Bab 9 Sepulang Kelas Bimbingan Khusus
Bab 9 Sepulang Kelas Bimbingan Khusus
Sebagai murid teladan yang telah mengukir banyak prestasi, belajar adalah kegiatan yang sangat kuprioritaskan. Belajar dan belajar. Tidak ada hari tanpa aku berhenti belajar. Dan kelas bimbingan khusus ini sangat membuatku senang.
Jam kelas bimbingan hari ini sudah selesai. Aku segera pulang karena tak ingin telat sampai di rumah. Tidak sama seperti kebanyakan anak lainnya yang masih menyempatkan diri untuk mampir ke tempat hiburan seperti utuk bermain game atau lainnya. Itu sangat membuang-buang waktu. Aku sama sekali tak menyukainya.
Ketika semua langkah kaki berbelok ke arah jalan aku masih harus berputar balik lebih dulu untuk mengambil sepeda. Mereka yang biasanya masih ingin pergi ke tempat lain pasti lebih memilih untuk berjalan kaki. Tentu saja dengan teman-temannya.
Sedangkan aku? Naik sepeda memudahkanku agar cepat sampai di rumah.
“Ah, senangnya bisa menyentuh sepeda ini lagi.” Napas panjang kuhembuskan dengan lega saat berhasil menggamit setang sepedaku yang kedinginan. Kiyo—sepedaku, dia masih baik-baik saja setelah kutinggal sendirian di lahan parkir yang sepi. Lebih tepatnya, bersama satu sepeda yang lain di sebelahnya.
“Kiyo, kau masih cemerlang seperti biasa. Untuk hari ini, jadilah teman baikku yang setia ya?” Aku mengelus batang sepeda Kiyo. Kiyo adalah panggilan yang hanya boleh kusebut saat tidak ada seorang pun di sekitarku. Termasuk ibu dan Sandra sekalipun. Semua orang yang mendengarkannya pasti akan langsung tertawa.
“Siapa Kiyo yang kau sebut sebagai temanmu itu?” Rival membuatku terlonjak kaget. Dia tiba-tiba berada di sebelahku dan bertanya tentang Kiyo.
Aku terbata. Ini sungguh memalukan. Kenapa dia bisa ada di sebelahku? Apa dia mendengar ucapanku yang lainnya tadi? Ah, aku mendesah cukup panjang sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
“Itu ... bukan apa-apa. Aku tidak bilang apa-apa, kok,” jawabku dengan tatapan tak yakin.
“Oh, baiklah. Wah, sepertinya sepeda kita bersebelahan. Apa kau menungguku?” Tanpa wajah berdosa, dia bertanya tentang sesuatu yang serba omong kosong.
“Tidak mungkin! Untuk apa aku menunggumu? Aku hanya sedang-”
“Sedang apa?” potong Rival.
Gawat. Kalau aku mengatakan jika tadi sedang mengelus batang sepeda dan menanyakan kabarnya aku akan dikira gila. Aku tak mau orang lain mengetahui hal ini. Terutama Rival.
“Ya. Aku sedang terburu-buru untuk cepat sampai di rumah. Aku mau belajar.” Sambil kusembunyikan raut wajahku ini, aku mengeluarkan Kiyo dari lahan parkir dan menaikinya dengan perlahan. Lalu mengayuhnya.
“Tunggu, Casie!” teriak Rival.
***
Hahaha. Tidak tahu kenapa aku ingin tertawa lepas. Melihat Rival yang sedang mengayuh sepedanya tepat di sampingku. Entah aku harus senang atau bahagia. Hahaha, tentu saja bukan. Maksudku aku harus diam saja, bersikap acuh, dan membiarkan Rival mengoceh sampai pada saatnya untuk siap kuhajar.
“Kebetulan rumahku searah denganmu. Lebih tepatnya dua jalan dari arah rumahmu. Mungkin tak ada salahnya kalau pagi hari kita berangkat bersama,” ungkap Rival.
Hu? Berangkat bersama? Itu tidak akan terjadi.
“Aku selalu berangkat lebih pagi dan kau pasti tak bisa menyusulku,” jawabku ketus.
“Aku juga selalu berangkat lebih pagi.” Rival meyakinkanku.
“Kalau kubilang tidak ya tidak. Lebih baik jangan menyulut emosiku dan aku tahu kau pasti berbohong.”
“Berbohong? Apa maksudmu?”
Saat itu kami tepat berbelok ke arah jalan perumahan yang rimbun dengan pepohonan. Jalanannya agak gelap karena hampir sebagian langit tertutup dengan rimbun pohon yang sangat tua.
Di sana ada banyak para tetangga yang mengenalku. Termasuk Bibi Grace yang sering menyapu halaman ditemani anjing pemalasnya.
“Hai, Casie!” sapanya sambil melambaikan sapu ijuk. Kemudian tak sengaja dijatuhkan tepat di atas perut anjingnya yang sibuk tidur di halaman.
“Ow, hohoho.” Aku meyeringai geli. Disusul dengan Rival yang ikut tertawa terbahak-bahak. Sungguh sangat mengganggu. Apalagi di tengah sepinya perumahan dan hanya beberapa burung yang sedang bernyanyi kecil.
“Saking pemalasnya, anjing itu sampai tidak bangun. Bagaimana bisa?!” tawa Rival makin meledak.
Kami menyusuri kembali jalan tersebut. Melewati sebuah rumah tua yang tak terurus. Ada nenek Amiret di sana. Dia duduk di kursi goyang depan terasnya dan melambai padaku. Senyumnya sangat lebar sehingga memperlihatkan giginya yang sudah tidak ada.
“Hai, nenek!” sapaku sebelum nenek bersuara—dia tidak bisa kudengar suaranya. Aku tak ingin membuatnya kesulitan untuk memanggil namaku.
“Hai, kakek Kirchoff!” sapaku setelah melihat seorang kakek tua keluar dari rumah tersebut dengan menggunakan tongkat. Tubuhnya gemetaran sambil melambai ke arahku.
“Hahaha! Kenapa bentuk tongkatnya aneh?! Seperti arus listrik pada rangkaian. Pantas saja namanya Kirchoff.” Rival semakin meledak-ledak. Dia hampir saja terjungkal dari sepedanya.
“Harusnya si nenek pakai gigi palsu!” ujar Rival. Hari ini dia membuatku semakin tidak mood untuk menghabiskan waktu bersepeda bersama Kiyo.
“Berhentilah tertawa Rival. Kalau tidak aku akan memukul wajahmu dengan kamus!” ujarku kesal.
“Baiklah, maafkan aku.” Rival akhirnya berhenti tertawa. Napasnya makin tersengal dan dia berusaha mengambil napas panjang dan mencoba untuk tidak menoleh ke arah rumah kakek Kirchoff dan nenek Amiret.
***
Tersisa tiga jalan lagi sebelum aku sampai di rumah. Namun aku tak sengaja melihat Rival yang ternyata masih menahan tawanya sampai sekarang.
“Apa-apaaan, sih? Tidak ada yang lucu sama sekali buatku.” Kedua alisku kutautkan.
“Yah, perempuan memang tak punya selera humor yang baik.”
Oh ya? Aku pikir laki-laki lah yang sebetulnya tak punya selera humor yang baik. Mungkin untuk hal yang barusan terjadi, Rival memang terlalu melebih-lebihkannya. Hahaha, konyol.
Tepat di belokan depan kami akan berpisah. Di sana terdapat lampu jalan sebagai penanda. Kayuhanku makin cepat karena tak ingin berlama-lama dengan Rival. Namun begitu aku akan berbelok, di sana ada Sandra yang kebetulan berjalan.
Dia menyapaku dan Rival. Rival yang hendak berbelok ke arah yang lain malah berhenti.
“Maaf Cas! Terima kasih ya sudah menemaniku! Aku pulang dulu!” teriak Rival yang jaraknya sekitar dua meter dariku.
Aku mengangguk. Kemudian berlalu melewati Sandra.
“Casie! Kenapa kau bersama Rival? Ah, bikin iri saja,” sahutnya.
“Terserahmu saja! Dah, aku mau cepat sampai rumah!” Aku berdiri di kayuhan dan menggowes lebih cepat. Dua jalan dari sini tak seberapa jauh. Aku hanya ingin segera berbaring dengan damai sambil mendengarkan musik di kasur.
Hari ini cukup melelahkan sepertinya. Semoga saja Ibu mempersiapkan sesuatu yang segar untukku.
Seketika aku jadi mengingat tatapan Rival yang membuat hatiku berubah menjadi dingin. Maksudku aku tak mau lagi dekat dengannya. Besok dan seterusnya aku harus bersikap acuh pada Rival.
Sesampainya di rumah, benar saja. Entah apa yang membuat ucapanku terkabul begitu saja. Ajaib, di atas meja makan sudah ada segelas es buah limun. Aku yang saat itu sama sekali belum membuka sepatu dari depan, juga tas yang masih tersangkut di bahu langsung duduk di kursi.
Ibu sedang memasak. Tapi bukan Pie Apel. Aku yang belum memberinya salam pulang tetap saja menerobos untuk meraih gelas di atas meja dan menenggaknya sampai habis.
“Casie?? Kenapa kau tidak bilang kalau sudah datang?” Ibu terkejut melihat kehadiranku.
“Eh, iya. Aku sangat kehausan. Terima kasih es limunnya, bu!” Setelah menghabiskan es limun tersebut aku langsung naik ke atas. Tidak lupa melepas sepatu dan lekas naik ke atas.
Di kamar aku menanggalkan tas dan langsung lompat ke atas kasur. Wah, suasana yang sangat membuatku bahagia sepanjang tahun. Ya, seumur hidup sekalipun aku tak akan pernah merasa bosan dengan berbaring di atas kasur.