Bab 4 Darren
Bab 4 Darren
Aku lebih senang bersama Darren. Dia si kutu buku yang pandai dari kelas bahasa. Penampilannya cool dan tidak terlalu banyak omong seperti Rival. Darren sering sekali pergi ke perpustakaan setiap kali jam istirahat.
Ah, dia hampir saja membuatku deg-degan setelah beberapa saat menatapnya terus kemarin saat di kantin. Setelah jam istirahat pertama aku cepat-cepat keluar kelas. Berusaha menghindari Rival yang ternyata terus saja mengekor di belakangku.
“Rival, hentikan!” kataku sambil menghentakkan sepatu. Lalu memasang raut wajah tidak suka padanya.
“Casie, aku hanya butuh bantuanmu. Aku membutuhkan seorang teman dan itu hanya dirimu.”
Alisku terangkat. Dahi mengernyit karena mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Rival. Apa dia suka padaku? Kuharap tidak. Sikapnya yang blak-balakan seperti ini membuatku jijik dengannya.
Apalagi mengingat Sandra yang mengutukku untuk memilihkan Rival hanya untukku. Dia tidak akan pernah dekat denganku.
“Aku tidak mau berteman denganmu karena kita musuh. Dan tentang teman, masih ada ratusan murid lainnya di dalam satu angkatan kita! Kau bisa berteman dengan siapapun di sekolah ini, asalkan jangan aku!”
Dengan hati yang ringan aku langsung pergi meninggalkannya dan menuju perpustakaan. Tak peduli apa yang akan dirasakan oleh Rival. Hari ini aku hanya mau dekat dengan Darren. Aku mengenalnya karena dulu kami memang sering bertemu untuk kelompok anak-anak pandai di setiap masing-masing mata pelajaran sebagai penerima bimbingan khusus.
Untungnya Darren tidak bersikeras untuk mengikutiku. Akhirnya aku sampai juga di perpustakaan dan menemui Darren yang sibuk membaca buku di meja bagian pojok.
“Darren, akhirnya aku menemukanmu!”
“Casie? Mau apa kau di sini?” tanya Darren yang tentu saja heran dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
Sebenarnya bukan hanya ingin dekat dengan Darren hari ini. Mungkin dengan sedikit alasan agar aku bisa menjauh dari Rival. Yah, begitulah.
“Aku ingin belajar denganmu,” jawabku asal. Tapi segera setelah itu aku mengambil beberapa buku sastra dan meletakkannya tepat di depan hadapan Darren.
“Kenapa belajar bahasa? Bukannya kau jenius matematika?” Darren menurunkan kaca matanya untuk memastikan apa benar aku memang membawa buku seputar bahasa.
“Yup! Aku punya satu permintaan untukmu!” ucapku serius sambil menunjuk ke arah Darren. Tapi ia hanya cuek dan duduk menyilangkan pahanya. Posisinya sangat profesional sebagai seorang yang pandai sastra.
“Permintaan apa?” Astaga! Kupikir dia akan benar-benar menghiraukanku. Ternyata dia lebih ramah daripada yang kubayangkan. Tiba-tiba saja ada rasa untuk ingin berada di dekatnya.
Aku pun duduk tepat di sebelah Darren. Mengamati wajah dan tangannya yang membalik-balik buku halaman dengan tenang. Ia tak terganggu sedikit pun. Dia punya fokus yang tinggi. Dan aku suka dengan seseorang yang jenius sepertinya.
Terlebih, style-nya hari ini begitu elegan! Fantastis! Rompi vest rajutnya yang berwarna navy menambah kesan keren. Gaya rambutnya juga terlihat lebih modis hari ini. Dan wajah tirusnya sangat cocok dengan kaca mata berlensa kotak dengan pinggiran hitam. Tak hanya itu, Darren pun memang tampan.
Aw! Kenapa aku terpesona?
“Darren.” Aku menghadap ke arahnya dan Darren pun menoleh. Sambil melirik dan menyentuh pinggiran kaca matanya.
“Ada apa?”
“Aku ingin bergabung di klub sastra.”
Tanpa berucap satu patah kata pun ia menurunkan sebelah kakinya dan meletakkan bukunya di atas meja.
“Kau gadis yang aneh!”
***
Senangnya bisa berjalan berdampingan bersama Darren. Ia mengajakku ke ruang klub sastra. Sampai di sana ia menunjukkan sebuah ruangan yang sangat rapi. Ada jendela di satu sisinya. Pendingin ruangan serta lemari es berukuran mini.
“Whoaa! Apa ini yang namanya klub sastra? Menakjubkan!” Aku terkagum sambil berkeliling ruangan.
Di sini hanya ada aku dan Darren. Tak lama anak yang lain pun datang. Tentu saja aku sangat berterima kasih padanya karena mau mengajakku ke sini.
“Kebetulan hari ini ada pertemuan para anggota klub. Mungkin kau bisa mencari tahu lebih dulu tentang klub ini dengan ikut pertemuan,” sahut Darren.
***
Seolah ditampar oleh angin, aku tak bisa menoleh ketika melihat senyum Darren. Dia yang paling ambisius dan pandai. Sekaligus memimpin jalannya pembicaraan hangat ini. Yaitu pembicaraan di siang hari bersama seluruh anggota klub sastra.
“Boleh aku bertanya?” tanyaku. Yang lain mengangguk senang.
“Apakah ada sastra yang mengandung matematika? Aku akan sangat suka berada di sini selamanya! Sastra yang mengandung matematika itu fantastis!”
Wajah-wajah ramah yang tadi menungguku berbicara jadi sedikit muram.
“Ada apa? Apakah tidak ada sastra yang mengandung matematika?” tanyaku lagi.
Tiba-tiba Darren menyuruh semua anak pulang dengan mengatakan kalau pertemuan hari ini selesai. Cerita yang tadi sempat disuguh pun harus dilanjutkan esok hari.
“Kenapa tidak ada yang menjawab pertanyaanku sih, Darren?”
Anak itu masih diam. Sampai yang lain keluar ruangan Darren baru memasang wajah yang agak kesal.
“Anak sastra tidak ada yang suka matematika! Kenapa kau malah mengacau di klub ini?!” teriak Darren. Ia beralih ke dekat jendela utuk tidak menunjukkan wajahnya padaku.
Aku tidak mengerti. Tapi karena aku sudah bertekad untuk mendekati Darren, hari ini aku tidak boleh menyerah.
“Aku benar-benar ingin masuk klub sastra!” balasku kemudian. Dengan suara yang pasti dan anggukan mantap.
“Kau itu si jenius matematika. Dasar gadis aneh! Klub sastra bukanlah tempatmu! Di sini hanya ada aku, Darren yang paling jenius.” Darren berbalik.
Sebenarnya, manis sekali saat Darren mengatakan dirinya adalah yang paling jenius di sini. Aku malah melemparinya senyum yang membuatnya salah tingkah.
***
Bel kelas kemudian berdering. Membuat kami terpaksa masuk ke kelas. Di kelas, aku jadi memikirkan tentang Darren sampai tak fokus. Rival yang menegurku. Ah, bayangan itu. Semoga saja kutukan Sandra tak menjadi kenyataan.
Berjam-jam aku menunggu bel kelas berakhir. Itu karena aku ingin segera berkunjung ke ruang klub sastra. Memberitahukan pada Darren tentang apa yang sebenarnya. Kalau dirinya begitu memesona.
Langkah kupercepat begitu bel kelas berbunyi. Aku berlari ke ruang klub sastra dan, keajaiban! Darren sudah duduk rapi sambil membaca buku di tengah ruangan tersebut.
“Darren,” sapaku. Tapi ia tak menyahut.
Aku pun mendekat dan duduk di salah satu kursi yang dekat dengannya.
“Kenapa kau kembali ke sini?” tanyanya malas sambil memberi batasan buku dengan ibu jari dan menutupnya. Pandangan matanya terlepas dari buku dan beralih padaku. Padahal jarang sekali jika seorang kutu buku rela melepas pandangan dari apa yang digenggamnya.
Sepertinya dia memang ingin melanjutkan pembicaraan ini.
“Karena aku suka saat berada di dekatmu.” Yup! Casie yang awalnya tak mau dekat dengan siapapun kini malah terpesona dengan Darren.
Darren yang mendengarnya langsung terbelalak. Aku dapat melihat rona merah di pipinya. Dia menegakkan punggungnya dan menoleh ke arah lain.
Mungkin Darren sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk membalasku.
“Cas, ... Casie .... “ Darren terbata-bata. Kelakuannya semakin membuatku bertingkah wajar—senang bukan main.
“Kau gadis yang aneh.”
Bergantian aku yang terbelalak. Kenapa kalimat itu yang dikeluarkannya? Aku agak kecewa tapi sebisa mungkin aku tersenyum. Dia membenarkan kacamatanya dan beralih menatapku.
Dalam hati aku membela, “dimana kalimat puitis yang biasa dilontarkan begitu manis oleh seorang sastrawan jenius sepertinya?”
“Sebenarnya ... aku tidak suka denganmu Casie. Karena aku lebih suka dengan seseorang yang lebih tua dariku. Dia itu ....”
Jantungku menciut. Darren mengucapkannya dengan sangat jelas. Untung saja hanya ada kami berdua di dalam ruang tersebut. Di siang hari yang sepi dan terik membuatku berkeringat.
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Dia yang kusukai itu, Sandra. Kakakmu. Aku baru bertemu dengannya tiga kali. Dan pertemuan itu akan selalu kuingat.” Lagi-lagi Darren mengalihkan pandangannya.
Aku hanya bisa melongo. Bagaimana bisa itu Sandra? Dan kapan mereka bertemu?
Darren yang kusukai. Oh, apa benar aku memang menyukainya? Dari awal aku juga punya niat lain agar bisa menjauh dari Rival. Tidak kusangka saja Darren malah menyukai kakakku sendiri—yang mengutukku agar aku bisa dekat dengan Rival.
Ini ancaman! Masalah besar buatku! Sebaiknya aku lekas pergi dan meninggalkan Darren yang menganggapku hanya sebatas gadis aneh. Aku tidak kecewa. Malah kurasa aku memang seorang gadis yang aneh.
“Kalau saja kau adalah kakakmu, maka aku akan menyukaimu, Casie!” Itu adalah kalimat terkonyol yang pernah aku dengar darinya setelah berpamitan pulang.
Tapi Darren memang keren!