Bab 6 Klub Sastra Tanpa Matematika
Bab 6 Klub Sastra Tanpa Matematika
Aku tidak bisa mengatakannya lagi jika semua ini begitu memuakkan. Sebelum berangkat sekolah, Sandra melempariku sebatang coklat. Katanya, coklat itu untuk Rival.
Aku berjalan kesal sambil menuntun sepeda keluar halaman. Sandra sedang menggunting dedaunan yang terlalu rimbun. Dia terus saja mengoceh tentang Rival. Tapi untunglah, setelah itu ia tidak lagi menjodohkanku dengan Rival. Meskipun ini terdengar aneh juga. Maksudku tentang Sandra yang tiba-tiba terpesona dengan Rival.
Oke, baiklah. Aku tak akan memberikan coklat ini untuk Rival. Aku hanya akan menyimpannya di dalam tas dan memakannya sendiri nanti. Hahaha.
***
Saat aku meletakkan sepatu di loker tiba-tiba seseorang menepuk pundakku yang tak lain itu adalah Darren.
“Darren?” Jujur saja aku sedikit terkejut. Karena jarang sekali Darren menyapaku seperti ini. Apa dia ingin mengatakan sesuatu yang penting padaku?
“Hai, Casie!” sapa Darren kemudian sambil menurunkan kacamatanya. Ah, dia masih saja terlihat keren.
“Hai, ada apa memangnya?” Tanpa perlu berlama-lama aku langsung mengutarakan pertanyaanku.
“Emm ... sepertinya aku akan mengijinkanmu untuk bergabung di klub sastra. Apa kau tak keberatan?”
“Benarkah? Tentu saja aku tak akan keberatan. Terima kasih ya Darren!” Entahlah semalam aku bermimpi apa akhirnya Darren mengijinkanku untuk bergabung di klub sastra miliknya. Setelah ini akan ada banyak hari ketika aku bersama Darren dan Rival tak lagi mendekat padaku.
Darren pun berlalu mendahuluiku. Dari balik punggungnya aku mengamati gaya berjalannya. Seolah lupa dengan apa yang membuatku kesal padanya tempo hari. Darren mungkin tak menyukai Sandra lagi.
Ah, mana mungkin? Sandra begitu cantik dan tatapan Darren kemarin benar-benar tak bisa disembunyikan olehnya. Tapi kurasa tak perlu kuhiraukan lagi masalah tersebut. Karena yang penting adalah aku bisa berada di dekat Darren mulai sekarang.
Ketika jam istirahat, cepat-cepat aku keluar kelas dan melangkah mantap ke arah ruang klub sastra. Aku sangat tak sabar. Apa aku akan dapat mendengar cerita-cerita menarik seputar teorema Phytagoras atau Aljabar di sana?
Sampailah aku di depan pintu ruang klub. Yaitu sebuah pintu kuno yang mempunyai gantungan kayu yang memuat nama ruang klub sastra tersebut. Aku langsung mendorongnya perlahan dan seketika angin langsung menggeraikan rambutku.
Di depan sana ada Darren yang sedang sibuk membaca buku. Namun begitu ia mendengar suara langkahku yang semakin dekat, Darren menoleh. Ia menutup bukunya dan tersenyum sumringah. Ada apa dengannya? Darren tak pernah lepas dari bukunya.
“Aku menunggumu dari tadi,” katanya.
Deg. Darren menungguku? Ini bukan mimpi, kan? Dan kemudian Darren melepas kacamatanya dengan gaya yang profesional.
“Benarkah? Jadi, apa kau ingin menceritakan banyak hal padaku atau kau ingin berdiskusi tentang sastra dan matematika?” tanyaku bersemangat.
Saat itu Darren mengalihkan pandangannya seperti ada sesuatu yang dia coba sembunyikan. Entah mengapa setiap kali aku menyebut kata ‘Matematika’ sikapnya berubah.
“Sudah kubilang kalau anak sastra sepertiku tak akan menyukai matematika! Kau ini jenius atau apa sih, Casie!” batin Darren sambil terus menggeram.
Anak itu kemudian mengangkat wajahnya lagi sambil mengeluarkan note kecil dari saku bajunya. Pulpen yang sudah tersedia di atas meja ia ambil dan sebaris kalimat ditulisnya di buku tersebut.
***
“Tidak, Casie! Aku ingin kau yang bercerita padaku.”
Aku langsung mengangguk paham. Lalu kuceritakan saja pelajaran matematika yang kebetulan saja aku baru mempelajarinya tadi. Yaitu tentang rumus-rumus cara mencari titik koordinat suatu lingkaran atau bagaimana cara memastikan agar dua buah lingkaran bisa saling berpotongan yang kemudian memiliki kesimpulan: jika jumlah r1 dan r2 akan lebih panjang dari jarak antar pusatnya.
Sayangnya Darren seperti tak tertarik dengan ceritaku. Ia terus saja menghentakkan pulpennya tanpa menulis apa pun.
“Oh ya! Matematika itu sangat asik loh, Darren! Kalau kau memakai sebuah kaca mata bulat kau akan terlihat sangat keren. Aku juga akan bisa menghitung jarak antar pusat lensa yang faktanya lebih panjang dari jumlah r1 dan r2. Ini menunjukkan kalau keadaan tersebut dinamakan dua lingkaran yang saling lepas.”
“Casie, berhenti! Maksudku bukan tentang matematika yang harus kau ceritakan di sini!” lerai Darren yang membuatku langsung terdiam. Apa dia marah?
“Hm, maaf, Cas. Maksudku, kau bisa ceritakan tentang apa bagusnya Universitas Cambridge dan tentang ... Sandra.” Mendadak sorot mata Darren berubah lagi. Ia jadi lebih semangat.
“Apa? Sandra?” teriakku. Darren tak terkejut. Ia hanya manggut-manggut karena tak sabar.
Ukh! Kenapa harus Sandra? Kurasa Darren memang menyukainya. Ah, aku terlalu mudah dibodohi oleh seseorang sepertinya. Tapi ... aku tak bisa meninggalkannya begitu saja hanya karena Darren menyukai Sandra.
***
“Aku ingin bertanya. Bagaimana cara kakakmu menyisir rambutnya yang berkilau itu?” Kini Darren layaknya seorang detektif yang sedang mencari bukti penting. Dengan buku dan pulpen di tangannya, lalu kacamata yang sekali-kali dinaikkan karena turun.
Sebetulnya aku tak mau menjawab pertanyaan konyol itu. Tapi demi apapun, aku harus menjawabnya. Lagipula mata empatnya itu terus mengawasi gerak bibirku dan aku tak bisa keluar dari ruang klub seenaknya.
“Semua gadis punya cara yang sama untuk menyisir rambutnya. Apa kau tak tahu? Bisakah kau menanyakan hal yang lebih umum, Darren?” jawabku asal dan mencoba mengalihkan pertanyaan Darren yang lebih masuk akal untuk kujawab.
“Baiklah, baiklah. Kapan waktu yang biasa digunakan Sandra untuk belajar?” Darren menuliskan jawabanku yang tadi di bukunya.
“Kalau aku biasanya belajar saat-” Belum selesai aku bicara, Darren menghentikanku.
“Tidak Casie, bukan kamu. Tapi Sandra. Kau dan kakakmu berbeda. Seorang kakak adik juga tak menjadikan penentu untuk segala kesamaan yang ada. Aku bertanya tentang Sandra sekarang.”
Huh! Aku mengela napas berat. Darren ternyata menyebalkan. Aku sudah begitu malas untuk menjawab seluruh pertanyaannya terlebih untuk mendengarkannya. Sandra lagi, Sandra lagi. Sampai kapan ia baru mau mempelajari asiknya belajar matematika bersamaku?
Ayolah Darren, kau harus tertarik dengan matematika. Ini sungguh menyenangkan. Mencari nilai kepastian dari variabel x dan y. Tidak akan ada sebuah konspirasi berat yang dibahas.
“Yeah, kalau kuingat sepertinya dia memang suka belajar di malam hari,” jawabku malas.
Sekarang aku sudah tahu kenapa Darren mengijinkanku berada di klubnya meski ia tidak akan suka dengan matematika. Itu karena dia ingin memanfaatkanku agar bisa bertanya lebih jauh tentang Sandra.
Darren tidak sebaik yang kukira. Harusnya dia punya cara yang lebih berani, kan? Seperti mengungkapkan perasaannya langsung. Ah, sama saja. Aku juga tidak ingin hal itu terjadi.
***
Dengan begini, waktu istirahatku terbuang sia-sia. Hal ini sangat membuatku emosi. Aku tak ingin dekat lagi dengan Darren. Dia membuatku merasa dikucilkan. Dia juga tak mendengarkanku tadi. Dan satu hal yang membuatku semakin merasa ingin menjauh darinya adalah karena ia menanyakan tentang Sandra padaku. Kurasa dia memang kakak yang sempurna.
Langkah kaki kuhentakkan begitu keras di koridor. Tak peduli siapa yang melihatku. Aku hanya ingin duduk di bangku kelas sambil menangkupkan wajah. Darren sungguh menyebalkan. Aku jadi tak suka berada di dekatnya.
“Casie, ada apa denganmu?” tanya Rival yang baru saja datang dan menghampiri mejaku.
“Bukan apa-apa. Kau tak perlu membantuku,” jawabku malas.
Pergilah, Rival. Aku tak ingin siapapun mendekatiku sekarang! Teriakku dalam hati.
“Apa kau baru saja menangis?” tanya Rival yang membuatku langsung bangkit dan menatap wajahnya.
“Jangan ganggu aku!” Aku menggebrak meja. Sepertinya, Casie yang jenius ini sudah kehilangan akal ya? Kenapa aku tak bisa mengontrol emosiku? Di dalam hati sudah tersemat kata ‘menjengkelkan’ yang belum pernah aku merasakannya sedalam ini.
Aku menatap Rival sama seperti saat aku menyainginya dalam kompetisi. Tapi wajah Rival biasa-biasa saja. Dia benar-benar tak ingin menjadi musuhku lagi.
“Hei! Ada apa, kawan?” Rival meredam emosiku sekaligus menenangkanku dengan sangat pelan dan santai.
Tanpa persetujuanku, kenapa dia seenaknya menyebutku ‘kawan’?