Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Dia adalah Musuh

Bab 2 Dia adalah Musuh

Aku tidak mau berteman dengan anak baru itu. Rival. Dia membuatku menjadi risih. Kedatangannya sangat tak kuharapkan. Karena kupikir kita hanya akan menjadi dua orang yang saling bersaing di dalam kompetisi.

Tapi kalau sudah seperti ini ..?

Rival akan terus bersaing bersamaku di dalam kelas. Dan sudah beberapa kali ia menjawab pertanyaan Mrs. Ratry barusan. Semakin membuatku merasa tak nyaman saja.

Mrs. Ratry sedang duduk di bangkunya. Ia sedang mengamati beberapa kertas di tangannya. Mungkin sedang memeriksa atau menuliskan nama Rival sebagai anak baru yang jenius. Atau anak baru yang sangat memukau. Dan tak jarang kalau Mrs. Ratry akan memberikan nilai tambahan untuk anak-anak yang bisa menjawab soal di papan.

Krieettt ..!

Bangku milik Mrs. Ratry berderit. Sepatu haknya kemudian diseret dan ia berdiri di tempatnya.

“Bisa kau berikan nama lengkapmu, Rival? Namamu harus kutulis di list kelas matematika dan, oh ya! Tentu saja kau harus mendapatkan nilai tambah dariku hari ini.”

Jawaban Mrs. Ratry membuat seluruh anak langsung terpana ke arah Rival. Kecuali aku. Hari ini aku hanya mendapatkan dua nilai tambahan, sementara Rival mendapat tiga nilai. Bagaimana aku tidak sebal? Dia sudah merebut kesempatan yang biasa aku punya untuk menjawab soal-soal tersebut.

Arghh!

Tak lama setelah Rival menyebutkan namanya dan mengucap terima kasih, bel istirahat pun berbunyi. Mrs. Ratry bergegas keluar dan banyak anak-anak lain yang mulai ikut keluar untuk mengisi perut.

Aku juga masih punya kebiasaan yang sama dengan mereka. Bukan hanya menjadi tontonan yang jenius tapi aku juga perlu membeli sesuatu di kantin. Mungkin roti atau snack yang lain.

Sebelum aku masuk ke sebuah ruangan besar dengan dua pintu transparan yang terbuka lebar—di ujung lorong kelas lantai satu. Aku turun dari tangga dan mengampiri mesin penjual minuman dan memasukkan beberapa koin.

Sekarang sekotak jus apel palling enak sudah berada di tanganku. Dingin. Aku hendak berjalan ke arah lorong sambil mengirim sinyal ke otak dan memainkan setelan musik penyemangat.

“Casie!” Seseorang tiba-tiba memanggilku. Suaranya terdengar sangat ‘ramah’ dan aku menyadari kalau itu adalah suara Rival. Ia menundaku mendengar musik yang kusetel di otak.

Langkah kaki semakin kupercepat agar bisa menghindar darinya. Namun tak lama, suara langkah kakinya yang terdengar lebih menyebalkan semakin dekat pula. Sepatu barunya itu sukses membuat suara yang agak berisik.

“Casie, Casie!” teriaknya dari belakang. Tapi aku tak mau menoleh. Apalagi untuk membalas sapaannya tersebut. Mengingat saat dia tak mau menoleh sedikit pun saat kutanyai tadi di kelas.

Ayolah, cepat pergi dari sini dan menghindar dariku! Batinku kesal.

“Casie! Kubilang tungggu!” Rival muncul di sebelahku dan dia menepuk bahuku. Tapi tangannya terus berlama-lama di situ dan ia tak beranjak untuk menjauh dariku juga.

“Kau ini apa-apaan, sih?” Secepat kilat aku menepis tangannya dan berlalu begitu saja.

“Hei, hei, tunggu sebentar! Aku hanya ingin meminta bantuanmu.” Rival menjelaskan.

Aku membuang napas pelan. Agaknya aku juga tak perlu marah-marah dalam beberapa waktu ini. Mungkin Rival ingin memberitahukan sesuatu yang serius. Dia anak baru. Jadi mungkin saja ia ingin menanyakan sistem apa saja yang harus ia patuhi di sekolah barunya meski aku tak tahu apa masalah sebenarnya.

Maksudku tentang mengapa ia harus tiba-tiba pindah ke sekolahku?

“Apa yang perlu kubantu? Cepat katakan. Aku tidak mau kehabisan roti di kantin dan tidak bisa makan lagi selain Roti Whole Wheat Toast. Berserat tinggi dengan selai coklat di dalamnya!” beritahuku dengan keras dan Rival hanya melongo. Diikuti murid lain yang tidak kukenal dan mereka tidak sengaja mendengar ucapanku—pipiku langsung memerah.

Aku adalah orang yang dikenal oleh seluruh murid di sekolah ini.

Cepat-cepat aku berjalan ke arah kantin tanpa menoleh sedikit pun. Rival yang membuatku jadi seperti ini, ia tanpa bersalah terus saja mengekor di belakangku.

“Cas, aku perlu bantuanmu,” ujarnya lagi.

***

Setelah sampai di dekat pintu kantin yang ramai, aku baru menoleh. Sebenarnya tak ada satu pun rasa iba padanya. Tapi karena aku tak mau terus diganggu oleh Rival, maka aku harus meladeninya.

“Sebenarnya ... aku juga mau yang berserat tinggi. Bagus untuk kesehatan. Jadi, apa kau mau ke kantin bersamaku?”

Semua yang ada di kepalaku seolah langsung terbakar dengan seluruh basa-basinya barusan. Ukh! Aku jadi ingin menggigitnya, mencengkram tangan putihnya, dan menarik rambutnya. Apa-apaan itu?!

“Kau bilang ingin meminta bantuanku. Lalu apa kau hanya ingin mempermainkanku sekarang? Aku sudah muak, Rival. Menjauhlah dariku,” desakku.

Laki-laki itu malah meregangkan tubuhnya dan tersenyum simpul. Kemudian berpura-pura menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Karena sudah tahu dengan niat busuk Rival, aku terus menjauh. Yeah, tidak sebusuk itu sih. Aku hanya merasa kalau dirinya bukanlah Rival yang biasa kutemui di dalam kompetisi. Dia hanyalah anak yang banyak bicara dan- sudahlah.

***

Akhirnya, entah mengapa sekarang aku duduk berhadapan dengan Rival. Dengan satu bungkus Roti Whole Wheat Toast berserat tinggi dengan selai coklat di salah satu tangan kami. Juga satu kotak jus apel di masing-masing tangan kami berdua.

Aku semakin muak.

“Aku akan memberitahumu sekarang,” katanya.

“Sudah cukup. Penampakan wajahmu membuatku tidak lagi mood dengan seluruh cerita hari ini. Sekali lagi kuingatkan ya. Menjauhlah dariku.” Kotak jus apel milikku langsung kuremas begitu saja setelah habis. Rival tak berkutik.

“Aku ingin menjadi temanmu Casie! Dengarkan ceritaku dulu. Aku pindah kesini karena aku kalah.”

Keningku langsung berkerut atas jawabannya. “Maksudmu?”

“Sekolahku malu karena aku harus kalah darimu saat Olimpiade Matematika Nasional kemarin. Itu sebabnya aku harus pindah ke sini.” Raut wajah Rival langsung tak bisa kutebak. Hanya saja wajahnya agak kusut entah karena apa.

“Hahaha, alasan macam apa itu? Aduh, maaf aku tertawa. Tapi kenapa juga kau harus pindah ke sekolahku?” Ya, aku tak bisa berhenti tertawa saat itu. Rival juga tak menyelaku dan aku heran saja dengan ceritanya.

“Pokoknya, setelah ini, aku benar-benar muak bertemu denganmu. Kalau begitu kau juga tak boleh seenaknya menganggapku sebagai teman. Aku tidak setuju!”

***

Ini hari yang sangat melelahkan. Lekas aku berganti baju di kamar dan turun ke dapur untuk menemui ibu yang sedang memasak. Aroma apel dan adonan yang baru saja masak setelah menjadi kue Pie menyeruak.

“Hmm ... My Favourite!” gumamku.

Siang menjelang sore aku beramah tamah dengan ibu. Menceritakan banyak hal di tengah hangatnya ruang dapur sambil menikmati Pie apel. Andai saja Sandra ada di sini, maka akan terasa lebih lengkap perkumpulan para perempuan yang saling curhat.

“Bagaimana dengan sekolahmu, Casie?” Wanita itu pun mulai bertanya sambil menopang dagu.

“Hari ini adalah hari yang paling menyebalkan,” jawabku malas.

“Kenapa?”

“Ingat Rival yang baru saja kukalahkan di olimpiade nasional kemarin, bu?” Ibu mengangguk pelan. Sambil melihat langit-langit yang sudah pasti dia tak seberapa ingat dengan Rival.

“Kami sering bersaing.”

“Oh! Aku ingat! Dia yang kalah itu ya?” Ibu benar. Sejatinya dia mengulang kembali ucapanku yang tadi.

Ingin saja aku bercerita mengenai kejadian tadi selama di sekolah. Tak lama, cerita pun mengalir begitu saja. Ditemani piring kosong yang tak bersisa dan senyumnya yang paling ramah.

“Dia hanya ingin menjadi temanmu, bukan? Lalu kenapa kau bersikeras menolaknya?” Pertanyaan Ibu malah membuatku semakin kacau saja.

“Arrghh! Tidak ada yang mengerti. Rival itu musuhku, bu. Mana mungkin jika aku akan berteman dengannya? Itu mustahil,” ungkapku kecewa.

“Kenapa harus mustahil untuk menjadi teman? Kalian bisa belajar bersama, menyelesaikan soal bersama, dan sebagainya. Kurasa Rival juga lelaki yang baik. Dia sangat cocok denganmu.” Petuah ibu yang tidak biasa. Wajahnya malah sumringah begitu melihatku yang justru muram.

Dimana pembicaraan yang seperti biasa itu? Yang selalu membuatku kembali tenang dan bebas dari masalah. Kalau aku berteman denga Rival itu akan menjadi masalah. Ya, hari ini kurang begitu baik. Jika ada Sandra, kami akan tertawa terbahak-bahak.

Saat belum selesai bicara aku berhenti dan naik ke atas. Membaringkan diri di atas kasur dan memejamkan mata.

“Rival, Rival ....” Tanpa sadar aku menggumamkan namanya sebelum terlelap.

***

Besok paginya aku berangkat sekolah dengan sepeda. Para tetangga yang sibuk menyapu dedaunan di perumahan tak jarang menyapaku dan melempar senyum.

Hari ini sejuk. Sampai di sekolah, para guru juga menyapaku. Namun sialnya, saat aku hendak memarkirkan sepeda, aku malah bertemu dengan Rival.

“Hei!” sapanya sambil menyejajarkan sepedanya di sebelah sepedaku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel