Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9

"Jep, si Silvi kapan balik sih? Ini kita baru dua hari ngurus si Ben aja udah kaya gini." Tanya Bams mengekor di belakang Jeffrey.

 

"Dia bilangnya seminggu dari kemarin, jadi ya kita tunggu aja. Masalah dia juga kan bukan masalah yang bisa diselesaiin dalam satu dua hari." Jawab Jeffrey sembari membuka lemari pakaiannya, mencari baju miliknya yang pas untuk dipakai tubuh kerempeng Bams.

 

"Lo kenapa gak mandi dulu aja sih?" Tanya Jeffrey berbalik, melempar satu handuk dari dalam lemarinya kepada Bams.

 

"Si Milo masih mandiin si Ben. Lo mau nyuruh gue telanjang bulat di depan si Milo? Iyuh, sowrry~ aset gue cuma tersedia untuk istri masa depan gue doang!" Balas Bams melingkarkan handuk yang ia tangkap ke lehernya.

 

"Ya, terserah lo. Nih, gue pinjemin kaos." Lagi, Jeffrey melempar satu kaos biru miliknya.

 

Bams menangkap kaos yang Jeffrey lempar, memandang benda tersebut dengan tatapan tak penuh syukur. "Kaos doang?"

 

"Ya lo maunya apaan? Baju gue gak ada yang ngepas badan. Yang ada kalo lo gue pinjemin baju gue yang lain yang ada lo malah tenggelem."

 

"Si asem, enak banget lo ngehina gue?!"

 

Sementara itu...

 

"Ben tunggu di sini sebentar ya? Kak Milo keluar dulu mau manggil yang lain buat bantuin mandiin kamu, ya?" Ucap Milo dengan suara yang diimutkan, sementara Ben kecil cuma merespon ucapan Milo dengan tawa-tawa kecil serta anggukkan serta gelengan berulang kali.

 

Setelah menepuk-nepuk pelan kepala Ben, Milo pun keluar, mencari satu orang yang bisa ia mintai bantuan.

 

"Guys, salah satu temenin gue mandiin Ben dong! Gue gak ngerti cara mandiin bayi nih!" Pinta Milo berseru.

 

"Milo tuh Milo! Dia kan udah pernah disuruh Jeffrey jagain Ben!" Tunjuk Dika ke Matteo.

 

"Gue lagi masak!" Balas Matteo sambil mengangkat pisau dapur yang ia pegang. "Si Yogi tuh."

 

"Kok gue?! Jagat tuh Jagat!" Lempar Yogi.

 

"Kenapa jadi gue? Jeffrey tuh! Lo panggil aja dia, dia yang punya anak ini." Tolak Jagat tanpa sedikit pun menoleh.

 

"Jeffrey di mana?" Tanya Milo.

 

"Di kamar tuh sama Bambang." Jawab Yogi menunjuk pintu kamar Jeffrey yang terbuka lebar.

 

"Oke." Milo mengangguk, dengan langkah santai dia berjalan menuju kamar Jeffrey.

 

"Aduh kok gue kebelet ya?" Gumam Dika sembari mematikan kompor dan lanjut ngacir ke kamar mandi.

 

Dan tak berselang beberapa detik terdengarlah suara pekikkan dan tangisan yang sangat melengking dari dalam kamar mandi.

 

"Oweeekkk!"

 

"GAESS!! BEN TENGGELEM DI BATHTUB!"

 

***

 

Hari ketiga...

 

"Guys, hari ini gue ngampus sampai sore." Kata Matteo.

 

"Gue juga ada tiga matkul nih hari ini." Timpal Jeffrey.

 

"Gue juga harus ngasdos." Tambah Dika yang mana buat tatapan Milo jadi horror, ingat sama kejadian kemarin.

 

"Gue gak bakal ninggalin Ben sama lo, tenang." Kata Jeffrey peka akan keberadaan Milo.

 

"Puji Tuhaan..." Gumam Milo mengelus dada, lega.

 

"Tapi baju gue juga gak mau dikencingin sembarangan lagi sama tuh tuyul!" Celetuk Bams sinis.

 

"Tinggal kalian berdua nih, ada jadwal gak?" Tanya Jeffrey.

 

"Karena gue orangnya gak bisa bohong, gue akuin gue gak ada jadwal." Jawab Jagat angkat suara, diam-diam melirik Yogi.

 

Sadar akan lirikan Jagat dan juga tatapan para anak "97 di sekitarnya buat Yogi tersulut emosi.

 

"Kalian ngapain ngelihatin gue kaya gitu?!" Solotnya mendelik. "Gue juga gak ada jadwal! Santai aja! Gue bisa jagain si Ben! Jadi matanya tolong dijaga sebelum jari-jari jenjang gue ini nyolokin mata kalian satu persatu!" Katanya ngebentak-bentak.

 

"Dih, santai bos. Gak usah ngotot gitu." Balas Jagat.

 

"Jadi udah fix ya, yang jagain Ben hari ini Jagat sama Yogi?" Tanya Jagat memastikan.

 

"Iya, lo semua berangkat sana!" Usir Yogi.

 

"Biasa aja kali, Gii!" Sahut Bams.

 

"Apaan?! Gue gak ngapa-ngapain kok!" Solot Dika.

 

"Yang gue maksud Yogi bukan lo, corong masjid!"

 

***

 

Kyoto, Jepang

 

"Kamu kenapa sih, Vi dari tadi mondar-mandir gitu? Udahlah, kamu bilang apa adanya aja ke Papa. Kalau semisal nanti Papa maksa kamu buat lanjutin kuliah di sini, nanti biar Mas yang bujuk Papa, kamu tenang aja."

 

Silvia menghela, perempuan itu sejak tadi mondar-mandir di ruang tamu itu bukan sedang bingung memikirkan sang ayah. Tapi dia khawatir sama keadaan Ben yang dia tinggal sama Jeffrey. Di sini Silvia berpikir kalau Jeffrey belum begitu bisa mengurusi Ben sendirian. Gantiin popok aja masih minta ditemenin, kalau Ben tiba-tiba nangis telepon minta bantuan, pernah sekali disuruh buat bikin susu formula buat Ben malah dikasih air dingin. Hhh.

 

"Aku kepikiran sama Ben, Mas." Lirih Silvia menjatuhkan diri ke atas sofa.

 

Sekarang gantian Chris yang menghela. Bohong kalau rasa curiga Chris ke adiknya dan Jeffrey sudah hilang. Melihat betapa Silvia khawatir soal Ben makin membuat pria bertato itu curiga kalau Ben adalah anak dari Silvia dan JaehyunJeffrey Tapi di lain sisi dia juga gak mau adiknya beneran udah pernah hamil dan ngelahirin anak segede Ben.

 

"Ben beneran bukan anak kalian?" Tanya Chris memandang Silvia dari samping.

 

Silvia menoleh. "Bukaan!"

 

"Mas gak tahu harus percaya atau enggak sama kamu. Susah. Kamunya kelihatan perhatian banget sama Ben. Kalau bukan anak kamu pasti kamu gak bakal mikirin bayi itu sampai jauh ke sini, kan?"

 

"Mau dia anak aku atau bukan, kalau aku ninggalin dia sama sekumpulan cowok ya pasti aku bakalan khawatirlah, Mas. Iya kalau mereka bener ngerawatnya, kalau sembarangan? Kan kasihan anaknya."

 

"Tapi emang gak keterlaluan? Kalau itu emang bukan anak kalian, kenapa gak kalian bawa aja ke panti asuhan?"

 

"Mas tanya aja sendiri sama si Jeffrey. Anaknya dibawa ke kantor polisi aja dia gak mau, apalagi ke panti asuhan. Udah berubah jadi Tarzan dia kali, teriak-teriak "GAK MAU! GAK MAU!". Malu aku yang jadi tetangga dia."

 

"Jangan-jangan itu anaknya Jeffrey?" Tebak Chris.

 

"Iya kali." Ketus Silvia menyandarkan diri pada sofa.

 

"Kalian sudah lama?"

 

***

 

"Kamu bilang apa barusan?" Ucap sang ayah memaksakan diri untuk tersenyum, dalam hatinya menahan amarah.

 

Kepala Silvia makin tertunduk, dia takut kalau kalau ayahnya itu marah dan memaksanya untuk menetap di Jepang. "Sisil di drop out, Pa." Ulangnya terbata.

 

"Kok bisa? Kamu emang ngapain? Kamu sering absen?" Silvia menggeleng. "Terus kenapa? Ngomong sama Papa!"

 

"U-udah waktunya kali, Pa." Cicit Silvia yang jelas membuat sang ayah semakin murka.

 

"Udah waktunya apa?! Kamu aja baru dua tahun kuliah, terus tiba-tiba di DO kaya gini, kan pasti ada yang salah! Papa tiap bulan gak pernah absen ngirimin kamu uang, kalau sampai kamu di DO karena kamu gak bayar uang SPP, Papa gak habis pikir sama kamu. Papa pikir kamu beneran mau jadi mandiri di sana, tapi apa? Kamu malah kaya gini. Mending kamu tinggal di sini aja sama Papa, gak usah balik-balik lagi ke Korea. Kamu tinggalin semua apa yang ada di sana, lupain semuanya dan mulai hidup baru di sini. Papa aja gak sudi balik ke sana."

 

"Pa!"

 

***

 

Ben mnangis memukul-mukul dada Yogi secara membabi buta.

 

"Demi Tuhaaan! GAT! Ini gimana nih nangis mulu dari tadi!" Keluh Yogi meringis. "Digendong udah, ganti popok juga udah, kok masih aja nangis sih nih bayi?!"

 

"Coba lo nenenin deh, biasanya bayi kalau nangis dinenenin sama emaknya, kan langsung diem." Jawab Jagat sibuk mengganti-ganti saluran televisi dengan repot dari atas sofa.

 

"Nenen nenen kepala lo botak! Punya gue mana bisa keluar susu!" Protes Yogi emosi, tangannya terus-terusan sibuk membenarkan posisi duduk Ben digendongannya. "Punya lo aja tuh coba!"

 

"Mata lo soang? Punya lo aja gak bisa ngeluarin susu, apalagi punya gue, sempak!" Solot Jagat memutar kepala karena posisi Yogi ada di belakang sofa, sibuk mondar-mandir gendongin Ben biar diem.

 

"Lo tanya Jeffrey deh! Buru!" Suruh Yogi.

 

"Ya tinggal lo telpon aja sana." Balas Jagat yang jelas buat mata Yogi mendelik lebar.

 

Pemuda berkaki jenjang itu dengan langkah cepat mendekat ke arah belakang sofa dan menendung punggung sofa dengan keras sampai Jagat yang sedang tiduran menyamping di sofa jatuh terguling ke karpet.

 

"Sakit, su!" Umpat Jagat memegangi punggung bawahnya.

 

"Lo tuh dari tadi gak ngapa-ngapain ya! BURUAN SANA TELEPON JEPRI!!"

 

"IYA IYA!”

 

Semntara itu di kampus...

 

"Maksud lo apaan si Mirna hilang?" Tanya Jeffrey ke Roa.

 

"Dari dua hari yang lalu Mirna sama sekali gak bisa dihubungin, gue juga udah coba pergi ke apartemennya tapi security bilang kalau Mirna belum balik ke sana. Gue bener-bener khawatir, Jeff, tolong bantuin gue. Gue minta maaf kalau Mirna pernah buat salah sama lo juga Silvi, please bantuin gue." Pinta Roa memelas.

 

"Yang salah Mirna, kenapa juga lo yang harus minta maaf? Lagipula gimana cara gue buat bantuin lo cari dia? Bukannya gue gak mau bantu, tapi lo tau sendirikan gue ada anak kecil. Kalau semisal harus nyari sampai muter-muter sih gue gak bisa nyanggupin." Jelas Jeffrey, dalam hati masih menyimpan sedikit rasa kesal pada Mirna.

 

"Terus gimana dong? Gue cuma bisa minta bantuan sama lo, Jeff."

 

"Coba deh lo hubungin lagi si Mirna, mungkin dengan semakin sering lo coba untuk hubungin dia kemungkinan besar dia bakalan ketemu. Bisa jadi dia balik ke Jepang—" Tiba-tiba Jeffrey terdiam, dia seakan teringat akan sesuatu.

 

Tring tring tring

 

"Jeffrey, hape lo bunyi." Tegur Roa.

 

"Oh? I-iya." Jeffrey yang tersadar langsung saja merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya.

 

"Jagat?" Gumamnya sebelum menerima panggilan yang masuk. "Halo?"

 

"Bro, anak lo nangis nih. Buruan pulang. Gue sama Yogi gak bisa bikin dia diem nih."

 

"Lah? Lo berdua gimana sih, udah diamanatin buat ngurusin Ben kenapa gak becus gini?" Omel Jeffrey.

 

"Jangan main asal bilang gak becus dong, bro. Gue sama Yogi, kan belum ada pengalaman buat bikin anak dan ngurus anak. Lo yang udah berpengalaman sih enak bisa ngom—"

 

"Siapa yang lo bilang berpengalaman, hah?! Gue juga belum pernah, lengkuas!" Potong Jeffrey emosi.

 

"Iyalah terserah kata Pahmud ajalah ya. Sekarang buruan balik deh lo!"

 

"Ben haus kali makannya nangis, lo bikinin susu aja." Saran Jeffrey.

 

"Udah tadi dibikinin susu sama Yogi, tapi masih nangis. Bahkan ini tadi udah mau dinenenin sama dia soalnya si Ben gak mau berhenti nangis."

 

"Ngawur lo! Emang si Yogi bisa produksi susu!"

 

Dan Roa yang mendengar dengan jelas percakapan antara Jeffrey dan Jagat pun entah kenapa jadi berasa ilfil sendiri. Agak takut juga iya.

 

"Si Ben berak kali, lo periksa deh popoknya."

 

"Udah tadi diganti sama si Yogi. Tapi masih nangis."

 

"Kok dari tadi lo ngomongnya 'sama si Yogi, sama si Yogi mulu sih? Berasa dia doang yang ngurusin Ben dari pagi." Herannya.

 

"Ya emang. Ini sekarang gimana nih? Harus gue apain nih si Ben??" Tanya Jagat.

 

"Laper kali dia."

 

"Terus harus gue kasih makan apa?"

 

"DEDEG! Ya susu bayi lah, dodol garut!" Seru Jeffrey pada ponselnya.

 

"Sabar masss... Sensi amat law. Lagi PMS?"

 

"Si ampas! Udah sana buruan bikinin susu buat Ben!"

 

"Kok gue? Lo sendiri, kan tahu gue kalau masak apapun pasti jadi lengket dan nempel di piring."

 

Jeffrey menepuk jidat. "Astagaaa! Bubur tinggal nyeduh aja kenapa lo bikin ribet gini sih, Gaat?! Kalau enggak lo suruh aja tuh si Yogi yang bikin! Bye!" Tukas Jfrey langsung memutuskan sambungan telepon.

 

"Wong edyan!" Umpatnya memandang kesal si ponsel.

 

"Lo... Gak apa-apa, JeFF?" Tanya Roa pelan.

 

Jefrey mengangkat wajah dan tersenyum kecil. "Ha? Gak papa kok." Jawabnya.

 

"Terus, gimana? Lo masih mau bantuin gue gak nyari Mirna?"

 

"Gue bantu ngehubungin dia aja ya? Sorry nih sebelumnya, gue harus pergi ketemu sama Mr. Ray. Gue permisi dulu ya? Bye." Pamit Jeffrey lalu dengan terburu berjalan cepat pergi dari depan kelas.

 

"Kok Jeffrey jadi berubah agresif gitu ya?" Gumam Roa setengah bingung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel