Bab 5 Dua Orang Menyebalkan
Bab 5 Dua Orang Menyebalkan
Sandra tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Padahal ia tahu kalau hari ini adalah hari libur yang kutunggu sejak awal pekan. Kini aku berkubang dalam selimut sambil memejamkan mata. Hari ini harus menjadi hari yang tenang tanpa ancaman. Namun salah satu indraku telah menangkap gangguan dari luar.
“Casie! Apa kau belum bangun? Jawab aku ya!” tanya Sandra dari balik pintu.
“Huh, apa dia tidak mengerti? Kalau aku tidak menjawab itu artinya aku masih belum bangun. Dan kau boleh pergi dari sana, Sandra!” geramku dalam hati.
Karena malas menjawab akhirnya aku meredam telinga menggunakan selimut tebal dan berusaha menghiraukannya. Sampai aku kembali terlelap dan bermimpi di suatu tempat antah berantah.
***
“Cas, Cassie! Ayo bangun!” Suara itu tertangkap lagi di telingaku. Terdeteksi sebagai gangguan paling berbahaya.
“Ayolah ...! Jangan ganggu hari liburku! Aku tak akan mengizinkamu masuk ke dalam. Menyerah saja!”
“Casie, ini penting.” Suara Sandra terus saja membuatku harus menutup telinga lebih dalam. Tapi malah semakin tidak bisa diredam.
“Yang penting aku bisa tidur sepuasanya hari ini! Tanpa ada yang menggangguku.”
Sejenak tak ada suara lagi dari luar. Mungkin Sandra sudah menyerah dan dia sudah pergi dari balik pintu kamar. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara langkah kakinya yang turun melalui tangga. Syukurlah.
Mataku kembali terpejam.
“Casie!” Pintu kamar tiba-tiba diketuk semakin keras. Belum sempat aku marah dan mengutuk Sandra kini aku langsung tebangun dan duduk dengan tegap di atas kasur.
“Darren ingin menemuimu! Dia ada di bawah! Aku tidak berbohong dan kali ini dia mau pulang karena kau tidak segera turun. Bye!”
Mendengar nama Darren disebut aku terlonjak kaget dan secepat kilat melompat dan merapikan rambutku. Kemudian lekas berganti baju dan keluar menuju westafel untuk membasuh wajah kumal ini.
Sandra yang sedang bersedekap muncul di sebelah. Dia agak kesal tampaknya. Tapi aku yang lebih kesal. “Kenapa tak memberitahuku dari awal?” tanyaku sambil mengebaskan tangan.
Sandra malah pergi seenaknya. Aku cepat-cepat turun sembari sesekali mengamati siapa yang duduk di kursi ruang tamu. Ada dua orang. Semoga saja Sandra tidak memberitahu mereka kalau aku baru saja bangun.
Sampai di bawah, begitu terkejutnya aku ketika melihat Rival yang rupanya juga datang. Kenapa harus ada anak itu? Ah, dia membuatku sakit kepala. Apalagi saat ia tersenyum dan melambai ke arahku.
“Ada apa kalian berdua kemari?” Aku langsung mengambil tempat duduk lain dan menyaksikan Darren yang masih membuatku ingat dengan kejadian kemarin.
“Sebenarnya aku yang memerlukan bantuanmu,” sahut Rival.
“Oh ya? Lalu kenapa mengajak Darren?” Heran saja mendengar ucapannya. Dia bahkan sudah tahu rumahku.
“Karena Darren temanku.” Ya ampun! Dari ratusan murid lainnya yang kubicarakan bersama Rival tempo hari, kenapa pula dia harus memilih Darren? Entah ini pertanda baik atau buruk. Setidaknya aku masih bisa dekat dengan Darren.
Apa-apaan pikiran busukku ini? Yang penting aku perlu membantu urusan Rival sebentar dan menjauh lagi darinya.
“Okey ... apa yang kau mau?” tanyaku malas pada Rival.
“Aku ingin meminjam bukumu.”
“Tunggu, kenapa harus padaku? Kenapa tidak kepada anak yang lain saja?” Semakin lama aku semakin muak mendengarkan seluruh perkataannya.
“Tidak apa, bukan? Kau yang paling pintar di kelas.” Mendengar itu aku sedikit merasa kalau Rival sebenarnya memang ingin bersaing denganku. Konyol, sampai-sampai harus pindah sekolah karena kalah.
***
Aku membicarakan banyak hal bersama Darren. Tentang klub sastra. Mungkin masih ada lagi yang menyenangkan selain sastra yang mengandung matematika dan itu baik untukku. Lalu kutanyakan kembali adakah sastra yang mengandung fisika ataupun sastra tanpa menulis dan membaca.
Darren jadi makin kesal dengan pertanyaanku. Aku masih tidak tahu mengapa. Padahal para sastrawan itu juga pintar yang lain. Mereka suka membaca segala macam buku seperti Darren.
Aku yakin Darren hanya sedang bersikap dingin terhadapku di depan Rival. Selebihnya dia pasti akan menjawabnya lain waktu. Semoga saja. Aku benar-benar ingin bergabung di klub sastra.
Sandra tak lama datang sambil membawa nampan berisi tiga kotak jus apel dan snack berbahan gandum.
“Silakan Darren dan ....”
“Rival,” lanjut Rival.
Sandra langsung menoleh bergantian ke arahku dan Rival. Dia melempar senyum tipisnya dan kubalas dengan anggukan pelan.
“Ka .. Kau baru pulang dari Cambridge?” Darren terbata sembari terpukau melihat pesona Sandra. Padahal itu bukan busana terbaiknya dan wajahnya belum dipoles oleh apapun. Namun dia tetaplah gadis cantik yang kini dipuja Darren.
Sandra menjawab dengan anggukan dan Darren makin terlihat suka dengan Sandra. Aku jadi malas. Untung saja Sandra tak menyadarinya.
“Wah, ini camilan berserat tinggi! Selera kita memang selalu sama ya, Casie?” Bergantian dengan Rival yang semakin membuatku ingin kembali ke kamar dan tidur.
“Benarkah? Sepertinya kalian berdua memang cocok. Sama-sama jenius matematika dan penyuka makanan berserat tinggi.” Sandra menepuk tangannya seperti sedang mencocokkan kami.
“Tidak. Apa-apaan itu? Jangan menjodohkanku dengan Rival, Sandra. Kami hanya musuh yang bersaing dalam kompetisi.” Aku marah sambil bersedekap. “Lagi pula aku juga suka coklat. Rival tak sama deganku.”
“Tapi kalian berdua teman yang baik, ‘kan? Kau bahkan mau meminjaminya buku. Rival tentu sangat berterima kasih padamu.”
Saat itu juga aku menyeret Sandra ke belakang dan menyuruhnya untuk tutup mulut dan tidak terus menggodaku dengan Rival. Aku sangat muak mendengarnya. Sandra yang hanya mengangguk malah tertawa terbahak-bahak. Rasanya hari ini telah menjadi hari terkacau.
Di ruang tamu kami melanjutkan perbincangan yang sama-sama tak searah dan banyak topik. Rival sedang menyalin tulisan di buku pelajarannya sambil terus bertanya padaku. Padahal dia kan jenius? Kenapa harus bertanya lagi, sih?
Meski begitu Darren tetap mengajakku berbicara. Asyik sekali berbicara dengannya. Sampai pada pembahasan paling ujung, Darren mengutarakan pendapatnya tentang Sandra.
“Kakakmu sangat keren Casie! Aku menyukainya. Saat lulus nanti aku juga ingin kuliah di Cambridge sama sepertinya.”
***
Tidaaakk! Dunia serasa hancur. Kenapa hari libur ini aku harus meladeni dua lelaki yang membuatku terancam seperti ini? Terlebih Sandra tak lagi mengeluarkan lelucon yang selalu kurindukan saat kami curhat bertiga di tempat biasa bersama Ibu.
Ini hari terburuk yang baru pernah ada dalam hidupku!
Kata-kataku sudah habis untuk kuucapkan kepada mereka berdua. Sekarang Rival sudah menyelesaikan tugasnya dan mereka pun berpamitan pulang. Ada rasa lega karena kini mereka sudah jauh dari pandanganku.
Tapi lagi-lagi Sandra muncul. Dia menyuruhku untuk menemani Darren dan Rival sampai halaman. Sandra juga ikut.
“Terima kasih Casie, Sandra,” kata Rival sambil membungkukkan badan. Diikuti oleh Darren dengan senyumnya yang lebar. Aku jadi terpesona lagi dengannya.
“Sandra, terimakasih. Aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu.” Kini Darren yang membungkuk lagi.
“Iya, katakan saja. Apa itu?” Sandra bersikap seolah akan mendapat kejutan yang disiapkan oleh bocah kecil. Karena itu Darren tampak malu meski sorot mata kebenarannya tertutup dengan lensa kaca matanya.
Aku hanya merasa kalau ...
“Kalau aku ....” Darren menggantung kalimatnya.
Astaga! Apa dia akan mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya pada Sandra? Aku tak mau itu terjadi.
“Aku meny-” Belum selesai Darren berbicara secepat kilat aku membungkam mulut Darren yang rupanya memang benar akan mengatakan hal sekonyol ini. Isyarat mata langsung aku alihkan pada Darren dan berusaha membuatnya untuk tak jadi mengatakan hal tersebut.
Sandra yang melihat itu malah jadi semakin penasaran dibuatnya. Aku dan Rival sudah tahu. Tapi aku tidak mau Sandra akan menggila setelah Darren mengatakan kalau ia benar-benar menyukainya.
Arghh! Hidup macam apa ini? Hari ini benar-benar kacau! Aku ingin segera pergi ke kamar dan merutuk, lalu menenggelamkan diri ke dalam kubangan selimut. Berteriak sejadi-jadinya meski aku tahu ini hal yang sangat bodoh untuk dilakukan.
Tetiba ada suata rasa amarah dalam hatiku. Tentang Rival yang menyebalkannya tanpa ampun. Tentang Sandra yang lebih menyebalkan lagi karena telah mengacaukan suasana liburku. Lalu tentang Darren yang tak bisa kujelaskan apa saja yang membuatku bisa marah padanya.
Aku tak pernah bertemu dengan Darren yang sangat konyol hari ini. Aku marah bukan karena aku cemburu. Aku marah karena dia telah mengacaukan suasana hatiku. Ah, dia memang masih punya pesona yang profesional. Tapi aku sudah tak ingin dekat lagi dengannya.
Sandra lagi-lagi mengetuk pintu kamar.
“Aku muak!” teriakku.
Namun terdengar suara pintu yang dibuka oleh Sandra. Astaga, sepertinya aku lupa menguncinya tadi.
“Casie! Kau harus memberitahuku tentang Rival! Dia sangat keren!”