Bab 9
Pagi yang cerah, suasana di sekolah tampak sepi. Masih sedikit murid yang datang ke sekolah. Salah satu dari mereka yakni Lalita yang berjalan sempoyongan menuju ke kelasnya, menyusuri koridor yang masih kosong melompong. Bunyi tapak sepatunya menggema di setiap sudut koridor. Ia berjalan sangat lambat, membuat beberapa murid berhasil mendahuluinya.
Entah kenapa, sedari malam Lalita merasakan bahwa hawa yang dihasilkan dari tubuhnya berbeda, seperti ada yang salah dengannya. Sebenarnya, Lalita tak ingin masuk sekolah hari ini dan memilih absen untuk memulihkan keadaannya terlebih dahulu. Namun, ia mengurungkan niatnya karena Lalita tak mau meninggalkan ulangan mata pelajaran Bahasa Indonesia yang akan dilaksanakan pada hari ini. Di sisi lain, ia menjadi sangat tersiksa dengan keadaannya yang sekarang. Lalita berharap bahwa ia bisa melalui hari-hari ini sampai tuntas dengan badan yang tak enak seperti sekarang.
Lalita duduk di bangkunya dengan lesu. Ia langsung menaruh tasnya di atas meja, lalu menjadikannya sebuah bantal untuk tidur sejenak. Masih ada setengah jam lagi hingga bel berbunyi, itu berarti Lalita bisa menggunakan kesempatan ini untuk istirahat terlebih dahulu, dengan harapan ketika ia bangun nanti, seluruh rasa tak enak di badannya bisa sedikit terobati.
Beberapa menit telah berlalu, suasana kelas lambat laun menjadi ramai dengan kehadiran para murid yang sudah memasuki ruangan dan duduk di bangku mereka masing-masing. Lalita bisa merasakan itu tanpa menyorotkan mata ke sekeliling kelasnya.
“Selamat pagi teman!” teriak salah seorang siswi yang memasuki kelas dengan suara yang sedikit lantang. Ia tampak sangat bersemangat hari ini, berbeda dengan Lalita yang seperti kehilangan semangat hidupnya dalam sesaat.
“Eh, kalian tahu tidak, adik kelas kita yang ganteng itu, loh.” Salah seorang siswi melontarkan sebuah kalimat yang tertangkap oleh telinga Lalita. Suara itu sangat dikenali olehnya. Tak salah lagi, Anitalah yang sedang berbincang-bincang di antara para siswi itu.
Entah kenapa, Lalita sedikit tertarik dengan pembicaraan itu. Ia pun mempertajam pendengarannya baik-baik. Diam-diam Lalita menguping pembicaraan itu dengan masih setia membenamkan kepalanya.
“Iya, tahu-tahu! Sumpah, dia itu ganteng banget!” sambung siswi lain dengan suara yang sedikit lebai. Lalita masih tak meluputkan pendengarannya. Sekarang ini mungkin dirinya sudah menjadi orang yang sedikit kepo tentang topik yang sedang dibahas.
“Dia tadi lewat depan kelas kita, lho. Wah, waktu aku lihat dia, rasanya pengin aku peluk dari belakang! Kalau bisa, ya, aku jadiin pacar sekalian!” celetuk Anita yang menjadi pelopor pembahasan ini. Tentu saja hal yang baru saja dikatakannya mendapat hujatan dari teman-temannya.
“Ngaca dulu, shay. Selera dia mungkin lebih tinggi, kayak cewek-cewek cantik dan seksi, tidak kayak kamu yang tampang dan body-nya pas-pasan,” ejek siswi lain, membuat beberapa orang yang ada di sana tertawa geli. Anita tak melontarkan kalimat lagi. Lalita pikir, ia mungkin saja sedang memasang wajah cemberut dengan bibirnya yang sedikit mengerucut.
Tak lama kemudian, bel pun berbunyi. Lalita segera mengangkat kepalanya, menyambut guru yang masuk ke kelasnya dengan wajah lesu. Ternyata istirahat sejenak tak membuat perasaannya sedikit lega. Hal itu justru membuatnya semakin merasa tidak enak badan. Namun, Lalita akan berusaha menahannya dengan sekuat tenaga hingga bel pulang berbunyi.
***
Bel masuk kembali berbunyi setelah waktu istirahat berlangsung selama beberapa menit. Seluruh murid kembali ke kelasnya masing-masing, siap menyambut pelajaran selanjutnya. Lalita kembali duduk di bangkunya, wajahnya saat ini semakin pucat, ditambah tubuhnya yang mendadak lemas, entah apa terjadi padanya saat ini.
Perutnya seakan tak bisa diajak berkompromi, Lalita merasakan sakit yang luar biasa di dalam sana, seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Keringatnya mengucur sedikit demi sedikit, berusaha menahan rasa sakit yang amat sangat itu.
Tiga puluh menit berlangsung. Namun, tak ada guru yang masuk di ruang kelas Lalita. Tentu saja hal itu membuat seluruh murid menjadi senang, mereka berpikir jika guru mata pelajaran saat ini belum bisa mengajar karena masih ada suatu urusan yang harus diselesaikannya terlebih dahulu. Jam kosong, sesuatu yang sangat dinanti-nantikan para murid pun menjadi kenyataan.
Seketika seluruh kelas menjadi bising, ada yang sedang bermain-main di dalam kelas—khususnya murid-murid cowok, serta ada juga yang sedang bergosip, seperti yang dilakukan Anita bersama para konco-konconya saat ini. Seperti biasa, mereka sedang membahas seorang pria tampan yang sedari pagi tak pernah berhenti disebutkan. Lalita tak terlalu memedulikan semua itu, ia hanya fokus menahan sakit sembari memegangi perutnya. Raut wajah meringis kesakitan terpampang jelas olehnya. Karena tidak tahan, Lalita pun berdiri dari bangkunya, hendak meminta izin kepada ketua kelas agar mengizinkannya untuk pergi ke UKS.
Lalita berdiri dari kursinya, menuju ke arah bangku ketua kelas. Namun, sebelum langkahnya sampai ke sana, tiba-tiba kepalanya menjadi sangat berat. Tak kuasa menahannya, akhirnya Lalita pun jatuh pingsan di hadapan banyak murid. Sontak seluruh murid yang ada dikelasnya menghentikan kegiatannya masing-masing, lalu mengerubungi Lalita yang tak sadarkan diri.
Anita menyuruh teman-teman untuk membantunya mengangkat tubuh Lalita, mereka berencana membawanya ke dalam UKS untuk diberikan pertolongan. Mereka pun mengangkat tubuh Lalita bersama-sama dan berjalan menuju ke UKS dengan kepanikan yang melanda di setiap perjalanan.
“Kak, tolong kami!” pinta Anita dengan nada panik, ditujukan kepada beberapa anak PMR yang masih menjaga UKS. Mereka segera membantu membopong tubuh Lalita, lalu membaringkan di sebuah kasur yang telah tersedia. Kemudian, mereka pun melakukan pertolongan pertama terhadapnya.
Selama hal itu berlangsung, Anita tampak gelisah melihat sahabatnya itu yang tak kunjung sadar. Hingga setelah beberapa percobaan dilaksanakan, akhirnya Lalita pun sadar dan langsung merintih kesakitan. Salah satu anak PMR yang ada di sana menanyakan keluhan yang Lalita rasakan. Ternyata semua keluhan yang dirasakannya menunjukkan bahwa Lalita baru saja mengalami datang bulan pertama kali dalam seumur hidupnya.
Akhirnya, Anita dan teman-temannya memutuskan untuk membawa Lalita pulang dan membuatkan surat izin BK untuknya. Selama perjalanan pulang, perasaan Lalita berkecamuk. Ia merasa tak enak dengan Anita yang sudah berbuat baik kepadanya. Namun, di sisi lain Lalita juga memerlukan istirahat untuk jangka yang panjang. Selama perjalanan, ucapan terima kasih tak henti-hentinya dilontarkan olehnya dengan nada lemas. Anita hanya menjawabnya dengan senyuman tulus dan berkata jika Lalita harus banyak-banyak istirahat setelah ini.
Lalita mengangguk, ia lalu menghela napas pelan. Akhirnya, seluruh penderitaannya telah berakhir sampai di sini. Ia tak sabar ingin merasakan ranjang empuk yang berada di kamarnya. Selain itu, Lalita juga berharap bahwa datang bulan pertamanya ini tak membawa pengalaman yang paling buruk dalam hidupnya.