombang Bambang! Gue selepet juga lo!"

 

"Hehe.. Ngapain nelpon?" Cengirnya.

 

"Lo di mana? Gue cariin di kampus kenapa lo gak ada? Bolos lo? Oh ya, biasanya kan lo sama si Silvia, tumbenan juga dia gak ada."

 

"Gue gak ngampus dulu, lagi ada masalah. Lo ngapain nyariin gue?"

 

"Ada yang mau gue obrolin sama lo."

 

"Ngobrol apaan?"

 

"Soal gosip yang ada di grup chat angkatan jurusan. Gue tau lo udah mute itu grub dari kapan taun, gue pikir semalem lo juga gak dapat notif dari itu grup."

 

Sebelah alis Jeffrey terangkat bingung. "Emang ada apaan di grup?" Tanyanya penasaran. "Gosip apaan juga? Sejak kapan lo suka ngegosip?"

 

"Si anying, gue gak suka ngegosip! Cuma ini gosipnya soal lo, jadi wajar kalau gue mau nanyain ini ke lo! Sekarang lo di mana?"

 

"Kok gue?"

 

"Iya, elo. Sekarang gece lo lagi di mana?"

 

"Mini market dekat apartemen gue."

 

"Kata lo lagi ada masalah, ngapain lo di mini market?"

 

"Ck, masalah gue ada di sini. Lo mau ketemu sama gue apa enggak? Kalau enggak ya yaudah-"

 

"Yee si coro! Iya nih gue ke sana!"

 

Beep!

 

"Siapa?"

 

Jeffrey menoleh ke Silvia, gadis itu sekarang sedang memandang Jeffrey dengan datarnya. "Bams."

 

"Oh." Tiba-tiba Silvia bangkit dari tempatnya.

 

"Mau kemana?"

 

"Pulang. Mending ngurusin Ben, ngapain juga gue mikirin kampus. Capek batin."

 

"Tapi-" Jefrey tak jadi meneruskan kalimatnya dan ganti mengangguk. "Ya udah, mau gue anter?" TawarJeffrey.

 

Silvia menggeleng. "Gak."

 

"Em.. kalau gitu, hati-hati." Jeffrey sekilas tersenyum kecil.

 

"Hm." Angguk Silvia.

 

Silvia pun dengan malas mulai melangkahkan kakinya keluar dari area toko, berbelok dan menyusuri jalan trotoar menuju gedung apartemennya.

 

Jujur saat ini perasaan Silvia benar-benar kacau, dia sendiri juga punya alasan mengapa harus susah-susah menyembunyikan latar belakang keluarganya demi mendapatkan beasiswa. Itu semua karena dulu Ayahnya sempat ngotot membawa Silvia pergi ke Jepang setelah lulus SMA. Namun, gadis keras kepala satu ini malah menolak dan bersikeras untuk tetap melanjutkan pendidikannya di sini. Mau dia pindah ataupun tidak ujung-ujungnya pasti sama, Silvia akan tetap tinggal sendirian di rumah. Ayahnya pasti akan tetap sibuk bekerja, tak akan ada waktu untuk tetap tinggal di rumah dan Silvia akan tetap kesepian.

 

Jika dipikir lagi dan direnungkan, Silvia akui bahwa dirinya memang bersalah karena sudah membohongi pihak kampus. Dan kini dia merasa tak pantas untuk kembali ke lembaga pendidikan tinggi itu lagi. Lagipula dia juga tak akan bisa membayar biaya kuliahnya sendiri, dan Ayahnya pun pasti tak akan mau mebiayai kuliahnya di sini karena orang tua satu itu pasti akan memakai kesempatan ini untuk membawa putrinya pergi ke Jepang.

 

Akan jauh lebih baik kalau Silvia tidak memberitahukan hal ini pada siapapun, termasuk sang Ayah dan juga Chris.

 

"Kayanya mulai besok gue harus cari kesibukan lain deh.." Silvia bergumam.

 

***

 

Mata Jeffrey mengerjap beberapa kali setelah mendengar penjelasan soal gosip di grup chat tentang dirinya dari Bams.

 

"Gue? Nikah sama Silvia?" Jeffrey meletakkan telapak tangan kanannya di atas dada. "Astaga... AHAHAHAHAHA!" Tawa Jeffrey meledak sejadi-jadinya, namun sayangnya tawa palsu itu tak bertahan lama karena langsung berganti dengan ekspresi penuh amarah dari seorang Jeffrey El Parviz.

 

"Siapa orang yang bikin gosip palsu kaya gini?" Jeffrey berubah jadi sedingin es yang kelamaan ditaruh di freezer. Bahkan Bams sampai kesusahan menelan ludah sendiri setelah melihat reaksi dingin Jeffrey yang sangat-amat-jarang ini.

 

"G-gue... M-mana i-i-inget.." Mendadak Bams jadi mirip Aziz Gagap.

 

Jeffrey memejamkan kedua matanya, mencoba untuk menenangkan diri dengan menghirup nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Setelah dirasa emosinya cukup mereda, Jeffrey dengan perlahan kembali membuka matanya dan mengambil ponsel dari dalam saku celananya.

 

"Lo mau lihat grup chat?" Tanya Bams.

 

"Kalau lo gak ingat ya mending gue cari sendiri pelakunya di sana." Jawab Jeffrey sibuk mengutak atik isi ponselnya.

 

"T-tapi-" Bams menampar mulutnya sendiri yang masih saja tergagap. "Tapi postingannya udah dihapus." Lanjutnya dalam sekali tarikan nafas.

 

"Meskipun udah dihapus, nama orang yang mosting pasti masih ada di sana. Yang gue butuhin nama orangnya, bukan postingannya."

 

***

 

"Gat, lo sejak kapan tahu soal si Ben?" Tanya Matteo pada Jagat yang sedang sibuk memotret langit siang itu dengan kameranya.

 

Sambil mengatur lensa dan mencari fokus objeknya, Jagat membalas. "Beberapa hari yang lalu kayanya."

 

"Dia bilang ke lo kalau si Ben itu anaknya?" Tanya Matteo lagi.

 

"Ya enggak. Silvia yang bilang. Tapi cuma bercanda sih kayanya, dia kan kalau lagi kesel suka ngomong asal." Jagat menurunkan kameranya, melihat hasil foto yang baru saja ia ambil. "Tapi kalau menurut penjelasan Jeffrey sih si Ben itu bayi terlantar yang dia sama Silvia temuin di pinggir jalan. Bahkan dia nunjukkin kardus sama surat yang ada sama bayi itu."

 

"Terus kenapa waktu dia minta tolong ke gue si Jeff bilang kalau Ben itu anak tantenya? Kenapa juga dia harus bohong sama gue?" Heran Matteo, melipat kedua tangannya di depan dada sambil memasang tampang berpikir.

 

"Kepepet mungkin? Dia sendiri yang minta tolong ke lo buat ngerawat si Ben?" Jagat menoleh.

 

Matteo mengangguk paham. "Iya. Dia sendiri yang nelpon gue buat datang ke apartemennya. Gue pikir ada urusan apaan, ternyata cuma mau nyuruh gue buat jagain si Ben."

 

"Kalau gitu sih beda sama gue. Gue sendiri yang nge-gap mereka lagi nyembunyiin bayi."

 

"Jadi sekarang yang bener ini yang mana?"

 

"Ya tunggu kabar dari si Bams aja. Oh iya, lo sendiri kan satu gedung apartemen sama si Jeff. Tanya aja sendiri. Ribet amat hidup lo." Jagat kembali mendekatkan kamera ke wajahnya dan mulai mencari objek lain untuk dipotret.

 

"Untung temen, Gat..."

 

***

 

"Aku pulaaang~!" Seru Silvia dengan riang gembira saat memasuki kediaman Jeffrey.

 

Chris yang sedang duduk di sofa sambil memangku Ben sontak menolehkan kepalanya, memandang kehadiran Silvia dengan kerutan di dahi. "Kamu kok udah pulang?"

 

Silvia tersenyum lebar, gadis berambut panjang itu langsung mengambil tempat di samping Chris dan mengambil alih Ben dari kakaknya. "Aku lupa kalau hari ini gak ada jadwal ngampus, jadi aku pulang aja hehe." Bohongnya masih memasang senyum lebar.

 

"Dasar piun." Ledek Chris.

 

"Eeyy..." Silvia menyikut lengan lelaki di sampingnya. "Manusia kan tempatnya lupa." Ucapnya.

 

"Oh, kamu manusia?"

 

"Mas mau aku usir dari sini?"

 

"Eheheh.. Bercanda ya ampun..."

 

"Hmm.. Mumpung Mas di sini, gimana kalau kita jalan-jalan?"

 

Sontak Chris menoleh, menatap aneh sekaligus kaget pada sang adik. "Kamu bilang apa tadi? Mas gak salah denger, kan? Kamu adik Mas, kan? Kamu lagi gak kesurupan, kan??"

 

Silvia memutar bola mata malas, "Aku tampar nih!"

 

***

 

"Kalian ada yang kenal sama cewek yang namanya Mirna, gak?" Tanya Jeffrey ke sekelompok perempuan yang sedang duduk santai di anak tangga.

 

"Eh, Jeff.."

 

"Di sini yang namanya Mirna banyak, Mirna yang mana nih?"

 

"Bukannya dia udah nikah ya? Kok masih nyariin cewek lain sih?" Bisik seorang cewek ke temannya yang duduk di barisan belakang.

 

"Hadududuh! Itu yang belakang tolong ya mulutnya!" Sergah Bams memberi peringatan, saraf pendengaran Bams jadi jauh lebih tajam dari sebelumnya. Dan dua perempuan di belakang itu langsung merapatkan bibir, melengos takut dengan tatapan tajam si cowok.

 

"Iya, Mirna yang mana nih?"

 

"Heh!" Seorang perempuan di sebelahnya menyikut lengan gadis barusan. "Mirna Mirna yang nyebarin gosip di grup kali! Bukannya lo ada kontaknya?" Bisik si perempuan.

 

"Oh, Mirna yang di grup chat ya?" Tanyanya setelah mendengar bisikan dari teman di sebelahnya.

 

"Iya, tau apa enggak?"

 

"Tahu kok, biasanya sih dia pergi ke mana-mana bareng sama cewek yang namanya Roa. Kalau mau nyari mereka, cari aja di kantin atau enggak di kelas sepuluh menit sebelum materi kuliah berikutnya di mulai."

 

***

 

"Mir, seharusnya waktu itu lo dengerin omongan gue. Tadi di kelas gue hampir semua orang ngomongin soal Jeffrey." Ucap Roa tak kuasa memakan makan siang miliknya, memikirkan gimana nasib temannya satu itu.

 

Mirna sendiri juga tak kalah cemasnya, selama perjalan dari kelas ke kantin saja perempuan berambut cokelat sebahu itu terus-terusan melihat sekitar, takut-takut salah satu teman satu geng Jeffrey, khususnya Bams, datang menghadangnya.

 

Di antara ketujuh anggota 97, Bams, dia adalah orang yang paling gampang tersulut emosinya dan paling gampang melempar bogem mentah ke orang yang berani macam-macam sama dia. Dan Mirna lupa kalau Bams masih anggota 97 dan juga anak Sastra Inggris.

 

"Seharusnya hari ini gue gak masuk." Gumam Mirna menggigit kuku ibu jarinya cemas.

 

"Mau lo hari ini masuk atau enggak, anak 'sembilan tujuh' pasti bakalan nyariin lo. Apalagi si Bams."

 

"Gue kenapa?"

 

***

 

"Gak gak gak, Mas gak mau." Tolak Chris.

 

"Mas jangan gitu dong! Mas kan model, uang Mas pasti melimpah, kan? Masa ngajak aku sama Ben ke bonbin aja gak mau? Jangan pelit kek sama adik sendiri!" Rajuk Silvia memberikan tatapan kesal pada sang kakak.

 

"Bukan gitu, di luar tuh sekarang suhunya panas banget. Kalau kulit kalian berdua kebakar gimana? Apalagi si Ben. Dia masih bayi, kasihan kali, Viii."

 

Mata Silvia memincing. "Halah, alibi! Bilang aja Mas yang gak mau kena panas, biar gak hitem!"

 

"Gini-gini Mas dulu udah pernah ngerasain punya kulit eksotis ya, Vi. Kalau semisal harus balik gitu lagi juga gak akan ada masalah."

 

"Ya terus masalahnya apa?"

 

"Kamu gak baca berita apa? Beberapa orang dikabarkan meninggal karena gak kuat sama suhu panas di luar ruangan. Kalau terjadi apa-apa sama anaknya Jeff gimana? Kamu mau tanggung jawab? Kamu mau ngasih anak ke dia?"

 

Plak!

 

Sendal rumah yang dipakai Silvia sukses menampar wajah tampan Chris.

 

***

 

"Jadi lo yang nyebarin gosip di grup soal gue?"

 

Jeffrey dan Mirna saling duduk berhadapan di sebuah meja yang ada di pojok kantin yang sepi. Kedua tangan Jeffrey terlipat di atas meja, maniknya menatap lurus tajam perempuan berambut panjang pirang di depannya yang sedari tadi menunduk takut.

 

Mirna menelan ludah kasar sebelum akhirnya menjawab dengan takut-takut. "I-iya."

 

"Kenapa?"

 

Mulut Mirna mengatup. Tentu Mirna tak akan dengan segampang itu mau mengungkapkan apa motif dibalik gosip yang semalam ia sebarkan.

 

"Kenapa?" Ulang Jeffrey, tatapan semakin menajam seiring dengan tundukkan kepala Mirna yang semakin dalam.

 

"Gue gak tahu kalau berita ini bisa jadi besar dalam waktu semalam meskipun postingannya udah gue hapus-"

 

"Bukan itu jawaban untuk pertanyaan gue." Potong Jeffrey, rahangnya ikut mengeras menahan emosi.

 

"Gue minta maaf karena udah-"

 

BRAKK!

 

Jeffrey menggebrak meja geram, membuat Mirna terlonjak kaget dan refleks mengangkat kepalanya. Beberapa orang yang ada di kantin, termasuk Bams dan Roa yang sengaja disuruh menunggu di meja yang cukup jauh juga jadi tercuri perhatiannya.

 

"Gue akan maafin lo kalau lo bilang terus terang ke gue apa dan kenapa lo nyebarin fitnah kaya gitu!" Sentak Jeffrey, wajahnya memerah marah.

 

Mata Mirrna memerah, dalam seumur hidupnya perempuan satu itu belum pernah sekali pun mendapat bentakan sekasar ini dari siapapun. Perlahan mata merahnya mulai berair dan satu tetesan air mata ketakutan pun jatuh membasahi pipinya.

 

"M-m-ma-af..." Cicit Mirna menatap Jeffrey  nanar.

 

Jeffrey menarik nafas dalam seraya memejamkan kedua mata dan menghembuskannya secara perlahan. "Gue cuma butuh alasan kenapa lo nyebarin gosip itu." Suara Jeffrey mulai kembali normal.

 

"G-g-gue... Bukan lo... Bukan lo target gue..."

 

"Sorry?"

 

"Silvia.. Dia.."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel