Bab 3 Kedatangan Sandra Sebagai Malapetaka
Bab 3 Kedatangan Sandra Sebagai Malapetaka
Hari ini ibu mengatakan kalau Sandra akan pulang dari Cambridge. Dia baru saja mengambil jatah libur kuliahnya dan memilih pulang ke rumah. Ke sebuah kota kecil di US, Matrix.
Dia memang kakak perempuan yang sangat populer di mata banyak orang. Kecerdasannya masih jauh di atasku. Apalagi pesona cantiknya yang sangat memukau. Yaitu dengan tubuh ideal dan surai rambut yang berwarna coklat. Bulu matanya lentik dan manik matanya terlihat sangat cerah. Sempurna bukan?
Tapi sekarang aku ingin lebih dulu bertemu dengannya. Melalui video call dan aku akan bertatap muka secara virtual dengan Sandra. Siapa yang tidak rindu dengan mahasiswi Cambridge?
Di kamar aku mengambil handphone dan menggerakkan jemariku secara lihai. Sekarang sudah muncul nama Sandra di layar telepon.
“My Sandra ...!”
“My Casie ...!”
Kami berdua saling menyapa secara bersamaan. Lalu tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya tidak ada yang lucu. Hanya saja suara Sandra yang membuatku selalu terhibur dibuatnya. Kalau kuperjelas suaranya itu seperti anak kecil.
“Kau sedang apa?” tanyaku sambil mundur dan bersandar di papan kasur sekaligus menggenggam telepon dengan erat.
“Seperti yang kau lihat, aku sedang beres-beres untuk pulang setelah ini.” Suara di seberang menyahut. Ia sedikit sibuk ketika berbicara denganku sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan teman kuliahnya.
Beberapa menit kemudian aku hanya melihat kelakuan Sandra yang lupa dengan telepon genggamnya. Ia malah asik berbicara dengan teman modisnya sehabis membereskan apa yang ada di mejanya barusan.
“Hei, hei!” panggilku.
Sandra belum menoleh. Sampai akhirnya ketika ia baru berpisah di tengah jalan, Sandra menunjukkan wajahnya padaku.
“Maaf ya Cas, aku melupakanmu. Hahaha!” ujarnya. Padahal ia tahu kalau sudah sejak beberapa menit yang lalu aku terhiraukan.
“Huh. Kau pikir aku ini nyamuk?”
“Hahaha. Tentu saja bukan!” celetuk Sandra.
“Jangan manyun dong! Bibirmu itu jadi seperti Rangkong paruh panjang!” tawa Sandra makin meledak.
Layar kameranya kemudian bergerak-gerak. Sepertiya Sandra sedang berlari dan sesaat setelahnya ia duduk di sebuah bangku taman yang klasik dan elegan.
“Sudah?” tanyaku malas. Sandra mengangguk.
***
Baiklah, kala itu aku malah menceritakan kekesalanku padanya. Tentang Rival. Jika ibu menyetujuiku untuk memilih berteman dengan anak laki-laki itu, aku tak mau. Tapi bagaimana dengan tanggapan Sandra? Aku yakin dia pasti sepihak denganku. Karena aku tahu, sejak ia bertengkar dan membenci pacarnya dulu, Sandra mulai menjauh dari para kaum Adam yang meresahkan.
“Sebentar, sebentar. Apa kau didekati olehnya, Cas?” Sandra tampak penasaran dengan ceritaku.
Aku mengangguk. Dia pasti tahu bagaimana perasaanku yang sama sepertinya saat dulu. Muak dengan seorang laki-laki.
“Well, ibumu tentu benar dalam pilihannya. Kau harus dekati dia dan jadilah temannya. Dia pasti benar-benar membutuhkanmu. Itu bukan sebuah kebohongan.”
What?
Sandra sepihak dengan pilihan ibu? Kenapa bisa ia berpikiran seperti itu?
“Oh ayolah, ini bukan pilihan yang tepat Sandra. Dia itu sok asik. Aku tidak suka dengan sifatnya semenjak ia pindah ke sekolahku,” timpalku. Mungkin harusnya tadi aku tidak memilih untuk video call dengannya.
“Dan bukannya dulu kau sangat membenci pacarmu? Setelah itu pun kau memilih menjauh dari semua laki-laki, ‘kan?”
Sandra memang tak bisa melupakannya.
“Oh, maksudmu si Patrick?”
“Patty Ricky.” Dia adalah lelaki yang paling dibenci oleh Sandra. Itu sebabnya ... ah!
***
Lebih mengejutkannya saat Sandra bercerita jika ia sebenarnya sudah tak membenci Patrick. Tunggu, bagaimana bisa?
Ceritanya bermula pada suatu malam hari. Tepatnya pada suatu acara perpisahan malam. Oh yes! aku tidak tahu itu hal semacam apa. Karena aku memang tidak tahu.
Setelah Sandra menceritakan tentang begitu asiknnya acara tersebut, aku merasa itu hal yang biasa saja. Sebuah acara perpisahan setelah kelulusan. Aku malas untuk menghadiri acara semacam itu. Tapi aku paham dengan Sandra yang sempurna tersebut, ia pasti tidak mau ketinggalan.
“Jadi kau berdansa dengannya?” tanyaku asal. Kuharap jawabannya tidak.
“Hmm ....” Sandra terkekeh. “Yeah, kami hanya menari bersama. Dia tiba-tiba saja menarik tanganku saat aku menonton si tampan sedang bernyanyi di atas panggung.”
“Si tampan siapa lagi memangnya?”
Aku jadi malas mendengar ceritanya. Berarti selama ini Sandra berbohong kalau ia sudah menjauh dari laki-laki.
***
Setelah Sandra ditarik oleh Patrick, gaun merah yang dikenakan Sandra berkibar cantik. Aku hanya membayangkan, takut jika ada seseorang yang akan tersandung gaunnya. Namun Patrick berhasil membuat Sandra terkejut. Karena sudah sejak beberapa bulan yang lalu mereka bertengkar. Entah masalahnya apa aku tidak ingin mencari tahu.
“Dia menggamit tanganku begitu erat. Tatapan matanya dingin sampai tembus ke hati,” kata Sandra yang membuatku tertawa.
Patrick. Nama bagus-bagus kenapa malah dipanggil Patrcik sih? Nama sebenarnya itu Ricky. Jadi Ricky pun memang tampan. Saat itu juga Sandra langsung terpikat dan jantungnya berdegup kencang tak karuan.
“Kata Patrick waktu itu, ‘Jangan lepas tanganku’. Tentu saja aku hanya bisa diam sambil terus menatap sorot matanya. Sikapnya berubah menjadi sosok yang paling aku sukai selama ini. Ouwh ... dengarkan ceritaku ya, Cas!” Kalimat terakhirnya membuatku jijik mendengarnya.
Sepertinya Sandra baru saja menceritakan rahasia yang dipendam sudah sejak lama. Dan itu adalah harta karun baginya. Sebuah kisah cinta abal-abal, menurutku.
“Lalu bagaimana?” tanyaku masih dengan suara malas. Walau ada sedikit rasa penasaran dengan satu-satunya cerita Sandra yang baru dirahasiakan.
“Dia terus menarik tanganku. Kami berlari-lari kecil sambil menari ala seorang amatir. Kemudian ia berkata lagi, ‘Lupakan masa lalu’.” Sandra tersenyum-senyum sendiri di seberang sana.
“Aaaaa! Sudah cukup. Kenapa aku yang harus mendengar ceritamu?” teriakku karena bosan dengan cerita Sandra.
Sandra malah tertawa terbahak-bahak. Ia kemudian membalikkan layar kameranya dan menunjukkan bangunan megah Universitas Cambridge yang klasik tersebut. Aku berdecak kagum.
“Kau harus tahu bagaimana rasanya suka dengan seseorang. Rival pasti menyukaimu, Casie. Berjuanglah! Aku mendukungmu!”
Bip.
Aku mematikan telepon dengan sengaja.
***
Tidak penting apa yang akan dikatakan Sandra sekarang. Yang penting aku harus berusaha menjauh dari Rival dan membuat Rival juga mau menjauh dariku. Ini masalah serius!
Kalau Sandra sudah pulang nanti, aku tak mau berkumpul dengannya seperti biasa bersama Ibu. Dia pasti membahas masalahku. Sekali lagi aku tak mau mendengar tentang apa yang mereka putuskan untukku. Apalagi kalau mereka sampai menghubungkan dan mencocokkanku dengan Rival.
Itu akan menjadi masalah besar untukku!
***
Sehabis senja aku belajar di kamar sambil memasang earphone dan mendengarkan Beethoven. Kamar tetiba menjadi hangat karena aku mulai mengerjakan soal matematika.
Dua jam berlalu sangat cepat. Superbe! Sekarang aku sudah selesai. Kurentangkan jauh tangan dan kaki, melemaskan jari-jemari di atas meja. Kulepaskan pula earphone dan merapikannya di atas meja.
Saatnya mandi dan menyegarkan pikiran! Karena sudah malam aku pun tertidur lelap di kasur dan memejamkan mata dengan nikmat.
Tiba-tiba saja saat tengah malam ada sesuatu yang berbisik di telinga kananku. Rasanya tidak yaman. Entah mimpi apa yang baru saja kualami. Sebab kantukku yang belum hilang aku tak kuat membuka mata. Tapi semakin lama ada sesuatu yang menggeliat di kakiku.
Dan suara yang berbisik di telingaku terdengar sangat berisik. Aku tak tahan! Keringat dingin mulai mengucur di dahi. Pandangan mataku masih gelap. Tolonglah, siapa yang sedang bersamaku saat ini? Apa dia makhluk tak kasat mata?
Sampai akhirnya aku mencium bau-bau bangkai yang menyengat. Bagkai dari Cambridge. Dan tiba-tiba ada yang memukul perutku!
Jeritan sudah tak bisa kutahan. Saat aku membuka mata ternyata hanya ada guling—yang baru saja menghantam perutku. Sandra rupanya sedang berbaring di atas kasurku! Kali ini dia menatap wajahku puas.
Tentu saja aku marah.
“Kenapa tak izin dulu?! Kau pasti baru mendengkur!” Aku mengelus dada karena setengah kaget. Ingin sekali menampar wajah Sandra.
“Kau sudah tidur. Padahal aku ingin melanjutkan ceritaku yang tadi!” Seringai Sandra membuatku harus melempar bantal ke arah wajahnya dengan keras.
“Ukh! Ini sudah malam. Kau membuatku takut saja. Ayo keluar! Aku tak mau kau menggangguku!”
“Mengganggu apanya? Kau lihat? Aku juga barusan datang. Ibu dan Ayah ada di bawah untuk menyambut kedatanganku.”
Dengan ruh yang belum terkumpul sepenuhnya, ada terpaksa bangun. Itu membuat jantungku sempat berhenti beberapa detik! Sandra ... aku marah!
“Keluar! Ayo cepat keluar, kak!” suruhku marah-marah.
Perempuan itu terkekeh jelek.
Aku ingat saat dia membicarakan Rival. Tolong, ini sudah larut malam dan tak ada pengantar tidur di setiap malamku. Aku terkutuk! Semua orang sangat menyebalkan.