Pustaka
Bahasa Indonesia

My Rival My Boyfriend

88.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
604
View
8.0
Rating

Ringkasan

Seorang remaja putri dihadapkan dengan rival olimpiadenya yang tiba-tiba masuk ke sekolah dan menjadi rekan pelajaran. Malu-malu keduanya saling suka dengan cara yang tidak biasa, berusaha menipu diri masing-masing padahal hati telah terpaut sejak lama

Teenfiction

Bab 1 Rival

Bab 1 Rival

Jika langit hari ini begitu mendung maka aku akan berlari sangat cepat dari halaman depan rumah. Kumulai dari dekat akar-akar pohon Ek yang mencuat hampir ke ruas jalan di perumahan. Baiklah, semua ini karena sepedaku yang dipinjam Ibu untuk pergi ke kantor pos di prefektur sebelah.

Wanita paruh baya itu hanya tak ingin menunda kerinduannya pada teman lama yang baru saja mengiriminya sebuah surat dan cendera mata dari salah satu negara di Asia. Jepang. Tentu saja ia ingin segera membalas isi suratnya beserta satu kotak coklat yang dipaketkan dan akan dikirim ke Jepang juga.

Sambil menunggu sepedaku dikeluarkan oleh wanita paruh baya tersebut, aku masih memandangi langit. Berharap jika mendung tak datang dan aku dapat berjalan santai.

“Apa kau tak pergi ke sekolah, Casie?” tanya Ibu. Ia baru saja keluar sambil menuntun sepeda di samping kanannya.

“Sebentar lagi. Setelah Ibu berangkat,” jawabku dengan sedikit menghela napas. Sudah kubilang, bukan? Itu karena hari ini aku pergi ke sekolah tanpa bersepeda. Selebihnya karena malas berjalan.

“Memangnya kenapa?” tanyanya balik.

Entah kenapa aku agak malas menjawab pertanyaan Ibu. Lalu aku pun menjawab dengan gelengan kepala. Setelahnya bahasa isyarat dan ‘telepati’ di antara kami pun tersambung begitu saja.

Ibu pun dengan cepat menaiki sepeda. Sebelum mengayuh, ia sempatkan lagi untuk menoleh ke arahku. Mencoba meyakinkan apakah Casie buah hatinya sedang tidak baik-baik saja atau kenapa?

Lagi-lagi kujawab dengan gelengan kepala.

“Dah, Casie!” ujarnya setelah memulai kayuhan pertama. Disusul lambaian tangan. Aku langsung turut melambai padanya.

Huh! Langit ternyata mulai mendung. Membuatku harus berlari untuk sampai ke sekolah.

***

Jalanan tampak gelap. Belum lagi masih ada satu kilometer yang harus kulalui. Dengan berbagai jalan setapak yang bervariasi. Angin juga tak ingin kalah untuk meneriakiku agar aku terus berkeluh kesah ketika berlari mengahalaunya.

Akhirnya sampai juga di depan gerbang sekolah. Tulisan ‘Senior High School’ terpampang jelas dari gedung sekolah di dalam gerbang. Bagai sebuah menara besar dengan banyak orang kaya di dalamnya. Siapapun yang bersekolah di sini tidak akan membuang uangnya dengan percuma. Tampaknya. Namun tak hanya orang kaya saja yang bersekolah di sini.

Keluargaku sendiri bukanlah pemilik perusahaan besar di kota. Tidak sama sekali. Bahkan, Ayahku hanya seorang dosen di universitas. Sementara aku hanyalah murid beasiswa yang baru saja memenangkan olimpiade matematika nasional tahun ini.

Dan sesuatu yang ingin kuberitahu adalah, banner besar di depan sekolah! Di sana terpampang wajah manisku serta nama lengkap di bawahnya. Casie Marphell sebagai Juara Olimpiade Matematika Nasional.

Rasanya bangga. Tak hanya warga sekolah yang kemudian menyapaku. Namun orang-orang di sekitar juga. Saatnya melangkahkan kaki dengan mantap—melewati gerbang sekolah. Tiba-tiba saja langit menjadi terang. Seolah mereka baru saja mendengar permohonanku dan mereka mulai tunduk pada Ratu Matematika sepertiku.

“Hei!” Tiba-tiba sebuah suara sampai di telingaku. Saat kutolehkan pandangan aku menemukan seorang laki-laki sebaya. Seragamnya tampak baru, rambutnya klimis, dan senyumnya dibuat terlalu ramah.

Seketika wajahku menjadi kusut.

“Kenapa kau ada di sini?” tanyaku. Begitu heran dengan kedatangan laki-laki tersebut. Yaitu seseorang yang baru saja kukalahkan dalam ajang olimpiade matematika nasional kemarin.

Ia tersenyum. Kalau tidak salah namanya Rival.

“Aku Rival,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Yup! Ternyata benar namanya Rival. Sekarang aku mulai menyalami tangannya sebentar saja. Masih heran dengan keberadaannya saat ini.

“Selamat ya atas kemenangannya, The Queen of Math!”

“Apa katamu?!”

“Yeah, kau memang keren Casie!” timpal Rival sambil memangkas rambutnya ke belakang. Seolah tebar pesona.

***

Rival adalah musuhku. Bagaimana tidak? Di setiap ada kompetisi matematika aku selalu bertemu dengannya. Kami berbeda sekolah. Namun tak jarang juga ia memenangkan beberapa kompetisi tersebut.

Kami selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam setiap kompetisi. Apalagi untuk merebutkan posisi juara. Bahkan setiap mata kami saling bertemu, seperti ada sebuah sinar api yang menyala. Sama-sama tak mau kalah.

Tapi sekarang ...?

Kenapa Rival ada di sekolahku? Kenapa juga sikapnya sangat jauh berbeda seperti saat kami bertemu dalam sebuah kompetisi?

“Panggil saja Casie. Aku tak mau kau menyebutku seperti itu, Rival!” kecamku dengan suara yang lebih ditekan.

Aku hanya tidak suka dengan kedatangannya yang tiba-tiba ini. Ah, sudahlah aku malas bertemu degannya. Lalu langit seolah kembali membela tempat yang lain agar di sini kembali mendung.

***

Kelas sebentar lagi dimulai. Sesuatu yang paling kusuka. Karena belajar adalah kegiatan favoritku. Terlebih sebentar lagi adalah jadwal matematika yang akan mengisi.

“Hei, everybody!” Mrs. Ratry memasuki kelas dengan sepatu hak setinggi 3 cm yang membuat suara ‘tuk tuk tuk’.

“Yes, ma’am.”

Mrs. Ratry sampai di mejanya. Namun tiba-tiba seseorang yang lain masuk ke dalam.

Sontak aku terkejut begitu mengetahui jika Rival yang muncul di depan kelas. Oh astaga! Kenapa dia harus ada di sini?

Saat tepat berhadapan dengan manik matanya aku tak bisa lagi ‘memberi salam’ dengan picingan mata dan tatapan panas padanya—seperti biasa. Itu karena Rival sedang tersenyum dan ia melambai ke seluruh anak di kelas.

Dan lagi, Mrs. Ratry langsung menyuruhnya duduk di sebelah bangku milikku yang rupanya memang masih kosong. Oh ayolah, aku tak ingin duduk bersebelahan dengannya. Ah, sudahlah aku benci bila bertemu dengan seorang musuh. Lalu kenapa ia harus ada di sekolah ini dan duduk tepat di sebelahku?

“Kau tidak perlu khawatir kalau aku akan mengalahkanmu. Aku ke sini tidak untuk bersaing lagi. Oke?” ujarnya setelah berhasil duduk di bangku. Ia membenarkan kerah bajunya sambil duduk tegak. Rambutnya dirapikan lagi. Kemudian sebuah buku tulis diletakkan di atas mejanya.

“Kenapa kau jadi sangat aneh, sih? Lagipula kenapa kau bisa berada di sini?” Memang tak ada lagi pertanyaan yang harus kulontarkan selain ini.

Bayangkan saja. Bertemu dengan seorang musuh yang sudah lama bersaing, apa tak ada yang akan muak? Aku sangat muak. Apalagi melihat sikap yang menjijikkan seperti itu. Berpura-pura asik!

“Sudahlah, nanti saja kita bahas. Aku tak mau kau terganggu di tengah mata pelajaran sekarang,” katanya lagi. Lebih memuakkannya saat ia tak menoleh sedikit pun untuk memberi jawaban yang nyaman atas pertanyaanku.

“Arghh!” erangku dalam hati. Siapa yang tak merasa sebal memangnya?

Apa mungkin ia datang kemari memang untuk bertanding lagi denganku? Seseorang yang kalah pasti tak mau terus kalah. Oleh karena itu Rival memutuskan untuk pindah sekolah dan memilih untuk bersaing lebih serius lagi denganku. Yaitu di sekolah yang sama dan di kelas yang sama.

Benarkah seperti itu?

***

Ini baru tahun keduaku di SMA. Meskipun begitu aku sudah banyak sekali menyelesaikan puluhan bahkan ratusan soal yang ada di buku latihan persiapan ujian untuk tingkat terakhir di Sekolah Menengah Atas.

Murid baru yang ada di sebelahku—Rival. Dia juga sama denganku. Bedanya hanya tipis. Olimpiade nasional kemarin yang menjadi penentu. Antara dua orang yang benar-benar pintar dengan salah satunya yang lebih pintar dan bersungguh-sungguh.

Bukannya aku sombong. Tapi kenyataan sudah terlihat jelas, bukan?

Mrs. Ratry memulai pelajarannya dengan menuliskan sebuah soal di papan tulis. Materi Trigonometri. Salah satu yang menjadi favoritku.

Setelah soal selesai ditulis, Mrs. Ratry bertanya pada seisi kelas perihal siapa yang bisa menjawab. Tanpa pikir panjang aku langsung mengangkat tangan. Tapi ternyata Rival juga mengangkat tangannya.

“Rival, silakan!” Mrs. Ratry memilih Rival untuk menyelesaikan soalnya.

Aku mendengus sebal. Saat Rival kembali dengan pernyataan benar dari Mrs. Ratry, ia mengacungkan jempol di depan dadanya. Aku tahu jika ia sedang meledekku saat ini.

“Boleh aku bertanya sekali lagi padamu? Sebagai musuh.”

“Hu? Tidak. Kau tak boleh bertanya apapun padaku.” Lagi-lagi ia menjawabnya tanpa menoleh.

Huh! Kenapa dia bisa sangat menyebalkan seperti ini?

“Lalu bagaimana caranya agar aku bisa mendapat jawaban atas seluruh rencanamu dan keberadaanmu yang tiba-tiba di sini?! Ayo, jawab saja!” desakku pada Rival.

Ada suatu rencana yang kususun untuk menyingkirkan wajahnya dari sini. Setidaknya dari kelasku.

Laki-laki itu pun akhirnya menoleh ke arahku. Sejenak aku terdiam dan menelan ludah. Sorot matanya agak berubah.

“Kalau begitu jadilah temanku, Casie. Bukan musuh.”