Bab 8 Raja dan Ratu Matematika
Bab 8 Raja dan Ratu Matematika
“Huft, semoga saja aku tak bertemu dengan Rival hari ini,” ujarku sesampainya di depan gerbang sekolah.
Saat masuk ke kelas, untuk menghindari wajah Rival dan berusaha untuk tidak melihatnya, akhirnya kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Kemudian berjalan menyusuri bangku kelas satu persatu.
DUK! Tak sengaja kakiku menabrak bagian kaki meja yang begitu keras. Aku pun meringis kesakitan. Karena masih bersikeras tak ingin melihat wajah Rival hari ini, malahan aku tak sengaja mengintipnya dari celah jemariku. Ya, laki-laki itu sedang duduk tenang di bangkunya.
Apalagi dia baru saja memanggilku!
“Casie? Apa kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Aku pun cepat-cepat mengambil kamus di dalam tas dan menutup wajahku dengan sempurna. Kemudian berjalan lagi dengan sangat hati-hati agar tak tersandung kaki meja ataupun kursi. Alhasil aku pun sampai di tempat, lalu duduk dan mengalihkan pandangan ke arah luar jendela.
Tapi Rival masih penasaran dengan apa yang baru saja kulakukan. “Cas, kenapa kau aneh sekali hari ini? Memangnya mau sampai kapan kau memeluk kamus itu dan menggunakannya untuk menutup wajah tadi?” tanya Rival terheran-heran—yang membuatku menyadari bahwa ini adalah hal konyol yang perlu ditertawakan.
Jantungku berdegup lagi. Entah kenapa aku masih tak berani menoleh dan melihat wajah Rival. Aku hanya tak ingin Rival mengingat dengan apa yang baru kukatakan kemarin saat berdiri di luar kelas.
“Rival, kau seperti Pancake Madu!” beritahuku.
“Apa maksudmu?”
“Kau begitu lembut dan manis!” Rival yang kutatap saat itu hanya diam saja.
Tidaakk! Itu sungguh memalukan. Rival pasti masih mengingatnya dan karena itu dia menyebutku gadis aneh barusan. Pipiku langsung menghangat. Rival pun bangkit dari bangkunya lalu mencoba menghampiriku yang sama sekali belum menjawab pertanyaannya.
Kamus yang kusedekap tadi tiba-tiba diambilnya oleh Rival.
“Hey! Kenapa kau mengambilnya tanpa seizinku?” tukasku cepat.
“Ah, aku hanya ingin memastikan apa kau sedang baik-baik saja atau tidak, kawan!”
Mendengar kata kawan kesekian kalinya membuatku terdiam sambil menatap Rival. Apa yang diramalkan Sandra akan benar-benar terjadi ya? Rival adalah temanku. Okey, baiklah. Rival akan kuanggap sebagai teman. Tapi ingat, hanya sebatas teman dan tak lebih dari itu.
Tapi ada apa dengan detak jantungku yang tak karuan ini? Rasanya seperti saat aku memacu kuda dengan penuh semangat. Pipiku yang terasa panas, oh apakah ini pertanda?
Plak! Casie sadarlah! Aku memang tak mau berada di dekat Rival sejak awal. Kita hanya harus terus bersaing dan berkompetisi, bukan?
“Cas? Kenapa kau menampar wajahmu sendiri?” Pertanyaan Rival membuyarkan lamunanku. Aku? Astaga! Bodoh. Hal konyol apalagi yang kulakukan barusan?
Padahal aku hanya berusaha untuk mengingatkan diri sendiri dan membayangkan jika sedang tertampar oleh tangan lain. Tapi ternyata aku menampar diriku sendiri. Bodoh.
Aaa! Jeritku dalam hati. Aku benar-benar malu. Rival yang melihatku tanpa bisa berkata apapun hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa yang baru sekali ini aku lihat dari seorang musuh, sekaligus teman baru.
Tawa yang renyah dan sungguh menyenangkan.
***
Jam istirahat makan siang baru saja tiba. Aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantin sembari membereskan buku-buku yang berserak di atas meja.
“Cas, bisa kau temani aku ke ruang guru, tidak?” tanya Rival memintaku untuk menemaninya. Awalnya agak membuatku terkejut. Lagi-lagi Rival terus membuatku merasa seperti bukan menjadi seorang Casie. Tapi menjadi orang lain yang sedang kehilangan akal.
“Untuk apa?” tanyaku akhirnya.
“Ah ya, Mrs. Ratry yang memanggilku. Dia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakannya dengan serius.”
Anggukan sederhana membuat jawaban yang tepat utuk Rival. Kami pun pergi ke ruang guru, melewati kantin yang sebetulnya ingin kutuju lebih dulu.
Berjalan di dekat Rival membuatku dipelototi oleh banyak pasang mata. Terutama karena ada Rival yang punya tampang keren. Ya ampun, apa mereka mengira kalau kami benar-benar menjadi dua orang yang dekat? Apa-apaan itu?
“Cas, jangan lupa dengan harga dirimu. Kau tak boleh menyukai Rival,” batinku begitu dalam. Mengingat banyak hal yang harus dikerjakan untuk belajar dan aku tak mau kalau harus berurusan dengan hal seperti ini.
Baiklah, aku harus segera menjauh darinya. Lagipula untuk apa aku menemaninya? Tidak berguna, bukan?
“Um, Rival. Aku pergi dulu ya, dah!” ujarku sambil melambaikan tangan. Meninggalkan Rival yang terdiam sendiri di lorong kelas.
“Tunggu, Casie! Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu saat ini! Dimana letak ruang gurunya? Aku tidak tahu!” balas Rival sebelum aku benar-benar menjauh darinya. Bahunya diangkat dan ia pun tertunduk lemas sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Rival sedang kesal. Tapi aku sudah tahu apa yang ada di pikirannya. Rival hanya ingin mempermainkanku dan aku tak boleh lagi terjerumus oleh jebakannya. Sekarang aku hanya perlu ke kantin dan memesan beberapa roti untuk mengganjal perut.
Lagipula Rival pasti sudah tahu dimana letak ruang guru tersebut. Yaitu ruangan kedua dari ruangan yang berada di sebelah ujung.
***
Sepulang sekolah, tiba-tiba Darren menemuiku di kelas. Dia tergesa-gesa dengan raut wajah yang sangat bahagia. Sangat aneh. Napasnya masih tersengal seolah ada berita yang sungguh mengejutkan—sampai-sampai membuatnya ingin terkena serangan jantung dan meninggal. Apa-apaan, sih?
“Darren? Tenangkan dirimu, lalu katakan padaku apa yang ingin kau beritahu.” Senyumku mengembang. Darren ternyata masih sama. Tatapannya seperti seorang sastrawan sejati yang memiliki pesona terindah.
Sebuah buku selalu berada dalam genggamannya dan tak lupa lensa kotaknya selalu cemerlang bagai kilau matahari. Sungguh lelaki hebat!
Hei, hei! Aku tak boleh menjadi gadis yang selalu memujinya dalam hati saja. Lebih baik mengutarakannya. Tapi tentu saja tidak. Kali ini aku sudah tak mau lagi dekat dengan Darren.
“Itu ... uhm, Mr. Raymond memanggil kita untuk ikut kelas bimbingan khusus sepulang sekolah,” beritahunya.
“Oh, baiklah.”
“Oh ya! Dan kau juga, Rival!” tambah Darren. Dia mendekat ke arah Rival yang kebetulan masih berada di bangkunya dan merangkul pundaknya. Mereka seperti teman yang begitu dekat.
“Aku?” tanya Rival tak percaya yang lalu dijawab dengan anggukan Darren.
Jadi setelah ini, akan ada Darren dan Rival dalam kelas bimbingan khusus. Coba kubayangkan terlebih dahulu, apa yang harus kulakukan pada Rival? Mungkinkah kami akan bersaing kembali?
***
Kelas bimbingan pertama dalam tahun ajaran baru dibuka oleh kepala sekolah. Beliau memberikan sambutan terhebatnya sambil terus membungkuk pada kami. Seolah kamilah para harapan terbaik dari mereka, dan mereka tentu saja sangat mengandalkan kami untuk menaikkan tingkat kepopuleran sekolahnya. Tak heran dan tak jarang hal ini biasa terjadi.
Kami—para anak jenius yang mulanya dikumpulkan dalam satu ruangan, kini sudah berpindah tempat untuk masuk ke kelas masing-masing sesuai bidangnya.
Aku langsung duduk di bangku, menunggu Mrs. Ratry untuk memulai pelajarannya. Tiba-tiba Rival menghampiriku. Bangku yang dia pilih tepat berada di sebelahku. Akh! Kenapa dia harus di dekatku, sih?
“Jangan khawatir, kawan! Kau tetaplah seorang Ratu Matematika yang keren!” sahut Rival. Dia tersenyum miring dan lekas mengalihkan perhatiannya agar tak melihat wajah kesalku.
Tentu saja aku kesal saat dia menyebutku sebagai si Ratu Matematika. Itu adalah kalimat yang paling kubenci dan sebenarnya pun pernah kukecam Rival agar tak mengatakan hal itu. Sebagai gantinya, aku harus membuatnya diam dan meminta maaf padaku.
Aku berdiri dan mengepalkan tangan kananku kuat-kuat. Setelah itu langsung saja kupukul kepalanya dengan kepalan tangan. Tanpa basa-basi karena dia sungguh menyebalkan.
“Hei! Kau ini apa-apaan, sih?” Wajah Rival memerah padam. Dia mengelus belakang kepalanya yang sakit dan bersiap menghajarku balik.
“Menyerahlah, karena aku masih bisa menghindar darimu.” Seketika tawaku meledak begitu saja.
“Dasar si Ratu Matematika!” ejek Rival lagi.
Dia membuat emosiku memuncak. Alhasil, kepalan tanganku harus mendarat lagi dengan sempurna di atas kepalanya. Untung saja Rival tak membalas dan dia begitu acuh. Jadi permasalahan ini sudah selesai dan tak akan berlangsung lama.
Namun tiba-tiba Rival berbalik dan menyunggingkan senyum sinisnya kembali.
“Kalau begitu, sebut saja aku Raja Matematika. Sebagai teman, harusnya kita bersikap adil, bukan? Ini akan impas untuk kita berdua,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Raja lebih berkuasa daripada Ratu. Itu artinya Rival telah menganggap dirinya lebih hebat dariku. Ckkck, sombong sekali rupanya. Dan itu berarti pula kalau Rival sedang merumuskan taktik agar aku menolak menyebutnya Raja, sehingga Rival bisa tetap menyebutku seorang Ratu.
“Omong kosong,” balasku sambil menepis tangannya dan segera pindah ke tempat duduk yang lain.