Bab 10 Aileen dan Acara Berlari
Bab 10 Aileen dan Acara Berlari
Sebentar lagi ujian tengah semester dimulai. Setiap hari akan menjadi sibuk. Dari yang bangun pagi dan tidur larut malam untuk belajar. Serta sarapan roti gandum dengan susu. Tapi tenang saja, masih ada hal lain yang menyenangkan selain belajar.
Sekolah akan mengadakan kegiatan yang paling menyenangkan sepanjang tahun menurutku. Selain dari festival sekolah ataupun acara hiburan dan olahraga sehabis ujian. Yaitu adalah acara lari pagi di sekitar sekolah. Semua murid akan melakukannya.
Hari yang menyenangkan tersebut sudah dimulai. Pagi ini aku bersiap sambil mengenakan seragam olahraga dan berlari ke sekolah.
“Cas, apa kau tidak lebih baik naik sepeda saja? Energimu akan terkuras lebih dulu nanti.” Ibu mencegahku sebelum aku sempat berlari dan keluar dari halaman rumah. Dia sedang mengamati tumbuhannya.
“Tidak apa-apa. Aku ini orang yang kuat. Lari mengelilingi sekolah jaraknya hanya sekitar dua kilometer. Tidak menguras tenaga.” Aku mengebaskan tangan sambil terkekeh. Kemudian melambai pada Ibu yang masih berusaha mencegahku untuk tidak berlari ke sekolah.
“Jarak ke sekolah sekitar dua kilometer, 'kan? Kalau begitu kau akan berlari sejauh empat kilometer, Casie!” teriak Ibu khawatir. Dia memang terlalu mementingkan urusan anaknya. Sementara aku tidak terlalu suka diatur-atur dan menuruti perintah orang lain jika itu tidak aku suka.
“Ya, bu. Aku juga tahu hal itu. Pokoknya tidak usah khawatir karena aku tidak pernah sakit hanya karena berlari terlalu jauh. Oke, bye!”
Set! Langkah panjang pertama kumulai. Sebenarnya aku hanya berlari kecil di sekitar perumahan untuk sampai di sekolah. Cuaca pagi ini begitu bersahabat. Ditemani sinar ultraviolet dan suara kepakan burung yang melintas di langit tanpa permisi ketika kemudian menjatuhkan kotorannya di tengah jalan.
Angin yang lewat bersama dengan kesejukannya membuatku semakin bersemangat. Aku mulai berlari. Sangat mudah karena menggunakan celana training yang tidak terlalu ketat atau longgar. Lengan pendek juga terasa nyaman. Sementara rambutku dikucir kuda agar tak mengganggu.
***
Baiklah, acara menyenangkan ini sebentar lagi dimulai. Kepala sekolah memberikan sambutannya.
"Selamat pagi para senior, junior, serta para coach dari klub olahraga yang ada di sekolah tercinta kami. Tak perlu banyak kata yang perlu kuucapkan pada kalian semua. Hanya berlarilah semenyenangkan mungkin. Karena ada banyak hal yang kita perlukan untuk persiapan menjelang ujian tengah semester. Sekian, terima kasih"
Pidato paling singkat yang pernah kudengar. Beliau kemudian turun dari podium dan melambai pada seluruh murid.
Barisan mulai diatur. Semuanya bersiap di depan gerbang megah sekolah. Aku berkumpul dengan beberapa anak yang satu kelas denganku meski tak terlalu akrab.
"Casie, sepertinya kau sangat bersemangat hari ini," sapa Aileen si primadona kelas unggulan. Rankingnya tak jauh dariku di bawah. Dia satu-satunya yang paling tak suka membuang-buang waktu sama sepertiku--untuk urusan belajar.
Tapi sayang sekali, kepintarannya masih belum mampu untuk membawanya ke kelas bimbingan khusus. Meski begitu, dia tetap gadis dermawan yang baik hati. Terlebih, dia adalah anak dari seorang pengusaha yang cukup terkenal di kalangan atas.
Sebaliknya, aku hanyalah gadis yang paling tidak disuka dengan kebanyakan anak laki-laki. Karena aku gadis paling menyeramkan yang egois. Memangnya aku egois darimana?
Tak perlu lagi membahas hal itu.
"Tentu saja! Karena para coach akan mempersiapkan minuman segar di akhir garis finish nanti, bukan? Hahaha!" Aku tertawa lepas sambil menutup mulut.
Aileen pun ikut tertawa.
"Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan minuman yang disiapkan mereka pada tahun kemarin. Minuman lemon sangat tidak cocok! Kuharap nanti akan lebih spesial." Aileen mengutarakan pendapatnya.
Peluit tak lama ditiup. Barisan mulai bergerak. Aku agak merasa kesal karena tidak bisa lari lebih leluasa. Bayangkan saja jika dari ribuan murid berlari bersama di tengah jalan. Tentu saja akan berdesak-desakan.
Cukup lama untuk sampai jalan raya agar aku bisa berlari lebih leluasa. Yup, sinar matahari mulai menyengat dan banyak pula kulihat beberapa siswa yang mulai berjalan di tepi.
"Tunggu aku Rival! Kau harus tetap berlari di sisiku," ujar seseorang di belakang.
Suara langkah sepatu yang berat tiba-tiba mendekat. Namun mendengar kata Rival disebut, hal yang tak lain kulakukan adalah segera menoleh untuk memastikan. Apa dia benar, Rival?
"Maaf Darren, kau terlalu lambat. Aku tak bisa menunggumu terlalu lama," jawab Rival sambil terkekeh.
Tepat saat aku berbalik Rival melewatiku. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata. Sosok laki-laki itu berlari sambil membusungkan dadanya serta rambutnya yang terbang terhalau angin. Jika boleh kuberitahu, semua pemandangan itu adalah keren.
Berbeda dengan Darren. Aku ingin tertawa saat melihatnya tak bergerak sedikit pun setelah Rival meninggalkannya. Ya, tidak bergerak. Aku tidak salah lihat. Darren memang lemah. Dia bersandar pada tiang lampu jalan sambil mengatur napasnya.
"Rival, kau memang seorang teman sesungguhnya. Awas saja ya!" geramnya.
Adakah seseorang yang berpikir jika aku harus ikut berhenti dan menuntunnya menggantikan Rival? Ayolah, tentu saja tidak. Darren lemah. Yang lemah tak akan bisa membantuku untuk sampai tujuan.
Aku berlari lagi. Melewati beberapa kuil kuno dan semakin banyak menemukan gerombolan lain yang berhenti untuk beristirahat. Mereka payah.
Langkah kakiku tentu saja masih kuat. Aku melesat jauh meninggalkan Darren. Anak yang sukanya hanya membaca buku pasti jarang berolahraga.
Rival kemudian muncul di depanku. Aku ingin menyapa namun tiba-tiba saja kuurungkan niat itu. Karena kalau kusapa, dia akan memikirkan hal lain tentangku. Aku tak mau kalau dia memikirkanku. Seperti untuk berlari berdampingan bersamanya atau yang lain.
"Wow, Casie! Kau lumayan cepat juga ternyata. Kukira kau akan bersama Darren tadi," ujarnya keras-keras.
"Apa maksudmu dengan Darren, hah? Kamu tidak sedekat itu. Ini berbeda dengan apa yang kau pikirkan," balasku yang juga dengan menggunakan suara keras.
"Kau sudah tak berada di klub sastra lagi, aneh?"
"Aneh?" Kenapa dia menyebutku aneh?
"Tidak apa. Oh ya, aku ingin mengatakan kalau acara berlari ini memang sangat menyenangkan dan menyehatkan. Sangat cocok untuk kegiatan sebelum ujian."
Omong kosong kami berlanjut sampai Aileen tiba-tiba datang dan ikut bergabung. Rival di sebelah kananku dan Aileen di sebelah kiriku. Lari kami sama-sama cepat rupanya. Dua ruas jalan lagi yang harus dilewati dan kami bertiga akan sampai di garis finish sebagai orang pertama.
Bahkan gerbang sekolah sudah terlihat kembali. Gerbang tersebut terbuka lebar. Ada surga di sana. Maksudku--surga yang kusebut adalah para pelatih olahraga yang menodongkan kotak besar berisi makanan dan jus kotak segar.
"Euwh, pasti lemon lagi," tebak Aileen.
"Semoga ada roti." Aku dan Rival berucap bersamaan.
Kenapa dia memilih roti sama sepertiku? Hanya aku yang biasa mendapatkan roti spesial karena sampai pertama di tahun lalu.
"Kalau begitu, apa kau mau bersaing denganku? Ini bukan soal matematika, jadi aku sama sekali masih berpegang teguh untuk tidak berkompetisi serius, bukan?" Rival menawarkan hal yang membuatku bersemangat.
Memangnya sehebat apa dia sampai mau menantangku? Jangan kau kira gadis sepertiku ini tidak bisa mengalahkanmu. Sejak tadi aku sudah menggeram dalam hati. Kepalan tanganku makin kuat dan kuncir kudaku kueratkan.
"Baiklah, aku sudah siap!" Aku berujar dan langsung berlari.
"Hei, hei. Curang. Aku belum menyuruhmu untuk berlari." Rival menyusulku dengan kesal. Terdengar dari teriakannya yang membuatku tersenyum licik di dekat garis finish.
"Casie, berhati-hatilah!" Aileen meneriakiku.
Okey, suaranya seperti ini : BUGHH!!!
Selepas Aileen memperingatkanku aku tersandung sebuah batu besar yang tak kuperhatikan dan jatuh tersungkur di atas tanah.
Aku merutuk dalam hati. Badanku serasa melayang dan aku melihat para coach yang melongo. Seolah terbang di langit dan selebihnya aku terjun. Hanya rasa sakit yang kemudian tersisa.
***
Kini Rival memegang perutnya yang sedang kesakitan karena tertawa terlalu keras.
Dia iblis. Aku yang duduk di bangku taman sekolah yang ramai mulai kesal. Es batu dalam plastik diletakkan di keningku oleh Rival. Meski begitu ia terus saja melepaskannya karena ingin tertawa.
Aileen di sampingku dan aku mulai merasa malu. Kelakuanku lebih payah daripada Darren. Wajahku sangat penuh dengan debu namun tak berani kubersihkan karena sakit.
"Kau sangat lucu Casie! Kelakuanmu membuatku bisa tertawa sepanjang hari."
"Rival, hentikan!"
Siang itu aku memiringkan bibirku dan berusaha menahan rasa malu terbesar seumur hidupku.