Bab 11 Pengumuman Lomba
Bab 11 Pengumuman Lomba
Dahiku berdenyut. Kejadian kemarin masih belum bisa kulupakan sampai pagi ini. Sejak malam bahkan sampai pagi, Ibu memijit dahiku yang sebenarnya semakin terasa sakit.
Hari ini aku sedikit lebih telat dari biasanya. Yaitu 45 menit sebelum bel di sekolah berbunyi. Itu karena tubuhku yang masih terbaring di atas kasur, sementara bunyi alarm manual membuat telingaku pekak.
Tak lama aku mencoba untuk menyampingkan badan dan mematikan alarm yang berada di atas meja. Ibu kemudian masuk tanpa mengetuk pintu dan mengejutkanku.
“Makanlah bubur yang sudah kusiapkan ini,” kata Ibu. Raut wajahnya terlihat begitu khawatir dan ia pun duduk di pinggir ranjang menemaniku.
“Baiklah, aku akan segera memakannya. Jangan khawatir padaku,” ujarku kemudian berusaha duduk. Lalu hendak mengambil mangkok bubur yang masih dipegang ibu.
Tapi ibu malah menariknya kembali. Hal yang dilakukannya adalah menyendokkan bubur tersebut dan menyuapkannya ke dalam mulutku. Ini hal yang memalukan.
“Bu ..., aku ini bukan anak kecil lagi. Jadi tidak perlu disuap, oke?” tawarku sambil mencoba mengambil alih sendok yang sudah ditujukan padaku barusan.
“Tidak, Casie. Aku harus memastikan agar kau tidak kesulitan. Maka dari itu buka saja mulutmu dan aku akan menyuapkannya untukmu. Ini tidak menakutkan, bukan?” Ibu menariknya kembali dan dengan cepat dia menyuapkan bubur ke dalam mulutku.
Karena tak berani menolak terpaksa aku diam saja. Beberapa suap sudah kukunyah. Bubur nasi yang lembek serta ada kacang di dalamnya. Aku tidak terlalu suka jika diperlakukan seperti anak kecil. Ibu selalu menganggapku belum dewasa dan aku harus menurut padanya.
“Sudah ya bu, aku harus segera bersiap dan berangkat sekolah.” Suap terakhir dari ibu langsung kusantap dan aku lekas berdiri. Membiarkan selimut bertengger di bawah lalu berjalan mendekati pintu.
“Cas, kau mau ke sekolah?” Ibu terkejut. Dia meletakkan mangkuk di atas meja dan menghampiriku. Wajahnya begitu khawatir.
Yeah, ini bagian tersulitnya. Ibu pasti tidak akan membiarkanku masuk sekolah. Dia akan mengurungku di kamar seharian dengan bubur nasi yang dibuat tanpa menggunakan garam. Aku tidak suka.
Sedangkan bagian yang paling dikhawatirkannya adalah tubuhku. Bahkan pernah terjadi, hanya karena jarum benang yang tak sengaja menancap di jariku, aku tak boleh masuk sekolah. Sikap ibu terlalu over protektif.
“Bu, aku sudah tidak apa-apa. Sekarang aku harus berangkat sekolah sebelum telat.” Kekesalanku mulai terlihat oleh ibu. Namun ibu tetap saja tak menyetujuiku. Baginya ini akan membuatku semakin sakit.
“Tidak, Casie. Sudah berkali-kali kubilang, bukan? Kalau kau sakit itu artinya kau harus tetap di rumah. Tidak boleh keluar dan sarapan roti.”
Bagaimana aku tidak kesal memangnya? Punya seorang ibu yang terlalu protektif akan membuatku tersiksa seharian di rumah. Apalagi kalau harus memakan bubur hambar dengan kacang. Itu sama seklai tidak enak! Oke tenang, aku tak akan pernah membuat hati ibu sakit soal makanan.
“Bu, sebentar lagi ujian dan aku harus belajar di sekolah.” tanganku langsung meraih gagang pintu.
Lagi-lagi ibu mencegahku untuk keluar.
“Kau masih bisa belajar di rumah, Casie. Aku tahu kau anak ibu yang rajin belajar. Lihat saja semua piagammu. Tanpa belajar pun kau sudah pasti bisa. Percayalah.” Ibu mengelus rambutku perlahan. Raut wajahnya memang membuatku tak tahan agar terus mengasihaninya.
Agak tega sebenarnya untuk menolak semua ucapan ibu. Tapi mau bagaimana lagi kalau aku memang harus bersekolah?
“Maaf ya bu, sepertinya aku harus tetap berangkat.” Aku menggamit tangan ibu kuat-kuat dan berhasil membuka kenop pintu dengan cepat lalu berlari ke bawah.
Sandra yang baru saja selesai sarapan lewat dan menertawaiku.
“Hati-hati dengan dahimu, Cas. Jika tidak, bakso di dahimu akan membesar.” Sandra tertawa terbahak-bahak. Aku mendengus sebal sembari mengambil handuk dan menyampirkannya dengan kesal.
“Tenang Casie. Maafkan aku. Aku hanya berusaha menghiburmu!” Sandra merayu untuk meminta maaf padaku.
Entah kenapa kedatangan Sandra kali ini tak membuatku senang. Mungkin sejak aku menceritakan tentang Rival padanya. Setelah itu semuanya menjadi kacau. Termasuk hari ini.
***
Tak ada hal lain yang bisa kuperbuat untuk membantah perintah Ibu. Tapi untunglah Sandra berbaik hati. Dia berhasil membuat ibu melepaskanku dan pergi dengan dahiku yang masih berdenyut sampai sekarang. Aku harus berterima kasih padanya sekarang.
Meski dua puluh menit lagi bel sekolah berbunyi, aku menyempatkan diri untuk mengajak Sandra mengantarku ke halaman. Tentu saja Sandra heran.
Di situasi seperti ini Sandra malah meminta maaf padaku. Katanya aku agak berubah. Jadi kuberi saja jawaban atas permintaan maafnya dengan terima kasih.
“Aku punya sesuatu untukmu.” Aku merogoh tas dan mengambil sesuatu.
“Apa itu?” tanyanya.
“Sesuatu untukmu sebagai ucapan terima kasih dariku.”
“Baiklah, sama-sama. Kalau begitu apakah sesuatu itu?”
Nah, rasa ini yang kurindukan sebelum kepulangan Sandra. Kami begitu akrab dan sering bercerita satu sama lain sambil tertawa. Ah, damainya.
“Ini dia!” Aku mengacungkan bungkusan coklat yang pernah diberikan Sandra padaku. Lebih tepatnya coklat dari Sandra yang harusnya kuberikan pada Rival.
Aku terkekeh sedikit. Kukira Sandra akan menyadarinya. Rupanya tidak dan ia sangat berterima kasih padaku.
Jadi lebih baik tidak kuberitahu saja. Sebelumnya, terima kasih Sandra!
Aku pun melesatkan sepeda. Menghiraukan penampilanku yang agak memalukan. Ada plester di dahiku. Tapi tidak apalah. Yang lebih penting dari apapun adalah aku harus segera sampai di sekolah sebelum bel berbunyi.
***
Kelas bimbingan dimulai sepulang sekolah. Siang ini aku berjalan di koridor dengan santai. Tak peduli lagi dengan plester yang masih menempel di dahi. Sampai suasana berubah ketika Rival dan Darren datang bersamaan.
“Jangan memaksakan diri, Casie!” ujar Darren dengan sikap dinginnya.
“Aku tidak memaksakan diri. Tenang saja, aku sudah mempan dengan ledekan semua orang.”
Rival melepas rangkulannya dari Darren begitu melewatiku. Mereka benar-benar teman dekat.
“Um, bagaimana dengan keadaanmu?” Rival berusaha mendekat. Dia membungkukkan badan dan meminta maaf meski kalimatnya belum diucapkan.
“Apa kau ingin meminta maaf karena sudah menertawakanku kemarin?” Mendengar kalimatku Darren tak kuasa menahan tawanya. Dia pun segera menutup mulut.
Rival membusungkan dadanya kembali sambil tersenyum geli. “Ah ya, aku minta maaf. Lalu apa kau sudah baik-baik saja?”
“Lihat saja ini!” Aku menunjuk plesterku dengan kesal. Lalu berjalan menjauh dari mereka lebih cepat dan bergegas masuk kelas.
Oh ya ampun! Aku sungguh malu.
***
Tak lama Mrs. Ratry datang. Di genggamannya ada beberapa buku tebal serta lembaran-lembaran yang tidak diketahui isinya oleh seluruh anak di kelas. Mungkinkah itu selebaran yang sangat penting?
Saat ini aku memilih duduk di paling belakang. Yah, itu karena aku tak ingin Mrs. Ratry melihat dahiku yang di plester. Lebih mengesalkan lagi jika Rival duduk di sebelahku. Dan ya, ia memang sedang sibuk membaca bukunya di dua bangku tepat di sebelahku.
“Hari ini aku akan memberitahu sesuatu pada kalian. Sesuatu yang ditunggu-tunggu setiap tahun,” beritahu Mrs. Ratry. Di tangannya ada selebaran yang kumaksud tadi. Pasti ini sesuatu yang penting, batinku.
Mrs. Ratry berjalan di antara sekitaran bangku para murid. Mengamati muridnya satu persatu dengan tatapan misterius. Jemarinya sempat menggosok pinggiran meja. Memastikan debu yang tertinggal.
Sepatu haknya terdengar lambat. Ayolah, jangan sampai dia ke belakang. Huft, untung saja Mrs. Ratry berbalik dan ia mulai membaca selebaran di tangannya.
Aku yakin akan satu hal. “Ini olimpiade matematika yang akan dilaksanakan dalam tiga bulan lagi.”
Mendengar itu sontak semua bersorak gembira. Dugaanku tentu saja benar. Memangnya hal lain apa lagi yang begitu penting selain info lomba matematika?
Beberapa saat kemudian aku merasakan hawa aneh yang datangnya dari arah Rival. Anak itu tersenyum tidak biasa. Jiwanya seperti bergelora dan sangat bersemangat. Aku khawatir kalau dia kan menjadi lebih hebat dariku.
Rival adalah satu-satunya musuh yang sangat sering bersaing sengit denganku. Apa dia akan merencanakan sesuatu dalam ajang ini?