Bab 7 Dia Seperti Pancake Madu!
Bab 7 Dia Seperti Pancake Madu!
Saat itu juga aku ingin memarahi Rival. Kali ini kedua tanganku sudah mengepal seraya menahan emosi yang meluap-luap. Aku tidak boleh jadi seperti ini hanya karena Darren.
“Rival, aku ....” Aku ingin meminta maaf karena sudah membentaknya tadi. Hanya saja aku tak mau melakukannya. Aku tak mau meminta maaf lebih dulu.
Rival yang hanya melongo langsung menarik tanganku dan kami berjalan cepat di koridor.
“Ayo cepat, kawan!” serunya. Meski dia menyebutku sebagai kawannya, aku merasa tak keberatan lagi sebenarnya. Tapi agar Rival tak salah paham denganku, aku menyela perkataannya lagi.
“Jangan panggil aku ‘kawan’!” Rival masih saja menarik tanganku.
“Sudah kubilang, berjalanlah lebih cepat lagi, kawan! Sisa waktu istirahat kita tidak banyak!” Rival mengatakan suatu hal yang tak bisa kupahami. Kemana dia akan membawaku? Dan lagi-lagi, kenapa ia harus memanggilku ‘kawan’?
Kami berdua sampai di depan kantin. Ia kemudian melepas tanganku di depan para kakak kelas yang baru saja keluar. Tanpa memberitahuku lebih dulu, Rival masuk ke dalam. Dia hanya mengamati kantin beberapa saat lalu keluar menghampiriku lagi. Dasar aneh!
“Ayo!” ajaknya.
“Mau kemana?” tanyaku masih heran.
“Apa lagi kalau bukan mengisi perut? Duduklah di sana dan aku akan memesankan sesuatu.” Rival makin aneh. Kenapa aku harus duduk di tempat yang Rival pilihkan? Aku tidak mau diatur-atur olehnya.
“Hei, aku tak mau makan denganmu! Dan sekali lagi berhentilah menyebutku kawan!” Tanpa kusadari jari telunjuk Rival mendarat tepat di depan bibirku.
Rival benar-benar memuakkan dengan gayanya yang seperti ini. Aku menepis tangannya dan berbalik untuk meninggalkannya.
“Sst! Kau harus makan dulu! Coklat dan yang berserat tinggi!” Ia menarik kembali lagi tanganku dan membawaku ke salah satu meja yang masih kosong.
“Diam di sana atau aku akan memanggilmu kawan untuk selamanya,” kecam Rival.
Akh! Rival, Rival. Belum lagi aku tak sengaja melihat Darren yang sedang minum jus di pojokan sambil membaca buku. Seketika aku menggertak meja tak tahan dan rasanya ingin kabur dari tempat ini.
Tapi ini kenyataan yang harus kuhadapi. Antara Rival dan Darren, mereka sama-sama menyebalkannya. Aku muak melihat wajah mereka berdua.
***
“Casie!” teriak Rival. Untuk mengelak dari seluruh perkataaanya aku sudah tidak kuat lagi. Jadi lebih baik kuladeni saja agar ia tak lagi memanggilku kawan. Seperti janjinya.
“Ada apa?”
Rival pun duduk di depanku. Seperti di hari pertama Rival datang sebagai murid baru di sekolah. Namun perbedaannya, dia memegang satu stik es krim Bubblegum di masing-masing tangannya.
“Kau harus mencobanya!” Rival menawariku es krim Bubblegum tersebut. Tapi aku menolaknya.
“Kalau kau menolak, itu artinya kita akan berteman,” jawabnya datar.
Baiklah, untuk hari ini saja aku akan mengalah. Aku mengambil es krim Bubblegum yang belum pernah kucoba sebelumnya dan memakannya perlahan. Ternyata enak.
“Aku tahu apa yang baru saja kau alami bersama Darren,” ujar Rival yang membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. Memangnya bagaimana ia bisa megetahuinya? Oh, pasti itu karena dia tidak suka melihatku dan Darren bersama.
“Lalu?”
“Ya. Aku hanya ingin membantumu, kawan! Sejak kau dekat dengan Darren aku rasa kau seperti tertekan dengan sesuatu.” Sekali lagi ia memanggilku dengan sebutan kawan! Justru aku tertekan dengan kehadiran kalian berdua. Kenapa tidak ada yang sadar, sih?
“Owh! Kau melanggar janjimu. Kau bilang kita tak akan berteman setelah aku memakan es krim ini.”
“Aku hanya bilang kita tidak akan berteman. Bukan berarti aku mengatakan kalau aku tak boleh memanggilmu dengan kawan.” Rival tersenyum sumringah. Beda dengan Darren, hari ini, untuk pertama kalinya aku merasakan sesuatu yang berbeda dari Rival.
Rival mempermainkanku. Tapi aku menyadari kalau Rival lebih peduli padaku daripada Darren. Oh tidak! Apa itu artinya aku harus berteman dengannya? Sebenarnya tidak masalah. Hari ini saja aku terpesona dengan Rival sebab senyumnya. Memang ya, senyum seseorang merubah segala perasaanku hari ini.
“Kau diam saja. Itu artinya kau juga setuju, kan?”
“Eh bukan. Maksudku, ... aku ....” Sesuatu yang harus kuucapkan malah tak bisa keluar dari mulutku. Ada apa dengan diriku? Harusnya aku tetap pada pendirianku untuk tidak berteman dengannya. Tapi ….
***
Es krimku meleleh. Lebih cepat dari punya Rival. Saat itu aku tak bisa memikirkan apapun sampai Rival telah membersihkan semuanya dengan benar.
Aku melongo dan menatap wajahnya begitu gugup. “Terima kasih, Rival.”
“Okey. Lagipula kenapa kau sampai tak sadar kalau es krimmu meleleh sejak tadi?” Rival menyeka keringat di dahinya. Pemandangan itu semakin membuatku tunduk dan aku tergagap seketika. Apa-apaan ini?!
“Eh? Benarkah?” tanyaku. Rival menjawab dengan anggukan.
Setelah itu kami makan berdua di kantin. Rival yang mentraktirku dan aku benar-benar tak bisa menolaknya. Perlahan, semua anak mulai kembali ke kelas seiring berjalannya waktu istirahat yang tersisa beberapa menit lagi.
Aku menyendok nasi tak sampai lima kali. Pikiranku melamun kemana-mana dan aku tak mendengar jika Rival sudah meneriakiku dari tadi.
“Ayo cepat, kawan!” serunya. “Belnya sudah bunyi dan kau masih belum menghabiskan makananmu? Baiklah, aku tak akan mentraktirmu lagi nanti.” Seketika suara bel menggema di dalam telingaku.
Aku bingung. Dunia ini seperti berhenti dan terus saja aku melihat kelakukan Rival yang terus memanggilku kawan. Semuanya terasa begitu lambat. Aku hanya tak ingin dia memanggilku-. “Kau sangat egois Casie!” Kalimat itu tersemat begitu saja di dalam pikiranku.
“Maafkan aku!”
“Kita tidak boleh telat masuk kelas!”
***
Rival menarik tanganku dan kami berlari bersama di koridor. Semua anak sudah masuk kelas dan sepertinya kami benar-benar telat. Ini semua gara-gara aku! Kenapa kau bodoh sekali sih, Casie!
Alhasil pintu kelas sudah tidak lagi dibuka. Itu artinya kami harus berdiri di depan kelas sampai pelajaran berakhir.
“Maafkan aku Rival.”
“Sudahlah. Bukan apa-apa. Tidak ada salahnya mencoba untuk yang pertama kali. Seumur hidup aku belum pernah telat masuk kelas.” Rival menoleh padaku. Tatapan matanya sangat lembut.
“Ini juga pertama kalinya untukku telat masuk kelas,” sahutku pelan. Kami berdua memang murid disiplin yang pandai matematika. Telat masuk kelas adalah hal yang paling rugi.
“Untunglah kita melakukannya bersama.” Laki-laki itu menoleh padaku. Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi.
Akan kuputuskan mulai sekarang. Dengarkan baik-baik ya! Rival adalah orang yang lembut dan manis! Aku mengakuinya sekarang! Hah, rasanya ingin menari di atas awan agar para malaikat melihatku dan membawaku kembali turun ke hadapan Rival. Ini terlalu berlebihan, Casie!
“Rival, kau seperti Pancake Madu!” beritahuku tiba-tiba.
“Apa maksudmu?”
“Kau begitu lembut dan manis!” Rival yang kutatap saat itu hanya diam saja.
***
Fix! Pipiku langsung menghangat mengingat kejadian itu di tengah malam. Aku membayangkan saat aku dan Rival dihukum bersama di depan kelas. Kemudian saat kami makan bersama di kantin dan dia memberiku es krim.
Astaga! Dan ketika aku mengatakan jika dia selembut Pancake dan semanis madu. Apa-apaan itu?
“Kau ini bodoh ya, Casie? Aaaa! Kenapa kau melakukan hal yang memalukan seperti itu? Bagaimana kau bisa bertemu dengan Rival besok?” teriakku di dalam kamar.
Aku benar-benar tak sadarkan diri tadi. Ah, besok aku tak punya wajah untuk bertatapan lagi dengannya. Memangnya aku harus meminta maaf atau bagaimana? Bodoh Casie, bodoh! Kau seperti mendapat nilai minus untuk kesalahan fatal dalam menyelesaikan soal Aljabar yang sebenarnya hanya operasi matematika biasa.
“Rival ...,” lirihku saat berkubang dalam selimut mencoba mendamaikan hati.
“Ada apa dengan Rival?” Sandra membuka selimutku dan dia membuatku diam membisu.