Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

Daniel tersenyum melihat Geon yang menghampiri dirinya. Ia berdiri dari kursi, lalu menyambut sang asisten dengan sangat ramah, mengingat Geon baru saja melaksanakan tugas yang diberikan olehnya. “Bagaimana perkembangan tugas yang kamu laksanakan? Lancar?” tanyanya, menunggu-nunggu jawaban yang sangat dinanti-nantikan.

“Semua yang aku lakukan tidak pernah gagal,” jawab Geon dengan senyum semringah. Selamat sesaat Daniel berlagak diam hingga ia pun tertawa terbahak-bahak. Kini hatinya sedang berbunga-bunga, membayangkan bahwa gadis bernama Lalita itu cepat atau lambat pasti akan menjadi miliknya.

Melihat sang bos yang bertindak sedemikian rupa, membuat Geon meringis, ia menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku bosnya yang menurutnya sedikit aneh. Bagaimana tidak, seorang gadis SMA yang sudah jelas memiliki umur yang jauh berbeda dengannya tak luput juga dari kriteria pasangan hidupnya. Seringai licik yang tampak di bibir Daniel kian melebar. Tanpa diberitahu pun, Geon sudah sangat yakin bahwa bosnya itu sedang membayangkan hal yang tidak-tidak.

Selama beberapa menit Daniel melamun, hingga ia pun menoleh ke arah Geon dan kembali mengatakan sesuatu. “Oh, ya, Geon, tolong tata jadwal untuk minggu ini. Sepertinya setelah lama menjadi pengamat, ini saatnya giliranku untuk beraksi. Aku bakal datang ke panti asuhan itu. Oke, terima kasih atas semua perjuangannya, Geon. Semua bayaran kamu akan saya transfer nanti, selamat bersenang-senang!” Daniel menepuk pundak Geon dengan agak keras, membuatnya memegangi pundaknya sendiri. Kemudian, Daniel pun berlalu meninggalkan Geon sendirian di dalam ruangan kerjanya.

Senyum gembira terbit di hati Geon. Kini gilirannya yang dilanda perasaan senang. Geon tahu, bayaran yang akan diberikan oleh bosnya itu tidaklah sedikit. Menurutnya, Daniel merupakan orang sangat dermawan, ia tak akan pelit dalam memberikan sesuatu, termasuk bayaran kita Geon berhasil menyelesaikan misi. Hal itulah yang membuat Geon menjadi setia kepadanya meski dicekoki beribu-ribu misi yang kadang tak masuk akal baginya.

***

Sore ini, seperti biasa Lalita sedang menemani beberapa anak panti dalam bermain di halaman. Ia tampak sangat gembira melihat tawa riang anak-anak yang ada di sana, membuat senyum manisnya tak pernah padam. Suasana begitu ramai, banyak suara-suara tawa riang dari beberapa anak, membuat sunyi tak berani untuk menunjukkan eksistensinya.

“Lihat, ini gambar Kak Lalita!” ucap seorang anak gadis berumur enam tahun itu. Sebuah kertas gambar dilihatkannya kepada Lalita yang langsung menoleh ke arah anak itu. Gambar dirinya yang sedang menanam bunga, lengkap dengan pemandangan panti dan beberapa benda yang ada di dalam gambar yang diwarnai dengan tidak begitu rata. Namun, Lalita tetap memuji gambar anak itu dengan penuh kasih sayang layaknya adik kandungnya sendiri.

“Wah, gambarnya bagus banget! Kamu hebat!” pujinya, membuat anak gadis itu merasa senang karena hasil karyanya mendapatkan pujian dari Lalita.

“Kak Lalita cantik, makannya aku gambar Kak Lalita biar gambarku bagus,” jelas anak itu, membuat Lalita merasa tersanjung karena dipuji kembali olehnya. Lalita lalu memegang kedua pipi anak itu yang mengembang bak makanan bernama bakpao.

“Sebenarnya, semua yang kamu gambar itu bagus. Ayo lanjutkan, ini belum diwarnai, loh,” pinta Lalita, menunjukkan bagian gambar yang masih berwarna putih, tak tersentuh dengan warna apa pun. Anak gadis itu mengangguk, lalu ia pun mewarnai gambarnya dengan warna yang sudah ditentukan oleh Lalita.

“Kak Lalita, kalau gambarku bagaimana? Bagus, tidak?” Salah seorang anak menarik-narik lengan baju Lalita, membuat langsung menoleh ke arah anak itu. Sebuah gambar sapi yang sedang makan rumput di lapangan terpampang jelas di hadapannya. Namun, hewan yang digambarnya itu lebih cocok disebut sebagai kucing, karena bentuknya yang sama sekali tak mirip dengan sapi yang sesungguhnya.

Namun, Lalita tak terlalu memikirkan hal itu, mengingat gambaran itu adalah hasil karya anak dengan umur kurang dari sepuluh tahun itu. Ia tetap memuji hasil karya mereka meski berbentuk macam-macam. “Gambar kamu juga bagus, mirip seperti sapi yang ada di dunia nyata,” ucap Lalita. Sang anak yang mendapatkan pujiannya itu tersenyum gembira. Tak mau menyia-nyiakan pujian dari gadis cantik bernama Lalita ini, seluruh anak di dekatnya mengerubunginya sembari bertanya pendapat Lalita tentang gambar yang mereka tunjukkan.

Lalita tampak sedikit terkejut. Namun, ia tetap memuji beberapa gambar. Setiap pujiannya mampu membuat wajah para anak menjadi senang. Seperti mempunyai kekuatan, Lalita mampu memancarkan energi positif kepada anak-anak di sekitarnya, membuat mereka ikut merasakan dampak dari aura positifnya itu.

“Kak Lalita, ayo sini ikut aku! Kurang satu pemain, nih!” Tiba-tiba seorang anak laki-laki menarik lengan Lalita, mengajaknya pergi ke lapangan untuk bermain bola dengannya, mengingat jumlah dari tim yang mereka punya masih kurang satu biji. Lalita tampak terkejut, ia tak terlalu mahir atau bahkan tak bisa bermain bola. Untuk memahami setiap peraturan yang ada saja ia masih belum bisa, apalagi turut serta bermain di lapangan.

Namun, Lalita tak pernah menolak menerima ajakan dari anak-anak panti. Walaupun ia tak bisa bermain bola sepak, tak urung Lalita pun setuju dengan anak laki-laki yang mengajaknya itu. Tentu saja beberapa gadis kecil yang sedang bermain dengannya tak terima jika Lalita diambil dari ruang lingkup mereka. Hal itu membuat kelima anak itu menarik lengan Lalita yang satunya lagi. Terjadilah lomba tarik tambang dengan tangan Lalita sebagai objeknya.

“Tidak boleh! Kak Lalita ini perempuan, dia tidak bisa main bola!” teriak salah seorang anak, disambung dengan satu anak lagi yang menimpali. “Iya betul, kamu cari saja anak laki-laki lain! Pokoknya Kak Lalita punya kami!”

“Tidak, Kak Lalita punya kita semua! Jadi, aku juga bisa ajak dia main bola!” bantah anak laki-laki itu, membuat sesi perdebatan pun dimulai dengan amat sengit.

Perselisihan antara kedua belah kubu membuat kepala Lalita menjadi sedikit agak pusing. Suara berisik yang dihasilkan mereka semua lama-lama bisa membuatnya jatuh pingsan saking risinya. Demi menghentikan semua ini, sebuah ide mendadak muncul di otaknya. “Setop!” pinta Lalita. Seketika seluruh anak yang saling tarik-menarik itu menjadi diam.

“Daripada kalian berantem begini, bagaimana kalau kita main permainan yang semua orang bisa main, bisa cewek atau pun cowok, setuju?” tawar Lalita. Seluruh anak saling berpandangan dengan raut wajah bingung.

“Memangnya permainan apa, Kak?” tanya salah seorang anak, mewakili seluruh anak yang ada di sana.

Lalita tersenyum. “Bagaimana kalau kita main ....” Ia menjeda kalimatnya sejenak. “Petak umpet!” Sontak seluruh anak yang ada di sana pun menyahut dengan semangat yang membara.

“Setuju!!!”

“Ayo, Kak, sekarang kita main petak umpet!”

Akhirnya, Lalita berhasil melerai kedua belah kubu. Sore ini mereka habiskan dengan bermain petak umpet dengan suara tawa riang yang tak pernah hilang. Lalita adalah sosok yang mampu menjadi sumber kebahagiaan bagi anak-anak panti. Terkadang Lalita berpikir, bagaimana nasib anak-anak jika ia tak berada lagi di sana. Namun, ia segera menepis pikiran itu dan terus melanjutkan sesi permainan dengan sangat gembira. Lalita berjanji, ia akan menemani anak-anak itu hingga mereka beranjak dewasa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel